“Nahnu Du'at Qobla kulli syai'in (kita adalah da'i sebelum menjadi apapun)”
Ungkapan diatas sering kita dengar dan mungkin selalu disampaikan oleh para aktivis dakwah dalam meyakinkan dirinya dan orang lain bahwa profesi mula seorang muslim menjadi apapun adalah bertugas menyampaikan risalah dakwah Rasulullah SAW kepada umat islam.
Sebagai agent of change,
seorang Da'i tidak terlepas oleh dinamika kehidupan, baik dari
kehidupan personal maupun secara kolektif. Salah satu yang harus kita
pahami dalam menjalankannya adalah kebutuhan seorang Da'i dalam
Iqthisody-nya (kewirausahaan).
Berbicara
tentang amal ke-ekonomian, seorang da'i memutar dalam dua perspektif
yaitu penting atau tidak penting amal iqthisody (kewirausahaan) ini
dalam membangun dakwah itu sendiri.
Dalam
anggapan pentingnya amal ini, seorang da'i akan mempunyai alasan kuat
dengan mengkorelasikan kemajuan dakwah islam. Sebagian besar para da'i
berpendapat bahwa amal ini akan menjadi penegak punggung dakwah ini,
karena dakwah ini adalah integral dari satu aspek dengan aspek yang
lainnya, amal ekonomi dengan amal kaderisasi, amal sosial dengan amal
ekonomi, dan begitu pun seterusnya. Faktor kebutuhan dalam dakwah
menjadi alasan mengapa amal ini harus menjadi bagian yang harus
ditegakkan. Dakwah bagi para da'i dengan melihat pentingnya amal ini
adalah agar dakwah ini diterima oleh masyarakat kita. Ibarat motor
dengan bensin, sebuah motor dengan bensin di dalamnya tidak akan
berjalan bila tidak ada bahan bakar didalamnya. Begitupun dengan dakwah
islamiyah bila tidak ada penegakan dari sisi keekonomian maka perjalanan
risalah ini juga akan bermasalah.
Dalam
sisi anggapan, para da'i yang tidak melihat amal ini penting juga
memiliki alasan tertentu bahwa dakwah ini akan tetap berjalan tanpa
adanya amal ini sendiri. Dalam alasan lainnya adalah masalah tidak
totalitasnya dalam melaksanakan tugas dakwah sehingga masih banyak
masalah umat yang muncul akibat terlalu mengurusi amal iqthisody
(kewirausahaan) ini. Yang terpenting anggapan mereka adalah fokus dengan
tugas dakwah saja, sudah cukup bagi mereka.
Wahai saudaraku . . .
Dari
dua sisi anggapan ini, duanya mempunyai niat yang baik untuk memajukan
dakwah islam. Tidak ada yang salah dalam cara berpikir mereka, namun
coba kita ambil hikmah mengenai fenomena fatamorgana di gurun pasir,
terlihat oleh mata seperti ada oasis (tempat ditumbuhi pepohonan dan
adanya air seperti danau), namun apa yang terjadi ternyata itu adalah
ilusi . . .
Ilusi
merupakan fenomena ketika keinginan dengan realita tidak tercapai.
Hubungannya dengan amal iqthishody ini sangatlah kuat, contoh kasus
dalam dakwah kita adalah ada seorang da'i yang ingin menyadarkan
masyarakat dalam pedesaan dengan mengenalkan mereka dengan Robb-nya,
sedangkan masyarakat tersebut tengah berada dalam kondisi perut
kelaparan. Dan apakah yang akan terjadi ? Maka yang terjadi justru
penolakan terhadap si Da'i tadi. Inilah ketika keinginan bertemu dengan
realita. Ya, benar bila dalam masyarakat tersebut belum paham benar
dengan nilai-nilai islam, Al-Qur'an dan belum juga mengenal Robb-nya.
Namun, masalah yang mereka hadapi terlebih dahulu adalah kelaparan dan
yang dibutuhkan adalah makanan, ketidaksadaran Si Da'i tadi dalam
menyampaikan dakwahnya belum memenuhi kebutuhan apa-apa yang terlebih
dahulu diperlukan oleh mayarakat. Kebutuhan makanan berkaitan dengan
amal iqthisody (kewirausahaan) karena tanpa kita mengadakannya, dakwah
pun akan tersendat dan mengalami persoalan seperti si Da'i tadi.
Itu
hanya sebagian contoh yang terjadi di beberapa kalangan Da'i kita, baik
yang terjun di masyarakat maupun yang terjun dlam institusi (kantor,
kampus, sekolah, dll),
Ust.
Anis Matta pernah memberikan kutipannya mengenai pentingnya amal ini
sewaktu memberikan taujih di Jogja, bahwa "Kemajuan dalam pendidikan
maliyah (keuangan) turut memiliki peran yang dominan sebagai penegak
punggung dakwah kita"
Seorang Da'i yang optimis dengan menegakkan amal ini juga akan menegakkan dakwah islam, maka dengan niatan lillahi ta'ala, Da'i itu pun akan terus bekerja dan berusaha. Dengan bermodal DUIT (Do'a, Usaha, Ikhtiar, dan Tawakkal),
Insya Allah akan dimudahkan dalam urusan kehidupannya. Ia yakin
kebutuhannya tidak hanya mencukupi kebutuhan umat ini namun kebutuhannya
dan keluarganya pun menjadi tanggung jawabnya. Dalam berumah tangga
pun. Amal ini pun wajib dilakukan oleh seorang suami untuk menafkahi
keluarganya, seorang bapak bertanggung jawab terhadap biaya pendidikan
anaknya, dan sebagainya. Bagi mereka dengan usaha yang halal, insya
Allah akan meridhoi langkah mereka, baik mereka yang mau terjun dlam
keprofesian (dokter, kontraktor, pengacara, dll) maupun bagi mereka yang
membangun usahanya.
Sebaliknya,
bagi Da'i yang hanya mencukupkan dirinya dengan penyampaian dakwahnya
tanpa berusaha mencari rezeki yang telah disediakan Allah baginya di
dunia. Mungkin akan ada ketimpangan dalam hidupnya, dan hanya berucap
rezeki dari Allah dan tidak berusaha membagi waktu untuk mencarinya. Dan
ada sebagian hanya berdo'a saja tanpa adanya usaha. Keadaannya hanyalah
pasrah apa yang terjadi. Namun tak beriktiar untuk memperbaiki. Hikmah
surat Ar-Ra'du : 13 akan menjadi hikmah dalam memahami ini.
Da'i
yang kaya bukan berarti ia memiliki harta yang diinginkannya tapi
hakikatnya adalah keoptimisan dalam berusaha dalam menegakkan amal
iqthisody (kewirausahaan) dalam dakwah yang ia lakukan. Sebaliknya, Da'i
yang miskin adalah mereka yang memupuskan niatnya untuk menegakkan amal
ini dalam dakwah yang ia lakukan. Karena sebaik-baiknya guru adalah
pengalaman yang berharga.
Oleh : Nasrullah Arul Izzah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar