Sejak
berkembangnya agama Islam ke berbagai wilayah, jumlah umat Islam pun
semakin banyak. Untuk meningkatkan pemahaman keagamaan umat, para
khalifah yang memerintah dari berbagai kekhalifahan, seperti Abbasiyah,
Fatimiyyah, Ottoman, dan Umayyah, mendirikan berbagai lembaga
pendidikan.
Selama masa kekhalifahan Islam itu, tercatat
beberapa lembaga pendidikan Islam yang terus berkembang dari dulu hingga
sekarang. Kendati beberapa di antaranya hanya tinggal nama. Namun,
nama-nama lembaga pendidikan Islam itu pernah mengalami puncak kejayaan
dan menjadi simbol kegemilangan peradaban Islam.
Beberapa
lembaga pendidikan itu, antara lain, Nizamiyah di Baghdad, Al-Azhar di
Mesir, al-Qarawiyyin di Fez, Maroko, dan Sankore di Timbuktu, Mali,
Afrika. Masing-masing lembaga ini memiliki sistem dan kurikulum
pendidikan yang sangat maju ketika itu. Dari beberapa lembaga itu,
berhasil melahirkan tokoh-tokoh pemikir dan ilmuwan Muslim yang sangat
disegani. Misalnya, al-Ghazali, Ibnu Ruysd, Ibnu Sina, Ibn Khaldun,
Al-Farabi, al-Khawarizmi, dan al-Ferdowsi.
Berikut profil singkat lembaga pendidikan Islam tersebut.
Madrasah Nizamiyah, Sekolah Islam Pertama
Institusi
pendidikan Islam ideal lainnya yang lahir dari masa kejayaan Islam
adalah Perguruan (Madrasah) Nizamiyah. Perguruan ini didirikan oleh
Nizam al-Mulk, perdana menteri pada kesultanan Seljuk pada masa Malik
Syah, pada tahun 1066/1067 M. Ketika itu, lembaga pendidikan ini hanya
ada di Kota Baghdad, ibu kota dan pusat pemerintahan Islam pada waktu
itu. Kemudian, berkembang ke berbagai kota dan wilayah lain.
Di
antaranya di Kota Balkh, Nisabur, Isfahan, Mowsul, Basra, dan
Tibristan. Dan, kota-kota ini menjadi pusat studi ilmu pengetahuan dan
menjadi terkenal di dunia Islam pada masa itu.
Philip K
Hitti dalam Sejarah Bangsa Arab menulis, Madrasah Nizamiyah merupakan
contoh awal dari perguruan tinggi yang menyediakan sarana belajar yang
memadai bagi para penuntut ilmu. Madrasah Nizamiyah menerapkan sistem
yang mendekati sistem pendidikan yang dikenal sekarang.Madrasah
Nizamiyah merupakan perguruan pertama Islam yang menggunakan sistem
sekolah. Artinya, dalam Madrasah Nizamiyah telah ditentukan waktu
penerimaan siswa, kenaikan tingkat, dan juga ujian akhir kelulusan.
Selain
itu, Madrasah Nizamiyah telah memiliki manajemen tersendiri dalam
pengelolaan dana, punya fasilitas perpustakaan yang berisi lebih dari
6.000 judul buku laboratorium, dan beasiswa yang berprestasi.
Bidang
yang diajarkan meliputi disiplin ilmu keagamaan (tafsir, hadis, fikih,
kalam, dan lainnya) dan disiplin ilmu akliah (filsafat, logika,
matematika, kedokteran, dan lainnya). Kurikulum Nizamiyah menjadi
kurikulum rujukan bagi institusi pendidikan lainnya.
Namun,
keberadaan Madrasah Nizamiyah ini hanya ber tahan hingga abad ke-14,
sebelum Kota Baghdad dihancurkan oleh tentara Mongol di bawah pimpinan
Ti mur Lenk pada tahun 1401 M.
Universitas Al-Qarawiyyin, Obor Renaisans dari Kota Fez
Setelah
Nizamiyah, lembaga pendidikan yang terbilang sangat modern dan tertua
di dunia adalah Universitas al-Qarawiyyin, di Fez, Maroko. Guiness Book
of Record (Museum Rekor Dunia) mencatat, lembaga ini merupakan perguruan
tinggi pertama di dunia yang memberikan gelar kesarjanaan. Gelar itu
baru diberikan pada tahun 1998.
Menurut Majalah Time edisi 24
Oktober 1960, lembaga ini didirikan pada tahun 859 M. Dalam tulisannya,
Majalah Time menjuluki universitas ini sebagai Renaissance in Fez.
Awalnya,
Universitas Al-Qarawiyyin adalah sebuah komunitas Qairawaniyyin,
masyarakat pendatang dari airawan, Tunisia di Kota Fez
(Maroko). Komunitasmembuat diskusi-diskusi kecil di sebuah masjid.
Dalam
perkembangannya, masjid yang berfungsi sebagai tempat ibadah di
halakah, banyak diikuti para penduduk sekitar. Akhirnya, semakin meluas
hingga menjadi lembaga pendidikan. Dan materi yang dibahas semakin
meluas, baik bidang agama maupun umum.
Beragam bidang yang disajikan mampu membetot perhatian para pelajar dari berbagai belahan dunia.
Sejak
itulah, aktivitas keilmuan di Masjid Al-Qarawiyyin berubah menjadi
kegiatan keilmuan bertaraf perguruan tinggi. Jumlah pendaftar yang
berminat untuk menimba ilmu di universitas itu bertambah banyak.
Lembaga
pendidikan ini pernah melahirkan sejumlah tokoh Muslim kenamaan. Di
antaranya, Abu Abullah Al-Sati, Abu Al-Abbas al-Zwawi, Ibnu Rashid
Al-Sabti, Ibnu Al-Haj Al-Fasi, serta Abu Mazhab Al-Fasi, yang memimpin
generasinya dalam mempelajari mazhab Maliki. Tak heran bila kemudian,
Universitas al-Qarawiyyin ini menjadi perguruan tinggi paling prestisius
di abad pertengahan.
Peradaban Barat turut berutang budi
kepada Universitas Al-Qarawiyyin. Lembaga ini memiliki peran penting
dalam proses pengembangan ilmu pengetahuan di Barat pada abad ke-15 M.
Pemimpin tertinggi umat Katolik, Paus Sylvester II, turut menjadi saksi
keunggulan Universitas Al-Qarawiyyin. Sebelum menjadi Paus, ia sempat
menimba ilmu di universitas favorit dan terkemuka ini.
Universitas Al-Azhar, Institusi Pendidikan Islam Modern
Salah
satu lembaga pendidikan tinggi yang dikenal modern adalah Universitas
al-Azhar, Kairo, Mesir. Lembaga ini menggunakan sistem pendidkan pada
akhir ke-10 M oleh Jenderal Jauhar al-Sigli, seorang panglima perang
dari Daulah Bani Fatimiyyah pada 972 M. Sebutan al-Azhar merujuk pada
nama putri Rasulullah SAW, Fatimah az-Zahra.
Universitas ini
terhubung dengan masjid al-Azhar. Masjid al-Azhar didirikan pada 969 M.
Sementara itu, universitas ini baru mulai dibuka pada bulan Ramadhan
atau Oktober 975 M, ketika Ketua Mahkamah Agung, Abdul Hasan Ali bin
al-Nu’man, mulai mengajar yurisprudensi yang diambil dari buku
Al-Iktishar.
Al-Azhar dikenal sebagai lembaga pendidikan
yang menerapkan sistem pengajaran modern. Dalam kurikulumnya, terdapat
berbagai materi disiplin ilmu. Antara lain, ilmu agama, hukum Islam,
tata bahasa Arab, filsafat, dan logika. Kemudian, berkembang dan mulai
mengajarkan bidang ilmu pengetahuan modern dan eksakta.
Sejak
pusat kebudayaan dan pengetahuan Islam di Kota Baghdad
danAndalusia hancur setelah invasi bangsa Mongol, Universitas Al-Azhar
menjadi satu-satunya tempat tujuan para sarjana di seluruh penjuru dunia
yang ingin mempelajari Islam dan bahasa Arab. Untuk mendukung peran
tersebut, sejak awal universitas ini sudah dilengkapi dengan
perpustakaan dan laboratorium.
Keberadaan Universitas
Al-Azhar sebagai sebuah institusi pendidikan Islam terbesar dan modern,
juga mendapat pengakuan dari Napoleon Bonaparte. Dalam pengasingan di
Pulau Saint Helena, Napoleon menuliskan sebuah catatan harian yang
isinya mengungkapkan kekagumannya terhadap Universitas Al-Azhar saat
tentaranya melakukan penyerangan ke Mesir.
Dalam catatan
hariannya, ia menyebut Al-Azhar merupakan tandingan Universitas Sorbonne
di Paris. Sorbonne merupakan universitas tertua di Prancis.
Kemudian,
di masa Pemerintahan Ottoman, Al-Azhar tumbuh menjadi sebuah lembaga
pendidikan yang mandiri secara finansial dengan sumber pendanaan berasal
dari dana wakaf.
Universitas Al-Mustansiriyah, Cahaya Peradaban di Akhir Kejayaan Abbasiyah
Al-Mustansiriyah
merupakan salah satu lembaga yang sangat penting di Irak. Nama
universitas tertua yang berdiri di Kota Baghdad ini memang tak setenar
Al-Azhar di Kairo, Mesir, atau Al-Qarawiyyin di Fez, Maroko. Meski
begitu, perguruan tinggi yang dibangun Khalifah Al-Mustansir Billah
(1226 M-1242 M) ini turut memainkan peranan penting dalam sejarah
peradaban Islam.
Perguruan tinggi yang namanya masih tetap
dijadikan universitas di era modern itu, tercatat sebagai universitas
pertama yang secara konsisten mengajarkan ilmu Alquran, seni berpidato,
serta matematika. Universitas al-Mustansiriyah pun mencatatkan dirinya
sebagai perguruan tinggi perintis di Baghdad, yang mampu menyatukan
pengajaran berbagai bidang ilmu dalam satu tempat.
Pada
awalnya, madrasah-madrasah di Baghdad kerap mengajarkan ilmu tertentu
secara khusus. Namun, Khalifah Al-Mustansir Billah menyatukan empat
studi penting pada masa itu ke dalam satu perguruan tinggi. Keempat
bidang studi itu, antara lain, ilmu Alquran, biografi Nabi Muhammad,
ilmu kedokteran, serta matematika.
Kendati lembaga ini
baru dibangun pada 1227 M dan diresmikan pada 1234 M, Universitas
al-Mustansiriyah termasuk salah satu perguruan tinggi tertua dalam
sejarah. Pamor dan popularitas universitas ini mampu membetot perhatian
para pelajar dari seluruh dunia untuk menimba ilmu di Kota Baghdad. Para
pelajar berbondong-bondong datang ke Mustansiriyah untuk mempelajari
beragam ilmu pengetahuan.
Gedung universitas yang dibangun
Khalifah Al-Mustansir ini juga dilengkapi dengan beragam fasilitas
kebutuhan pelajar, seperti dapur, tempat shalat, kamar tidur, dan tempat
mandi. Bangunan universitas ini juga sempat dipugar oleh Sultan Abdul
Aziz–Khalifah Turki Usmani–ketika kerajaan Islam yang berpusat di Turki
itu menguasai Baghdad.
Gedung dan bangunan Universitas
Al-Mustansiriyah yang terletak di tepi kiri Sungai Tigris ini terkenal
dengan keindahannya. Namun, kejayaannya tak berlangsung lama. Setelah
Khalifah Al-Mustansir wafat dan digantikan Al-Mu’tasim (1242 M-1258 M),
kekuasaan Dinasti Abbasiyah pun ambruk.
Kemudian lembaga ini
didirikan pada tahun 1963. Perguruan tinggi ini memiliki 10 fakultas,
dua institut, dan empat pusat studi dan kajian, baik bidang agama maupun
pengetahuan umum.
Universitas Sankore, Cahaya Peradaban Islam di Afrika Barat
Meski
tak setenar Universitas Al-Azhar di Mesir dan Universitas Al-Qarawiyyin
di Maroko, pada era kejayaan Islam Universitas Sankore yang terletak di
Timbuktu, Mali, ini telah menjadi obor peradaban dari Afrika Barat.
Laiknya magnet, perguruan tinggi yang berdiri pada 989 M itu mampu
membetot minat para pelajar dari berbagai penjuru dunia Islam untuk
menimba ilmu di universitas itu.
Pada abad ke-12 saja,
jumlah mahasiswa yang menimba ilmu di Universitas Sankore mencapai 25
ribu orang. Dibandingkan Universitas New York di era modern sekalipun,
jumlah mahasiswa asing yang belajar di Universitas Sankore pada sembilan
abad yang lampau masih jauh lebih banyak. Padahal, jumlah penduduk Kota
Timbuktu di masa itu hanya berjumlah 100 ribu jiwa.
Penulis
asal Prancis, Felix Dubois dalam bukunya Timbuctoo the Mysterious,
menyatakan Universitas Sankore telah menerapkan standar dan persyaratan
yang tinggi bagi para calon mahasiswa dan alumninya. Tak heran jika
universitas tersebut mampu menghasilkan para sarjana berkelas dunia.
Universitas
Sankore diakui sebagai perguruan tinggi berkelas dunia. Karena,
lulusannya mampu menghasilkan publikasi berupa buku dan kitab yang
berkualitas. Buktinya, baru-baru ini di Timbuktu, Mali, ditemukan lebih
dari satu juta risalah. Selain itu, di kawasan Afrika Barat juga
ditemukan tak kurang dari 20 juta manuskrip.
Tingkat
keilmuan para alumni Sankore juga diperhitungkan universitas lain di
dunia Islam. ”Secara mengejutkan, banyak sarjana lulusan Universitas
Sankore diakui sebagai guru besar di Maroko dan Mesir. Padahal, belum
tentu kualitas keilmuan sarjana lulusan Al-Azhar dan Al-Qarawiyyin
memenuhi standar di Sankore,” ungkap Felix Dubois.
Pada
era kejayaan Islam di Timbuktu, banyak sarjana berkulit hitam terbukti
lebih pandai dibandingkan sarjana asal Arab. Sejarawan terkemuka,
Al-Hasan bin Muhammad Al-Wazzan atau Leo Africanus dalam bukunya, The
Description of Africa (1526), mengungkapkan geliat keilmuan di Timbuktu
pada abad ke-16 M. Kisah sukses dan keberhasilan perabadan Islam di
benua hitam Afrika yang ditulis Leo, konon telah membuat masyarakat
Eropa terbangun dari jeratan era kegelapan hingga mengalami Renaisans.
Universitas
ini lalu menjadi sangat dikenal dan disegani sebagai pusat belajar
terkemuka di dunia Islam pada masa kekuasaan Mansa Musa (1307 M-1332 M)
dan Dinasti Askia (1493 M-1591 M). Pada masa itulah, Sankore menjadi
tujuan para pelajar yang haus akan ilmu agama dan pengetahuan lainnya.
Universitas
ini dilengkapi dengan perpustakaan yang memuat sekitar 400 ribu hingga
700 ribu judul buku. Dengan fasilitas buku dan kitab yang lengkap itu,
para mahasiswa akan belajar sesuai tingkatannya. Tingkat paling tinggi
yang ditawarkan Universitas Sankore adalah ‘program superior’ (setara
PhD), waktu kuliahnya selama 10 tahun. rol/dia/rid
http://kembanganggrek2.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar