Bismillahir-Rahmanir-Rahim
 ... Melihat sebuah keluarga yang mampu mencukupi semua kebutuhan, 
kadang kala membuatku iri. Bukan karna aku tak pandai bersyukur, tapi 
hal ini membuat aku dan adikku semata wayang harus mau berbagi dalam 
berbagi hal. Termasuk urusan sekolah dan segala macam urusan.
“Siapa
 yang mencuri uang Bapak?” ibu menatap aku dan Mamat bergantian. 
Sedangkan bapak melihat kami dengan geram. Aku yang baru kelas 6 SD 
tersedut tertunduk ketakutan.
“Siapa?” kata bapak membentak kami.
“Mamat, pak!”
Aku
 terkejut melihat adikku yang baru kelas 3 Sd itu sangat berani. Bukan, 
bukan Mamat yang mengambil uang Bapak. Suaraku tertahan, tak mampu 
terucap.
“Mau jadi apa kamu? Masih kecil sudah berani 
mencuri. Bapak capek cari uang buat nyekolahin kamu, kamu malah mulai 
berani mencuri. Bapak ndak pernah ngajarin kamu mencuri,” bapak terus 
mengomel sambil memukuli Mamat dengan rotan.
Aku terduduk disudut ruangan, menangis, menutup telingaku tak mau mendengarkan tangisan adikku.
“Kamu kenapa mengakui perbuatan yang bukan perbuatanmu, Mat?” aku memeluknya erat.
“Sudahlah mbak ndak usah menangis, Mamat aja ndak nangis kan? Lagian mbak kan pengen banget kotak pensil itu kayak yang dipunyai Dewi, Sari dan temen-temen mbak.”katanya.
Yaa Allah, kenapa aku sebagai kakaknya nggak mampu menjadi kakak yang baik baginya. Dia mengajariku ketabahan dan keteguhan. Maafkan aku.
***
“Aku ingin kuliah, Pak!” kataku yang ngotot ingin kuliah.
“Biaya
 kuliah itu banyak, Nak, masih mending kamu udah bisa sekolah sampai 
SMA. Kamu ndak usah sekolah tinggi-tinggi, nanti juga kalau udah nikah 
yang biayain bukan kamu, tapi suamimu. Yang penting sekarang adikmu dulu
 yang laki-laki harus sekolah tinggi-tinggi.”
“Kenapa 
harus dibedakan antara laki-laki sama perempuan, ini masalah pendidikan 
Pak, masalah ilmu. Aku juga harus punya ilmu buat anak-anakku nanti, 
bukan sekedar dapur, kasur, sama sumur.”
“Mbak Indah kuliah saja, Mamat ndak usah nerusin sekolah dulu. Tahun depan kan masih bisa Mamat ngelanjutin,” kata Mamat.
“Apa
 katamu Mat? Kamu itu laki-laki, nanti kamu menjadi tulang punggung 
keluargamu. Kalau kamu ndak sekolah tinggi, mau dikasih apa keluargamu?”
 kata bapak dengan mata mulai memerah.
Tak ada yang berani membantah bapak bila bapak sudah menunjukkan kemarahannya, maka pupuslah harapanku.
“Ndak usah bilang-bilang sama bapak, mbak. Insyaallah Mamat ndak apa-apa. Yang penting mbak bisa kuliah.”
“Kamu
 mau kemana Mat? Ndak usah pergi demi mbakmu ini Mat. Mbak ndak apa-apa 
kalau mbak ndak kuliah. Yang penting Mamat ndak boleh pergi, nanti mbak 
ndak ada yang nemenin!” air mataku mulai mengalir. Tersedu tak mampu 
menghalangi kepergian Mamat, hanya karna dia ingin melihatku kuliah, dia
 rela meninggalkan rumah demi menolak keinginan Bapak.
“Mbak
 ndak boleh nangis, mbak harus kuat. Mbak ndak capek nangis terus? Mamat
 ini laki-laki mbak, jadi insyaallah bisa jaga diri. Mbak disini 
baik-baik, jaga bapak dan ibu.”
Aku melihat kepergiannya 
dalam bayang-bayang malam sampai punggungnya tak terlihat lagi, 
tangiskupun tak mampu kuhentikan meski dia telah menghilang.
***
“Indah diluar ada yang mencarimu tuh, katanya tukang kebunmu!” kata sahabatku juga teman kuliahku.
Aku nggak merasa punya tukang kebun, siapa yang menungguku didepan?. Aku segera bergegas menuju kedepan.
“Mamat!” aku segera memeluknya melepaskan rindu.
“ Tuh kan mbak indah nangis lagi.”
“Kangen tau!! Lagian ngapain pake ngaku-ngaku jadi tukang kebun segala?”
“Mamat
 ndak mau bikin malu Mbak, masa punya adik kayak Mamat. Kumel dan lusuh 
gini. Ini uang hasi kerja Mamat buat keperluan Mbak kuliah,”katanya 
seraya menyerahkan amplop ketanganku.
“Kamu itu ngomong 
apa sih Mat? Kamu tetap adikku mau kayak gimana juga,” aku makin 
memeluknya erat, tangiskupun tumpah didadanya.
“Malu mbak 
ah, dilihat banyak orang. Ndak boleh nangis mulu, nanti ndak cantik lagi
 lho!” Mamat mengusap air mataku. Tapi tak ingin kumelepaskan pelukan 
erat ini, aku terlalu takut dia meninggalkanku lagi.
***
Keinginanku
 menikah dengan orang yang paling kucintai kini justru ditentang Bapak 
dan Ibu, hanya karna dia seorang pegawai swasta. Katanya tidak level 
denganku yang lulusan sarjana dan pekerja kantoran.
“Apa yang bapak cari dari harta? Harta itu ndak akan dibawa ke liang kubur,”kata Mamat meyakinkan.
“Yang
 mbak Indah butuhkan itu dukungan kita Pak, tak perlu harta yang selalu 
dipandang. Seharusnya bapak senang kalau mbak Indah bahagia dengan orang
 yang paling dia cintai. Dia sudah dewasa pak, bisa memilih dan bisa 
memilah apa yang harus dia lakukan. Mamat yakin, mbak indah orang yang 
mau menerima suaminya apa adanya.” Bapak hanya terdiam mendengarkan 
lamat-lamat perkataan adikku.
Aahh..adikku ini, dia begitu
 dewasa dibandingkan aku. Begitu teguh dibandingkan aku, begitu sabar 
dibandingkan aku. Betapa aku tak pernah ada untuknya sebagai kakaknya.
Disini
 aku sekarang, berikrar janji dalam akad bersama suamiku. Aku melihat 
adikku polos menatapku dengan senyum termanisnya yang telah lama 
menghilang.
“ Makasih yaa dik!” aku kembali memeluknya erat jauh lebih erat.
“Alhamdulillah tugas Mamat sudah selesai,”katanya meneteskan air mata. Mamat yang tegar kenapa tiba-tiba menangis?
“Kenapa kamu malah menangis Mat, kamu nggak senang Mbak menikah?”
“Mbak masih ingat ketika kita SD dulu,” dia menatapku lekat, lalu kembali menengadahkan wajahnya ke langit-langit.
“Mbak ingat waktu aku kelas 3 sepatuku robek ketika kita hendak pulang sekolah?” aku mengangguk.
“Mbak
 mau memberikan sepatu mbak buatku dan mbak rela berjalan kaki tanpa 
memakai alas sampai kaki mbak tertusuk paku. Mbak nangis-nangis sampai 
ke rumah, tapi mbak sedikitpun ndak menyalahkan Mamat.” Aku terkenang 
masa itu.
“Dari situ Mamat bersumpah, Mamat ndak mau 
melihat mbak menangis lagi dan apapun akan Mamat lakuin asal buat mbak 
bahagia sampai ada yang mampu menjaga mbak. Dan janji itu sudah Mamat 
tunaikan sekarang.”
Aku kembali memburu dada Mamat untuk 
menuangkan tangisanku. Tangis haru yang tak pernah aku rasakan selama 
ini. Betapa seorang Mamat mampu begitu menyayangiku, mengapa aku tak 
mampu menyayanginya sebesar dia menyayangiku. Terimakasih adikku. 
Terimakasih Ahmad Fadhil atas semuanya.
Wallahu’alam bish Shawwab...
~ o ~
Semoga bermanfaat dan Dapat Diambil Hikmah-Nya ...Silahkan DICOPAS atau DI SHARE jika menurut sahabat note ini bermanfaat ....

 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar