Welcome to My Blog

Selasa, 29 Mei 2012

Terdapat sebuah hadis yang menyatakan,

لَا يَزَالُ الْمَيِّتُ يَسْمَعُ الْأَذَانَ مَا لَمْ يُطَيَّنْ قَبْرُهُ
Mayit masih mendengar adzan selama kuburnya belum diplester dengan tanah.” (HR. Ad-Dailami dalam Musnad Al-Firdaus no. 7587)

Namun hadis ini disepakati para ulama sebagai hadis yang lemah, bahkan palsu. Berikut keterangan para pakar hadis ketika menilai hadis di atas.

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata,

وَإِسْنَادُهُ بَاطِلٌ ، فَإِنَّهُ مِنْ رِوَايَةِ مُحَمَّدِ بْنِ الْقَاسِمِ الطَّايَكَانِيِّ وَقَدْ رَمَوْهُ بِالْوَضْعِ .
“Sanadnya batil, karena hadis ini termasuk riwayat Muhammad bin Al-Qasim Ath-Thayakani, di mana dia telah dicap sebagai pemalsu hadis.” (At-Talkhish Al-Habir, 2:389)

Imam Ibnul Jauzi rahimahullah menuturkan,

هذا حديث موضوع على رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Ini adalah hadis palsu atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Al-Maudhu’at, 3:238)

As-Suyuthi menilai, setelah menyebutkan hadis ini:

موضوع الحسن لم يسمع من ابن مسعود
“Palsu, hasan tidak mendengar dari Ibnu Mas’ud.” (Al-La`ali Al-Mashnu’ah, 2:365)

Imam Ad-Dzahabi mengatakan,
فيه محمد بن القاسم الطايكاني كذاب
“Dalam sanadnya terdapat perawi Muhammad bin Qasim At-Thayakani, pendusta. (Talkhis Al-Maudhu’at Ad-Dzahabi, 938)

Kesimpulannya, tidak ada dalil yang menganjurkan adzan ketika memakamkan jenazah.

Komentar ulama tentang adzan ketika memakamkan jenazah

Para ulama dari berbagai madzhab sepakat bahwa sama sekali tidak terdapat anjuran untuk melakukan adzan ketika memakamkan jenazah. Berikut beberapa keterangan mereka

Pertama, Madzhab Hanafi

Ibnu Abidin mengatakan,

أنه لا يسن الاذان عند إدخال الميت في قبره كما هو المعتاد الآن، وقد صرح ابن حجر في فتاويه بأنه بدعة.
“Tidak dianjurkan untuk adzan ketika memasukkan mayit ke dalam kuburnya sebagaimana yang biasa dilakukan sekarang. Bahkan Ibnu Hajar menegaskan dalam kumpulan fatwanya bahwa itu bid’ah.” (Hasyiyah Ibnu Abidin, 2:255)

Barangkali yang dimaksud Ibnu Hajar dalam keterangan Ibnu Abidin di atas adalah Ibnu Hajar Al-Haitami. Disebutkan dalam Al-Fatawa Al-Fiqhiyah Al-Kubra,

مَا حُكْمُ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ عِنْدَ سَدِّ فَتْحِ اللَّحْدِ ؟ ( فَأَجَابَ ) بِقَوْلِهِ هُوَ بِدْعَةٌ وَمَنْ زَعَمَ أَنَّهُ سُنَّةٌ عِنْدَ نُزُولِ الْقَبْرِ قِيَاسًا عَلَى نَدْبِهِمَا فِي الْمَوْلُودِ إلْحَاقًا لِخَاتِمَةِ الْأَمْرِ بِابْتِدَائِهِ فَلَمْ يُصِبْ وَأَيُّ جَامِعٍ بَيْنَ الْأَمْرَيْنِ وَمُجَرَّدُ أَنَّ ذَاكَ فِي الِابْتِدَاءِ وَهَذَا فِي الِانْتِهَاءِ لَا يَقْتَضِي لُحُوقَهُ بِهِ 
.
Tanya: Apa hukum adzan dan iqamah ketika menutup liang lahad?

Jawaban Ibnu Hajar Al-Haitami:

Itu bid’ah. Siapa yang meyakini itu disunahkan ketika menurunkan jenazah ke kubur, karena disamakan dengan anjuran adzan dan iqamah untuk bayi yang baru dilahirkan, menyamakan ujung akhir manusia sebagaimana ketika awal ia dilahirkan, adalah keyakinan yang salah. Apa yang bisa menyamakan dua hal ini. Semata-mata alasan, yang satu di awal dan yang satu di ujung, ini tidaklah menunjukkan adanya kesamaan. (Al-Fatawa Al-Fiqhiyah Al-Kubra, 3:166).

Kedua, Madzhab Maliki

Disebutkan dalam kitab Mawahibul Jalil fi Syarhi Mukhtashar Asy-Syaikh Khalil, penulis mengutip keterangan di Fatawa Al-Ashbahi:

هَلْ وَرَدَ فِي الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ عِنْدَ إدْخَالِ الْمَيِّتِ الْقَبْرَ خَبَرٌ ؟ فَالْجَوَابُ : لَا أَعْلَمُ فِيهِ وُرُودَ خَبَرٍ وَلَا أَثَرٍ إلَّا مَا يُحْكَى عَنْ بَعْضِ الْمُتَأَخِّرِينَ ، وَلَعَلَّهُ مَقِيسٌ عَلَى اسْتِحْبَابِ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ فِي أُذُنِ الْمَوْلُودِ فَإِنَّ الْوِلَادَةَ أَوَّلُ الْخُرُوجِ إلَى الدُّنْيَا وَهَذَا أَوَّلُ الْخُرُوجِ مِنْهَا وَهَذَا فِيهِ ضَعْفٌ فَإِنَّ مِثْلَ هَذَا لَا يَثْبُتُ إلَّا تَوْقِيفًا .

Apakah terdapat khabar (hadis) dalam masalah adzan dan iqamat saat memasukkan mayit ke kubur? Jawab: Saya tidak mengetahui adanya hadis maupun atsar dalam hal ini kecuali apa yang diceritakan dari sebagian ulama belakangan. Barangkali dianalogikan dengan anjuran adzan dan iqamat di telinga bayi yang baru lahir. Karena kelahiran adalah awal keluar ke dunia, sementara ini (kematian) adalah awal keluar dari dunia, namun ada yang lemah dalam hal ini. Karena kasus semacam ini (adzan ketika memakamkan jenazah), tidak bisa dijadikan pegangan kecuali karena dalil shaih.” (Mawahibul Jalil fi Syarhi Mukhtashar Asy-Syaikh Khalil, 3:319)

Ketiga, Madzhab Syafi’i

Imam Abu Bakr Ad-Dimyathi menegaskan,

واعلم أنه لا يسن الأذان عند دخول القبر، خلافا لمن قال بنسبته قياسا لخروجه من الدنيا على دخوله فيها .
“Ketahuilah, sesungguhnya tidak disunahkan adzan ketika (mayit) dimasukkan ke kubur. Tidak sebagaimana anggapan orang yang mengatakan demikian karena menyamakan keluarnya seseorang dari dunia (mati) dengan masuknya seseorang ke dunia (dilahirkan).” (I’anatuth Thalibin, 1:268)

Hal senada juga dinyatakan Al-Bajirami:
وَلَا يُنْدَبُ الْأَذَانُ عِنْدَ سَدِّهِ خِلَافًا لِبَعْضِهِمْ
“Tidak dianjurkan mengumandangkan adzan ketika menutup lahad, tidak sebagaimana pendapat sebagian mereka.” (Hasyiyah Al-Bajirami ‘ala Al-Manhaj, 5:38)

Keempat, Madzhab Hambali

Ibnu Qudamah berkata,
أجمعت الأمة على أن الأذان والإقامة مشروع للصلوات الخمس ولا يشرعان لغير الصلوات الخمس لأن المقصود منه الإعلام بوقت المفروضة على الأعيان وهذا لا يوجد في غيرها .
“Umat sepakat bahwa adzan dan iqamat disyariatkan untuk shalat lima waktu dan keduanya tidak disyariatkan untuk selain shalat lima waktu, karena maksudnya adalah untuk pemberitahuan (masuknya) waktu shalat fardhu kepada orang-orang. Dan ini tidak terdapat pada selainnya.” (Asy-Syarh Al-Kabir, I:388)

Semua keterangan di atas mengerucut pada satu kesimpulan bahwa mengumandangkan adzan ketika memakamkan jenazah adalah perbuatan yang bertentang dengan sunnah, atau dengan ungkapan yang lebih tegas, itu bid’ah yang terlarang.
Allahu a’lam



Senin, 14 Mei 2012

6 Manfaat air





Air memiliki porsi 60% dari keseluruhan tubuh kita, dan sangat penting bagi semua sel dalam tubuh. Jadi, tak mengejutkan saat sebuah penelitian di British Psychological Society Annual Conference di London menemukan bahwa mahasiswa yang membawa minuman saat ujian memiliki nilai yang lebih tinggi daripada mahasiswa lain yang tidak membawa air minum.
Sayangnya, peneliti tidak meneliti apakah para mahasiswa itu meminum air yang mereka bawa. Namun peneliti tetap berpikir bahwa meminum air dapat meningkatkan kekuatan berpikir para mahasiswa dan meredakan kecemasan mahasiswa yang sedang mengikuti ujian.

Selain penemuan bahwa air bisa membuat otak lebih cerdas, air juga memiliki banyak manfaat bagi kesehatan tubuh kita. Apa saja? Inilah manfaat-manfaat air seperti dilansir oleh Yahoo! Shine.

1. Mencegah mulut kering
Air bisa membuat tenggorokan dan bibir Anda lembab dan mencegah mulut Anda terasa kering. Mulut yang kering dapat menyebabkan bau mulut dan rasa yang tidak enak.

2. Mendukung kesehatan kardiovaskular
Dehidrasi bisa menurunkan volume darah Anda, sehingga jantung Anda akan bekerja lebih keras untuk memompa darah dan memberikan asupan oksigen yang cukup untuk sel. Ini akan membuat aktivitas seperti berjalan dan berolahraga menjadi sulit.

3. Menjaga tubuh tetap segar
Tubuh Anda melepaskan panas dengan melebarkan pembuluh darah ke permukaan kulit. Ini juga menjadi alasan mengapa wajah Anda terlihat merah saat berolahraga. Hal ini menyebabkan aliran darah yang lebih banyak dan lebih banyak panas yang dilepaskan ke udara. Ketika Anda mengalami dehidrasi, membutuhkan suhu lingkungan yang lebih tinggi untuk memperbesar pembuluh darah, sehingga Anda akan tetap merasa panas.

4. Memudahkan kerja otot dan sendi
Saat cairan tubuh Anda terpenuhi dengan baik, air yang ada di dalam dan luar sel otot yang berkontraksi akan menyerap nutrisi dan mengeluarkan limbah, sehingga Anda bisa bekerja dengan lebih baik. Air juga penting sebagai pelumas pada sendi.

5. Menjaga kulit tetap elastis
Saat seseorang kekurangan cairan tubuh, maka kulitnya akan menjadi kurang elastis. Ini berbeda dengan kulit kering yang biasa disebabkan oleh sabun, atau udara kering.

6. Membersihkan racun dalam tubuh
Ginjal Anda membutuhkan air untuk menyaring racun dari darah dan mengeluarkannya melalui urin. Memenuhi kebutuhan cairan tubuh akan membantu saluran kencing Anda dari infeksi dan mencegah batu ginjal. Jika Anda kekurangan cairan, ginjal Anda bisa saja berhenti bekerja dan membuat tubuh Anda dipenuhi racun.

Itulah enam manfaat air bagi tubuh kita, dimana salah satu temuannya adalah bisa membuat otak kita bekerja lebih baik.

7 Manfaat tersenyum




Anda tentunya sering melihat wajah-wajah tersenyum di majalah atau kemasan dan iklan-iklan produk kecantikan. Tersenyum berkaitan dengan bagaimana kita terlihat bagus. Namun, tak hanya membuat wajah kita enak dilihat, senyum juga memberikan beberapa manfaat lainnya. PSikolog mengatakan bahwa senyum dapat memberikan sinyal positif. Apa lagi yang bisa diberikan oleh sebuah senyuman untuk Anda? Thirdage.com akan mengulasnya untuk anda:

1. Meningkatkan kepercayaan
Beberapa orang mengakui bahwa mereka lebih mudah percaya pada orang jika orang tersebut ramah dan tersenyum pada mereka.

2. Membuat kita mudah dimaafkan
Peneliti menunjukkan bahwa kita lebih lunak ketika seseorang melakukan kesalahan dan mereka tersenyum saat meminta maaf. Tidak masalah apakah itu senyum yang dipaksakan, atau senyum yang canggung, efek yang ditimbulkan tidak jauh berbeda.

3. Menghilangkan rasa canggung
Apakah Anda pernah melupakan ulang tahu pasangan Anda? Atau tiba-tiba saja melupakan nama orang yang Anda kenal? Jika Anda tersenyum malu sambil meminta maaf, mereka akan menganggap kesalahan kita ringan dan dengan cepat memaafkan kita. Suasana canggung pun menguap di udara.

4. Menyembuhkan rasa sakit
Tersenyum adalah salah satu cara untuk mengurangi kesedihan yang disebabkan oleh situasi yang tidak menyenangkan. Para psikolog menyebut ini "umpan balik wajah". Memaksa tersenyum ketika Anda merasa sedih atau marah sudah cukup untuk menaikkan sedikit suasana hati Anda.

5. Memberikan wawasan
Tersenyum dapat meningkatkan perhatian dan kemampuan kita berpikir holistik. Ketika gagasan ini diuji oleh beberapa ilmuwan, mereka menemukan bahwa orang yang tersenyum ketika melakukan tes dapat menyebutkan dengan baik apa yang mereka lihat dari keseluruhan hutan. Sementara orang yang tidak tersenyum hanya dapat menyebutkan beberapa pohon.

6. Meningkatkan daya tarik
Penelitian dilakukan dengan menguji pria yang akan mendekati seorang wanita di sebuah bar. Saat wanita itu tidak tersenyum, besar kesempatannya untuk didekati adalah sebesar 20%. Sementara saat wanita yang sama itu tersenyum, kesempatannya untuk didekati bisa mencapai 60%.

7. Hidup lebih lama
Orang yang tersenyum bisa hidup lebih lama. Sebuah penelitian dilakukan pada foto pemain baseball pada tahun 1952. Kematian mereka yang tersenyum dan yang tidak tersenyum bisa terpaut hingga tujuh tahun. Anda boleh percaya atau tidak, tetapi itu adalah faktanya.
Jadi, apa Anda sudah tersenyum hari ini?

Merdeka.com

Minggu, 13 Mei 2012

BID’AH-BID’AH PUASA DAN SHALAT TARAWIH DI BULAN RAMADHAN


Syeikh Salim bin Ied al-Hilali

Puasa di bulan Ramadhan mempunyai kedudukan yang utama dan tempat yang mulia dalam Islam. Bagi orang yang berpuasa karena iman dan ihtisab (mengharapkan pahala), Allah sendirilah yang mengetahui akan pahala, keutamaan dan kenikmatannya. Akan tetapi pahala puasa itu berbeda-beda, bertambah atau berkurang sesuai dengan dekat atau jauhnya seseorang dalam melaksanakan ibadah puasa dari sunnah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Oleh sebab itu, merupakan suatu keharusan untuk mengingatkan saudara-saudara kita yang berpuasa, beberapa hal yang (sering dilakukan namun) tidak ada petunjuknya dari nabi, yang mana hal ini merupakan perkara bid’ah dan perkara yang diada-adakan. Kami di sini akan menyebutkannya sesuai dengan urutan hari dan hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah kita memohon pertolongan.

Yang pertama : Bid’ah Sahur dan Adzan.
  1. Menyegerakan makan sahur.
  2. Imsak (menahan diri) dari makan dan minum ketika adzan pertama, yang mereka namakan “adzan Imsak”
  3. Memuntahkan makanan dan minuman dari mulut ketika suara adzan terdengar.
  4. Mandahulukan adzan dari waktu fajar shodiq, dengan alasan untuk hati-hati.
  5. Melafadhkan niat ketika sahur seperti (نَوََيْتُ صََََوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ )
Yang kedua : Bid’ah-bid’ah ketika Berbuka dan selainnya.
  1. Mengakhirkan berbuka dengan klaim alasan untuk menepatkan waktu.
  2. Puasanya para wanita sedangkan mereka dalam keadaan haidh sepanjang siang hari di bulan Ramadhan, dan (ketika) mendekati terbenamnya matahari mereka membatalkan puasa mereka dengan sesuap atau seteguk air.
  3. Menahan diri untuk tidak bersiwak sesudah tergelincir matahari.
  4. Bepergian pada bulan Ramadhan dengan maksud agar tidak berpuasa.

Yang ketiga : Bid’ah-bid’ah shalat tarawih pada bulan ramadhan.
  1. Cepatnya gerakan tarawih sebagaimana cepatnya gerakan burung gagak (mematuk makanan). Bahkan sebagian imam melakukan shalat tarawih 23 rakaat, dalam waktu kurang dari 20 menit.
  2. Membatasi membaca surat tertentu dalam shalat tarawih. Sebagian imam membaca surat al-Fajr atau surat al-A’laa atau seperempat surat ar-Rahman. Diantara keanehan-keanehan lainnya, ada sebagian thariqat shufiyah mengajarkan pada pengikut-pengikut mereka untuk membaca dalam shalat tarawih surat al Buruj, dimana imam membaca pada setiap rakaat hanya satu ayat dari surat tersebut.
  3. Memisahkan antara dua rakaat dengan membaca surat al-Ikhlas, al-Falaq, an-Nas, kemudian mengucapkan shalawat dan salam atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

Yang Keempat : Bid’ah shalat tasbih dalam bulan Ramadhan.
  1. Mengkhususkan shalat tasbih hanya pada bulan Ramadhan.
  2. melakukannya secara berjama’ah
  3. mengkhususkan shalat tasbih pada malam lailatul qadar.

Yang kelima : Shalat-shalat bid’ah yang dilakukan pada bulan Ramadhan.
  1. Shalat pada malam lailatul qadar yang dinamakan “Shalat Lailatul Qadar”.
  2. Shalat “jum’at Yatimah”, yaitu shalat jum’at pada jum’at terakhir dari bulan Ramadhan, dan seluruh penduduk negeri melaksanakan shalat jum’at itu pada masjid yang khusus. (Misalnya) penduduk Mesir shalat di Masjid Amr bin Ash dan penduduk Palestina shalat di Masjid Ibrahimi atau Masjidil Aqsa. [atau penduduk Jawa sholat di Masjid Ampel, pent.]
  3. (Melaksanakan) Shalat wajib 5 waktu sehabis shalat jum’at yatimah, dengan sangkaan bahwasanya shalat-shalat itu menghapus dosa-dosa, atau menghapus shalat yang ditinggalkan.

Seluruh bid’ah-bid’ah ini terdapat pada sebagian besar negeri muslim, dan sebagiannya didapati pada suatu negeri dan tidak terdapat pada negeri yang lainnya. Sekiranya kita menyebutkan bid’ah-bid’ah secara keseluruhan pada seluruh negeri, tentulah akan keluar dari tujuan dan maksudnya, karena tujuan dan maksud tulisan ini hanya untuk mewaspadai dan mengingatkan.

(diterjemahkan dari majalah Al-Ashalah edisi III)

Hukum Wanita Pergi Haji Tanpa Mahram


Seorang Perempuan Tidak Halal Menunaikan Haji Tanpa Mahram

Syaikh Muhammad Shalih Al-Utasaimin ditanya: Seorang wanita dari Saba’ dikenal baik dan dia berumur sedang dan mendekani usia tua. Dia ingin menunaikan haji Islam tetapi tidak memiliki mahram dan ada orang dari daerahnya yang dikenal baik dan ingin haji juga bersamaan seorang wanita dari mahramnya. Maka apakah sah wanita tersebut menunaikan ibadah haji bersamaan laki-laki yang baik ini dikarenakan tidak ada mahramnya dan dia dalam keadaan mampu menunaikannya karena memiliki harta. Maka berilah fatwa kepada kami semoga Allah memberi berkah kepada anda, karena dalam perkara ini kami berselisih dengan sebagian saudara-saudara kami?

Maka beliau menjawab: Seorang perempuan tidak halal melakukan ibadah haji tanpa mahram, meskipun dia berangkat bersama para wanita dan seorang laki-laki yang terpercaya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah berkhutbah, maka beliau berkata:

“Seorang wanita tidak melakukan safar kecuali bersama mahram.” Maka ada seseorang berkata: Wahai Rasulullah, istriku akan keluar untuk haji dan sesungguhnya saya telah menetapkan ikut perang ini dan ini, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Pergilah engkau, maka berhajilah engkau bersama istrimu.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak minta penjelasan kepadanya apakah wanita itu dalam keadaan aman, atau tidak, dan apakah ada para wanita dan laki-laki yang terpercaya bersamanya atau tidak, padahal keadaannya menghendaki demikian itu, sedangkan suaminya telah menetapkan dirinya untuk ikut berperang. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepadanya agar meninggalkan perang dan keluar untuk menunaikan haji bersama istrinya. Sesungguhnya ahli ilmu telah menyebutkan bahwa perempuan ketika tidak memiliki mahram maka dia tidak wajib haji, sehingga kalaupun dia mati, tidak perlu berhaji atas namanya (menggantikannya -ed) dengan harta peninggalannya, karena dia tidak mampu melakukannya, Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya mewajibkan haji bagi mereka yang mampu.

Apakah Wanita Boleh Haji Tanpa Mahram?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya: Apakah wanita boleh haji tanpa mahram?
Maka beliau menjawab: Jika dia tergolong wanita yang sudah tidak haid, dan tidak memiliki keinginan menikah dan tidak punya mahram, maka dia boleh menunaikan haji bersama orang yang dapat memberikan keamanan kepadanya menurut salah satu pendapat ulama, dan ini salah satu dari dua riwayat dari Ahmad, juga madzhab Malik dan Syafi’i.

Apakah Sah Seorang Wanita Haji Tanpa Mahram?

Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin ditanya: Seorang wanita haji tanpa mahram apakah hajinya benar (sah) dan seorang anak yang mumayiz (berakal) apakah bisa menjadi mahram?
Maka beliau menjawab: Adapun hajinya adalah sah, tetapi safar tanpa mahram adalah diharamkan dan termasuk berbuat maksiat kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam, karena Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Janganlah wanita itu safar kecuali bersama mahram.”

Anak kecil yang belum baligh tidak pantas menjadi mahram, karena dia sendiri butuh kepada perlindungan dan pengawasan. Maka siapa saja yang kondisinya demikian, tidak mungkin dia menjadi pengawas atau wali (pelindung) bagi yamg lain. Dan syarat bagi mahram itu harus laki-laki baligh (dewasa) dan berakal. Kalau tidak demikian, maka dia bukan mahram. Perkara yang banyak kami sayangkan di sini yaitu anggapan remeh sebagian wanita yang safar menaiki pesawat terbang tanpa mahram. Karena mereka telah meremehkan perkara ini, kamu dapati seorang wanita melakukan safar dengan menaiki pesawat dalam keadaan sendirian.

Mereka beralasan bahwa mahramnya adalah yang telah menyertainya di bandar udara tempat pesawat terbang itu berangkat sedangkan mahram yang lain adalah yang akan menyambutnya di bandar udara yang dituju. Sebetulnya, ini adalah alasan yang sangat lemah. Sesungguhnya mahram yang mengantarnya tidak masuk bersamanya ke dalam pesawat tersebut, sebaliknya dia hanya mengantarnya sampai ke ruang tunggu dan terkadang pesawat tersebut terlambat berangkat, sehingga wanita tersebut tetap menanti sendirian.
Dan terkadang pesawat terbang yang dinaikinya itu tidak mampu mendarat di bandar udara yang dituju karena ada suatu sebab kemudian pesawat itu mendarat di bandar udara yang lain, maka wanita tersebut turun dari pesawat dalam keadaan sendirian. Juga terkadang pesawat itu mendarat di bandar udara yang dituju tetapi mahramnya tidak datang menjemputnya karena ada suatu sebab, mungkin karena tertidur atau sakit, padatnya penjemput atau karena ada kejadian yang menghalangi mahram tersebut sampai ke tempat penjemputan.

Jika kendala-kendala ini semua tidak ada dan pesawat itu sampai di bandara yang dituju tepat pada waktunya dan dia bertemu dengan mahram yang menjemputnya, maka orang yang duduk di sampingnya di dalam pesawat terkadang orang yang tidak punya rasa takut kepada Allah dan tidak memiliki rasa sayang kepada hamba-hamba Allah, lalu dia menipunya, dan akhirnya wanita itu tertipu karenanya, sehingga terjadilah fitnah dan perkara yang dilarang, sebagaimana yang telah diketahui.

Maka seorang wanita wajib bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla, dan hendaknya dia tidak safar kecuali bersama mahram. Adapun kaum laki-laki yang telah dijadikan oleh Allah sebagai pemimpin bagi wanita wajib bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla dan tidak membiarkan wanita-wanita mereka keluar untuk safar tanpa mahram. Dan jangan sampai kecemburuan dan agama mereka sirna dari diri-diri merdka, karena seseorang akan dimintai pertanggung jawabnya tentang istrinya dan keluarganya karena Allah telah menjadikan keluarganya sebagai amanat di sisinya. Allah Ta’ala berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman peliaharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkannya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6).

Hukum Seorang Perempuan Menunaikan Haji Bersama Saudarinya dan Suami Saudarinya (iparnya) tersebut

Syaikh Shalih Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan ditanya: Apakah seorang wanita boleh menunaikan kewajiban haji bersama suami saudari sekandungnya dan saudarinya itu?

Maka beliau menjawab: Jawaban pertanyaan ini sama seperti jawaban pertanyaan sebelumnya, dan suami saudari perempuannya bukanlah mahram baginya, karena ia adalah laki-laki yang asing darinya.

Apakah Seorang Perempuan Dapat Digolongkan sebagai Mahram bagi Perempuan di Dalam Safar?

Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya: Apakah seorang perempuan dapat digolongkan sebagai mahram bagi wanita lain dalam safar, duduk bersam dan sebagainya atau tidak?

Maka beliau menjawab: Seorang wanita tidak dapat menjadi mahram bagi wanita lainnya, sesungguhnya mahram itu adalah laki-laki yang tidak boleh menikah dengan wanita tersebut disebabkan nasab seperti bapaknya atau saudaranya, atau sebab yang mubah seperti suami, juga seperti bapaknya suami serta anak laki-laki suami. Juga seperti bapak susuan, saudara sepersusuan dan yang sejenis dengan keduanya.
Seorang laki-laki tidak boleh berkhalwat (berduaan) dengan wanita asing (bukan mahram -ed) dan tidak boleh safar dengannya, karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Janganlah wanita itu melakukan safar kecuali dengan mahram.” Disepakati oleh Bukhari dan Muslim.

Dan sabdanya shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Janganlah laki-laki berkhalwat dengan perempuan, sesungguhnya setan adalah yang ketiga dari keduanya.” Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan lainnya dari hadits Umar radhiyallahu ‘anhu dengan sanad yang shahih.
Allah yang memberi taufik.

Hukum Wanita Pembantu (khadimah) Melakukan Safar untuk Haji tanpa Mahram Bersama Keluarga Rumah Tempat Dia Bekerja (ahlu bait)

Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin ditanya: Kami memiliki pelayan wanita di rumah, jika kami hendak haji atau umrah atau safar ke negeri manapun, apakah kami boleh mengajaknya dan dia tidak memiliki mahram, berilah penjelasan kepada kami semoga Allah membalas kebaikan kepada anda?
Maka beliau menjawab: Bukankah pembantu itu adalah seorang perempuan? Dengan demikian. Apa yang bisa mengecualikannya dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Janganlah seorang perempuan melakukan safar kecuali bersama mahramnya.”
Benar, kalau diumpamakan bahwa ahli bait pergi dan pembantu tersebut tidak mungkin tinggal di rumah, karena di dalam daerah itu tidak ada yang menjaganya, maka dalam keadaan ini pembantu itu bisa pergi bersama mereka karena darurat.

Wanita Pembantu (khadimah) Melakukan Safar untuk Haji Bersama Sekelompok Wanita Melalui Yayasan Khusus Urusan Haji

Syaikh Shalih Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan ditanya: Apakah saya boleh menyuruh pelayan saya menunaikan haji bersama sekelompok wanita melalui jalan yayasan yang khusus mengurusi pengangkatan jamaah haji (biro haji dan umrah)?

Maka beliau menjawab: Seorang wanita tidak boleh safar untuk haji atau yang lainnya kecuali bersama mahram, baik sebagai wanita pembantu rumah tangga (khadimah) atau bukan, karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Seorang wanita beriman kepada Allah dan hari akhir tidak boleh safar sejauh perjalanam dua hari kecuali bersama mahram.”

Sekelompok wanita tidaklah dapat mencukupkannya dari mahram, dan seperti ini juga biro haji dan umrah tidaklah dapat mencukupkannya dari kewajiban bermahram yang harus menyertainya dalam safarnya bahkan tidak dapat mengeluarkannya dari larangan yang disebutkan dalam hadits-hadits tadi.

Sumber: Wanita Bertanya Ulama Menjawab (bagian Pertama), disusun oleh Abu Malik Muhammad bin Hamid bin Abdul Wahab (penerjemah: Abu Najiyah Muhaimin), penerbit: Penerbit An Najiyah, cet. Pertama Muharram 1427 H/Pebruari 2006, hal. 223-230.

Khitan Bagi Wanita Menurut Islam

Khitan bagi anak lelaki adalah sebuah perkara wajar. Namun khitan bagi wanita masih dianggap tabu atau menjadi sebuah perkara yang sangat jarang dilakukan, bahkan oleh sebagian kalangan khitan wanita adalah tindakan kriminal yang harus dilarang, seperti yang diserukan oleh gerakan feminisme, LSM-LSM asing, Population Council, PBB, WHO dan lain-lainnya.

Larangan khitan wanita juga diputuskan dalam Konferensi Kaum Wanita sedunia di Beijing China (1995). Di Amerika Serikat dan beberapa Negara Eropa, kaum feminis telah berhasil mendorong pemerintah membuat undang-undang larangan sunat perempuan.

Di Belanda, khitan pada perempuan diancam hukuman 12 tahun. Pelarang khitan perempuan juga pernah diterapkan di Negara Mesir yang nota benenya adalah Negara Islam. ( Muhammad Sayyid as-Syanawi, Khitan al-Banat baina as-Syar’I wa at-Thibbi, hal. 92-95 ).

Di Indonesia sendiri khitan wanita juga dilarang secara legal, dengan alasan bahwa Indonesia tidak akan bisa melepaskan diri dari ketentuan WHO, dan karena khitan wanita dinilai bertentangan dengan HAM.

Padahal mereka orang-orang Barat sengaja melarang khitan wanita dengan tujuan agar para wanita Islam tidak terkendalikan syahwat mereka, sehingga praktek perzinaan meluas dan terjadi di mana-mana, dan ini telah terbukti. Bagamaimana sebenarnya hukum khitan wanita di dalam Islam, berikut keterangannya:

Pengertian Khitan

Khitan secara bahasa diambil dari kata “ khotana “ yang berarti memotong. Khitan bagi laki-laki adalah memotong kulit yang menutupi ujung zakar, sehingga menjadi terbuka.

Sedangkan khitan bagi perempuan adalah memotong sedikit kulit (selaput) yang menutupi ujung klitoris (preputium clitoris) atau membuang sedikit dari bagian klitoris (kelentit) atau gumpalan jaringan kecil yang terdapat pada ujung lubang vulva bagian atas kemaluan perempuan. Khitan bagi laki-laki dinamakan juga I’zar dan bagi perempuan disebut khafd.

Hukum Khitan Wanita

Para ulama sepakat bahwa khitan wanita secara umum ada di dalam Syari’at Islam. (al-Bayan min Al Azhar as-Syarif: 2/18) Tetapi mereka berbeda pendapat tentang satatus hukumnya, apakah wajib, sunnah, ataupun hanya anjuran dan suatu kehormatan. Hal ini disebabkan dalil-dalil yang menerangkan tentang khitan wanita sangat sedikit dan tidak tegas, sehingga memberikan ruangan bagi para ulama untuk berbeda pendapat. Diantara dalil-dalil tentang khitan wanita adalah sebagai berikut :

Pertama:

Hadist Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خَمْسٌ مِنْ الْفِطْرَةِ الْخِتَانُ وَالِاسْتِحْدَادُ وَنَتْفُ الْإِبْطِ وَتَقْلِيمُ الْأَظْفَارِ وَقَصُّ الشَّارِبِ

“Lima hal yang termasuk fitroh yaitu: khitan, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku dan memotong kumis.” [Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (6297 - Fathul Bari), Muslim (3/257 - Nawawi), Malik dalam Al-Muwatha (1927), Abu Daud (4198), At-Tirmidzi (2756), An-Nasa'i (1/14-15), Ibnu Majah (292), Ahmad dalam Al-Musnad (2/229) dan Al-Baihaqi (8/323)]

Bagi yang mewajibkan khitan wanita mengatakan bahwa arti “ fitrah “ dalam hadist di atas perikehidupan yang dipilih oleh para nabi dan disepakati oleh semua Syari’at, atau bisa disebut agama, sehingga menunjukkan kewajiban. Sebaliknya yang berpendapat sunnah mengatakan bahwa khitan dalam hadist tersebut disebut bersamaan dengan amalan-amalan yang status hukumnya adalah sunnah, seperti memotong kumis, memotong kuku dan seterusnya, sehingga hukumnya-pun menjadi sunnah.

Kedua:

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Bila telah bertemu dua khitan (khitan laki-laki dan wanita dalam jima’-pent) maka sungguh telah wajib mandi (junub)” [Shahih, Dikeluarkan oleh At-Tirmidzi (108-109), Asy-Syafi'i (1/38), Ibnu Majah (608), Ahmad (6/161), Abdurrazaq (1/245-246) dan Ibnu Hibban (1173-1174 - Al Ihsan)]
Kelompok yang berpendapat wajib mengatakan bahwa hadist di atas menyebut dua khitan yang bertemu, maksudnya adalah kemaluan laki-laki yang dikhitan dan kemaluan perempuan yang dikhitan. Hal ini secara otomatis menunjukkan bahwa khitan wanita hukumnya wajib. Sedangkan bagi yang berpendapat khitan wanita adalah sunnah mengatakan bahwa hadist tersebut tidak tegas menyatakan kewajiban khitan bagi perempuan. (Asy Syaukani, Nailul Authar : 1/147)

Ketiga:

Hadist Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kepada Ummu ‘Athiyah (wanita tukang khitan):

اخْفِضِي، وَلا تُنْهِكِي، فَإِنَّهُ أَنْضَرُ لِلْوَجْهِ، وَأَحْظَى عِنْدَ الزَّوْجِ

“Apabila engkau mengkhitan wanita potonglang sedikit, dan janganlah berlebihan (dalam memotong bagian yang dikhitan), karena itu lebih bisa membuat ceria wajah dan lebih menyenangkan (memberi semangat) bagi suami.” [Shahih, Dikeluarkan oleh Abu Daud (5271), Al-Hakim (3/525), Ibnu Ady dalam Al-Kamil (3/1083) dan Al-Khatib dalam Tarikhnya 12/291)]

“Bagi yang mewajibkan khitan wanita, menganggap bahwa hadist di atas derajatnya ‘Hasan’, sedang yang menyatakan sunnah atau kehormatan wanita menyatakan bahwa hadist tersebut lemah.

Keempat:

Riwayat Aisyah Radhiyallahu ‘anha secara marfu’:

“Artinya : Jika seorang lelaki telah duduk di antara cabang wanita yang empat (kinayah dari jima, -pent) dan khitan yang satu telah menyentuh khitan yang lain maka telah wajib mandi (junub)” [Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (1/291 - Fathul Bari), Muslim (249 - Nawawi), Abu Awanah (1/269), Abdurrazaq (939-940), Ibnu Abi Syaibah (1/85) dan Al-Baihaqi (1/164)]

Hadits ini juga mengisyaratkan dua tempat khitan yang ada pada lelaki dan wanita, maka ini menunjukkan bahwa wanita juga dikhitan.
Berkata Imam Ahmad : “Dalam hadits ini ada dalil bahwa para wanita dikhitan” [Tuhfatul Wadud].

Kelima:

“ Khitan itu sunnah bagi laki-laki dan kehormatan bagi wanita. “ (HR. Ahmad dan Baihaqi)

Ini adalah dalil yang digunakan oleh pihak yang mengatakan bahwa khitan wanita bukanlah wajib dan sunnah, akan tetapi kehormatan. Hadist ini dinyatakan lemah karena di dalamnya ada perawi yang bernama Hajaj bin Arthoh.

Dari beberapa hadist di atas, sangat wajar jika para ulama berbeda pendapat tentang hukum khitan wanita. Tapi yang jelas semuanya mengatakan bahwa khitan wanita ada dasarnya di dalam Islam, walaupun harus diakui bahwa sebagian dalilnya masih samar-samar.

Perbedaan para ulama di atas di dalam memandang khitan wanita harus disikapi dengan lapang dada, barangkali di dalam perbedaan pendapat tersebut ada hikmahnya, diantaranya bahwa keadaan organ wanita (klitorisnya) antara satu dengan yang lainnya berbeda-beda.

Bagi yang mempunyai klitoris yang besar dan mengganggu aktivitasnya sehari-hari dan mebuatnya tidak pernah tenang karena seringnya kena rangsangan dan dikhawatirkan akan menjeremuskannya ke dalam tindakan yang keji seperti berzina, maka bagi wanita tersebut khitan adalah wajib.

Sedang bagi wanita yang klitoris berukuran sedang dan tertutup dengan selaput kulit, maka khitan baginya sunnah karena akan menjadikannya lebih baik dan lebih dicintai oleh suaminya sebagaimana yang dijelaskan dalam hadist di atas, sekaligus akan membersihkan kotoran-kotoran yang berada dibalik klistorisnya.

Adapun wanita yang mempunyai klitoris kecil dan tidak tertutup dengan kulit, maka khitan baginya adalah kehormatan. ( Ridho Abdul Hamid, Imta’ul Khilan bi ar-Raddi ‘ala man Ankara al-Khitan, hal. 21-22 )

Praktek Khitan di Masyarakat Dunia

Di tengah-tengah masyarakat, khitan wanita dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya adalah :
  • Memotong sedikit kulit (selaput) yang menutupi ujung klistoris (preputium clitoris). Cara ini dianjurkan dalam Islam, karena akan membersihkan kotoran-kotoran putih yang bersembunyi di balik kulit tersebut atau menempel di bagian klistorisnya atau yang sering disebut (smegma, ini tempat bersarangnya kuman-kuman), sekaligus akan membuat wanita tidak frigid dan bisa mencapai orgasme ketika melakukan hubungan seks dengan suaminya, karena klistorisnya terbuka. Bahkan anehnya di sebagian Negara-negara Barat khitan perempuan semacam ini, mulai populer. Di sana klinik-klinik kesehatan seksual secara gencar mengiklankan clitoral hood removal (membuang kulit penutup klitoris)
  • Menghilangkan sebagian kecil dari klistoris, jika memang klistorisnya terlalu besar dan menonjol. Ini bertujuan untuk mengurangi hasrat seks wanita yang begitu besar dan membuatnya menjadi lebih tenang dan disenangi oleh suami.
  • Menghilangkan semua klitoris dan semua bagian dari bibir kemaluan dalam (labium minora). Cara ini sering disebut infibulation Ini dilarang dalam Islam, karena akan menyiksa wanita dan membuatnya tidak punya hasrat terhadap laik-laki. Cara ini sering dilakukan di Negara-negara Afrika, begitu juga dipraktekan pada zaman Fir’aun, karena mereka mengira bahwa wanita adalah penggoda laki-laki maka ada anggapan jika bagian klitoris wanita di sunat akan menurunkan kadar libido perempuan dan ini mengakibatkan wanita menjadi frigid karena berkurangnya kadar rangsangan pada klitoris.
  • Menghilangkan semua klistoris, dan semua bagian dari bibir kemaluan dalam (labium minora), begitu juga sepasang bibir kemaluan luar (labium mayora). Ini sering disebut clitoridectomy (pemotongan klitoris penuh ujung pembuluh saraf) Ini juga dilarang dalam Islam, karena menyiksa wanita.

Dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa 97,6 % khitan di Mesir merujuk kepada model kedua, dan 1,6 % merujuk pada model pertama. Sedang model ketiga/ keempat hanya 4 % saja. (DR. Maryam Ibrahim Hindi , Misteri dibalik Khitan Wanita, hal 17 dan 101)

Di Indonesia sendiri praktek khitan pada wanita sering kali salah dalam tekniknya, karena cuma dilakukan secara simbolis dengan sedikit menggores klitoris sampai berdarah, atau menyuntik klitoris, atau bahkan hanya menempelkan kapas yang berwarna kuning pada klistoris, atau sepotong kunyit diruncingkan kemudian ditorehkan pada klitoris anak, bahkan di daerah tertentu di luar Jawa, ada yang menggunakan batu permata yang digosokkan ke bagian tertentu klitoris anak. Itu semua hakekatnya tidak atau belum dikhitan.

Khitan Menyeimbangkan Libido Perempuan

a.  Cara 

Perempuan  wajib berkhitan. Caranya adalah dengan cara memotong selaput di ujung klitoris yang bentuknya seperti jengger ayam jantan.

b.  Manfaat dan Tujuan

Khitan wanita, berdasarkan riwayat Abu Dawud, Hakim dan Thabrani, bahwa Nabi Saw berkata pada Ummu ’Athiyyah –tukang khitan anak-anak perempuan–, “Khitanilah (potonglah bagian atasnya) dan jangan berlebihan. Sebab, itu lebih mencerahkan wajah –yakni air dan darah yang mengalir ke wajah bisa lebih banyak– dan lebih nikmat saat bersama suami”. Maksud beliau adalah jangan banyak-banyak memotongnya. Selain itu, lebih baik bagi suami saat menggaulinya, lebih disukai suami, dan lebih mengggairahkan.

Tujuan khitan wanita adalah mengendalikan syahwatnya. Apabila wanita dibiarkan tak berkhitan, maka ia memiliki syahwat yang besar. Oleh karena itu, dalam ejek-ejekan dikatakan, “Hai anak wanita tak berkhitan”.

Wanita yang tak berkhitan suka berlagak genit pada kaum lelaki. Inilah di antara perbuatan keji yang banyak ditemui pada kaum wanita bangsa Tatar serta Eropa, dan tidak nampak di kalangan wanita Muslimin.

Namun, jika wanita dibiarkan apa adanya dan organ khitannya tidak dipotong sama sekali, maka syahwatnya akan tetap meluap-luap sehingga ia tidak cukup terpuaskan dengan hubungan intim suaminya. Akibanya, ia dapat terperosok dalam perzinaan.

c.  Akibat Berlebihan Mengkhitan

Khitan yang dilakukan berlebihan, maka syahwatnya melemah. Ini menyebabkan keinginan suami (dalam berhubungan intim) tak bisa sempurna. Namun bila dipotong tidak berlebihan, maka keinginan suami pun akan tercapai dengan penuh keseimbangan.

Hal ini selaras dengan syariat kita, yakni mengurangi kenikmatan namun tidak menghilangkannya sama sekali, sebagai bentuk sikap pertengahan antara berlebihan (ifrath) dan tak ada sama sekali (tafrith).

Bila tukang khitan mengambil seluruh organ khitan (klitoris), maka birahi si wanita loyo sehingga ia tidak bergairah untuk berhubungan intim. Akibatnya, kenikmatan suami berkurang. Jadi, memotong sedikit ujung klitoris berfungi untuk menyeimbangkan syahwat dan perilaku.”

Penutup:
Hikmah Pengkhitanan Wanita

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Hikmah khitan bagi laki-laki adalah mensucikan mereka dari najis yang tertahan pada kulup kemaluan. Sedangkan hikmah khitan bagi wanita adalah untuk menyederhanakan syahwatnya, sesungguhnya kalau tidak wanita tidak dikhitan maka syahwatnya akan menggejolak.” (Fatawa Al-Kubra, I/273).

Beliau –rahimahullah- juga berkata, “Hendaknya wanita juga dikhitan, yaitu dengan cara memotong sedikit kulit bagian atas kemaluannya yang menyerupai cengger ayam (klitoris).”

(Dikutip dari berbagai sumber).

أقوال العلماء في حج المرأة بدون محرم

فاعلم أن العلماء مختلفون في اشتراط المحرم للمرأة في الحج على الأقوال الآتية:
القول الأول: يشترط وجود المحرم أو الزوج لوجوب الحج على المرأة وهو قول الحنفية والحنابلة، لقول النبي صلى الله عليه وسلم: "لا يحل لامرأة تؤمن بالله واليوم الآخر أن تسافر مسيرة يوم وليلة إلا مع ذي محرم" رواه الشيخان ، ولهما أيضاً عن ابن عباس رضي الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: "لا يخلون رجل بامرأة إلا ومعها ذو محرم، ولا تسافر امرأة إلا مع ذي محرم" فقام رجل فقال: يا رسول الله، إن امرأتي خرجت حاجة، وإني اكتتبت في غزوة كذا وكذا، فقال: "انطلق فحج مع امرأتك" وذلك لأن المرأة لا تقدر على الركوب والنزول بنفسها، فتحتاج إلى من يُركبها ويُنزلها، ولا يتأتى ذلك إلا مع الزوج أو المحرم. 

القول الثاني: لا يشترط لوجوب الحج وجود المحرم أو الزوج وهو قول الشافعية، بل يكفي وجود النسوة الثقات حتى لو فرض وجود الزوج والمحرم القادرين على السفر معها، وهذا هو المشهور من المذهب، لأن الرفقة تقطع الأطماع فيهن، ولأنه سفر واجب لا يشترط له المحرم، كالمسلمة إذا تخلصت من أيدي الكفار، وكالسفر لحضور مجالس الحاكم. 

القول الثالث: قول المالكية فقد ذهبوا إلى وجوب وجود الزوج أو المحرم، فإن لم يوجدا، أو وُجدا لكن امتنعا أو عجزا عن مرافقتها، فرفقة مأمونة، والمعتمد صحة ذلك برفقة الرجال المأمونين أو النساء المأمونات، والأحرى أن تكون من الجنسين معاً، على أن تكون المرأة مأمونة في نفسها. 

وذهب ابن تيمية إلى جواز سفر المرأة بحج الفريضة بدون محرم -إن عُدم- إذا أمنت على نفسها.
وفرَّق الإمام أحمد في رواية بين الشابة والعجوز، قال المروزي : وسئل عن امرأة عجوز كبيرة ليس لها محرم، ووجدت قوماً صالحين؟ قال: إن تولت هي النزول والركوب، ولم يأخذ رجل بيدها، فأرجو، لأنها تفارق غيرها في جواز النظر إليها، للأمن من المحظور، فكذا هنا. ا.هـ. 

ونقلها كذلك المرداوي في الإنصاف، فقال: وعنه: لا يشترط المحرم في القواعد من النساء اللاتي لا يُخشى منهن ولا عليهن فتنة. ا.هـ. 

وذهب الشافعية في قول: أنها يجوز لها الخروج للحج وحدها وهو مذهب طائفة، منهم: الشيرازي كما ذكره في المهذب، واستدلوا له بحديث عدي بن حاتم الطائي ، وفيه: أن النبي صلى الله عليه وسلم قال له: "هل رأيت الحيرة؟ قلت: لم أرها، وقد أنبئت عنها. قال: فإن طالت بك حياة لترين الظعينة ترتحل من الحيرة حتى تطوف الكعبة لا تخاف أحداً إلا الله... الحديث" رواه البخاري

وليُعلم أن هذا الخلاف الذي ذكرناه هو في حج الفريضة دون حج النافلة، والراجح - والله أعلم - جواز سفر المرأة للحج مع رفقة مأمونة عند أمن الفتنة، وأمن الفتنة يُحدده الزمان والمكان ووسيلة السفر والرفقة فيه وحالة المرأة ، فهو أمر يختلف باختلاف الأشخاص والأزمان والأحوال.
وعليه، فإن حج والدتك صحيح - إن شاء الله - لأن وجود المحرم ليس من شروط صحة الحج، وإنما هو شرط وجوب عند القائلين به.
والله أعلم.

حكم التداوي بالخمر ، وبشحم الخنزير وغيره من النجاسات

فالأصل في التداوي بالمحرمات والنجاسات الحرمة، لعموم الأدلة في ذلك، كقوله صلى الله عليه وسلم: " إن الله أنزل الداء والدواء، وجعل لكل داء دواء، فتداووا ولا تداووا بحرام" رواه أبو داود، وقول أبي هريرة رضي الله عنه " نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن الدواء الخبيث" رواه أحمد وأبو داود والترمذي. لكن عند الضرورة يجوز التداوي بها، والدليل على ذلك: الأدلة العامة على إباحة المحرم للمضطر، كقول الله سبحانه ( وقد فصل لكم ما حرم عليكم إلا ما اضطررتم إليه) [الأنعام:119] ففي هذه الآية وغيرها دليل على إباحة تناول المحرمات عند الاضطرار.

قال العز بن عبد السلام رحمه الله ( جاز التداوي بالنجاسات إذا لم يجد طاهراً يقوم مقامها، لأن مصلحة العافية والسلامة أكمل من مصلحة اجتناب النجاسة) انتهى من قواعد الأحكام.
ويستثنى من المحرمات الخمر فإنه لا يجوز التداوي بها حتى عند الضرورة ، للأحاديث الخاصة التي نهت عن التداوي بها، وبينت أنها داء، وليست بدواء كقول النبي صلى الله عليه وسلم في الخمر " إنه ليس بدواء ولكنه داء " رواه مسلم .

قال شيخ الإسلام ابن تيمية في الفتاوى الكبرى (3/5): وليس هذا مثل أكل المضطر الميتة، فإن ذلك يحصل به المقصود قطعاً، وليس له عنه عوض، والأكل منها واجب، فمن اضطر إلى الميتة، ولم يأكل حتى مات دخل النار، وهنا لا يعلم حصول الشفاء، ولا يتعين هذا الدواء، بل الله تعالى يعافي العبد بأسباب متعددة، والتداوي ليس بواجب عند جمهور العلماء، ولا يقاس هذا بهذا. 

قال النووي في المجموع : إذا اضطر إلى شرب الدم أو البول أو غيرهما من النجاسات المائعة غير المسكر، جاز شربه بلا خلاف… إلى أن قال: وإنما يجوز التداوي بالنجاسة إذا لم يجد طاهراً يقوم مقامها، فإن وجده حرمت النجاسة بلا خلاف، وعليه يحمل حديث " إن الله لم يجعل شفاءكم فيما حرم عليكم" فهو حرام عند وجود غيره، وليس حراماً إذا لم يجد غيره … 

وإنما يجوز ذلك إذا كان المتداوي عارفاً بالطب، يعرف أنه لا يقوم غير هذا مقامه، أو أخبره بذلك طبيب موثوق بخبرته.
وعليه: فإنه لا يجوز المعالجة بشحم الخنزير كما لا يجوز التداوي بأي جزء من أجزائه لأي سبب، لأن الخنزير نجس العين، وكل ما يخرج منه من مائعات وغيرها نجس، إلا إذا كان هناك ضرورة للعلاج به. بشرط أن لا يوجد من الأدوية المباحة ما يقوم مقامه، وأن يخبرك طبيب ثقة أن هذا الدواء نافع لهذا المرض، وأنه لا يوجد له بديل مباح. والله أعلم.

Para Ulama Ahlul Hadits

Biografi para ulama ahlul hadits mulai dari zaman sahabat hingga sekarang yang masyhur :


 







Para Ulama Salaf Lainnya

Para Ulama Salaf Ahlul Hadits selain yang disebutkan diatas yang masyur dizamannya antara lain :
Para Ulama sekarang yang berjalan diatas As-Sunnah yaitu:

Keluarga Rasulullah

Istri- istri Nabi زوجات النبي
Cucu Nabi
Paman Nabi

Para Sahabat Rasulullah

Para Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in

Sedangkan para Tabi’ut Tabi’in dan murid muridnya serta generasi sesudahnya telah disebutkan pada biografi diatas antara lain seperti: Malik bin Anas, Imam Al Auza’I, Sufyan Ats-Tsauri, Abu Hanifah, Imam Syafee’I, Imam Hambali, Imam Muslim, Imam Bukhari, Imam Abu Dawud, Imam Hatim, Imam Zur’ah, Imam Tirmidzi, Imam Nasa’i. Serta generasi berikutnya

Para Shahabiyah Rasulullah