Welcome to My Blog

Minggu, 13 Mei 2012

Hadits Niat


HADITS NIAT

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى، فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله، أو إلى دنيا يصيبها أو امرأة ينكحها، فهجرته إلى ما هاجر إليه

 “Semua amal itu hanya tergantung dengan niatnya, dan bagi seseorang hanyalah apa yang diniatinya. Barang siapa yang hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya maka ia akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya untuk suatu hal duniawi maka ia akan mendapatkannya, atau untuk seorang wanita maka iapun akan menikahinya. Maka hijrahnya akan sampai pada apa yang ia bermaksud hijrah padanya.” (Al-Hadits, riwayat Al-Bukhari, Muslim, Al-Imam Abu Dawud dll. dari Umar bin Al-Kaththab)

Hadits ini adalah Hadits yang sangat besar nilai ajarannya serta luas kandungan maknanya, dimana hampir semua amal ibadah dalam agama Islam berawal dari Hadits ini.

Berkatalah Abu Dawud: “Hatids ini adalah separuh agama, karena agama itu adalah amal lahir dan amal batin, sementara amal batin adalah niat.”

Berkatalah Al-Imam Asy-Syafi’i: “Hadits ini mengandung sepertiga ilmu agama, kerena amal seseorang itu dilakukan dengan tiga hal, yaitu hati, mulut dan anggota badan. Aka niat adalah salah satu dari tiga hal itu.”

Dari itu hampir semua kitab himpunan Hadits dimulai dengan “Hadits niat” ini, dengan harapan agar penulisan “Hadits niat” ini dapat mempengaruhi hati penulisnya untuk memantapkan niat ikhlas karena Allah SWT, termasuk saya dalam mengisi Halaqah Hadts” ini.

Asbaabul-wuruud:

Asbaabul-wuruud (kronologi atau sesab-sebab diucapakannya) “Hadits niat” ini adalah beberaja kejadian menjelang hijrah ke Madinah. Ketika Rasulullah SAW mengumumkan untuk berhijrah ke Madinah maka kaum muslimin menyambut pengumuman ini dengan senang hati, walaupun perjalanan dari Makkah ke Madinah pada saat itu bukanlah perjalanan yang ringan, melainkan mereka harus menempuh perjalanan panjang yang melelahkan selama kurang lebih seminggu, mereka harus menghadapi alam gurun yang berdebu, sengatan panas di siang hari dan dingin menusuk di malam hari, apalagi mereka harus membawa semua keluarga dari anak kecil sampai ibu tua, membawa banyak keperluan sebagai bekal di perjalanan. Sunnguh perjalanan yang amat meletihkan.

Namun diantara kaum muslimin ada yang justru menyambut pengumuman hijrah ini dengan senang hati karena alasan yang kurang tulus, bukan karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, melainkan lebih karena hal-hal yang bersifat duniawi. Diantara mereka ada yang merasa senang hijrah ke Madinah karena di sana tanahnya subur sehingga lebih mudah mencari nafkah, sementara di Makkah yang gersang ia susah mencari nafkah. Diantara mereka ada yang belum kawin atau ingin kawin lagi sehingga merasa senang untuk ikut berhijrah karena di Madinah mas kawin lebih murah. Bahkan diantara mereka ada seseorang yang mau berhijrah karena mengejar seorang wanita yang ikut berhijrah.

Al-Imam Ath-Thabrani meriwayatkan dari Shahabat Ibnu Mas’ud, beliau berkata: “Diantara kami (yang ikut berhijrah ke Madinah) ada seseorang yang melamar seorang wanita, wanita itu bernama Ummu Qais, kemudian wanita itu menolak lamaran itu kecuali si pelamar mau ikut berhijrah bersamanya, maka orang itupun mau berhijrah dan kemudian menikahi Ummu Qais. Kamipun menjuluki orang itu dengan ‘Muhajir Ummi Qais’ (yang berhijrah pada Ummu Qais).”

Maka Allah SWT mengarahkan hati dan kebijakan Rasulullah SAW untuk memperhatikan masalah ini, sehingga dengan bahasa yang indah beliaupun menegur dan mendidik para Shahabat untuk menjadi orang yang tulus karena Allah didalam melaksanakan semua amal, yaitu dengan menyabdakan “Hadits niat” yang sedang kita bicarakan ini.

Dalam cerita asbaabul-wuruud ini terdapat suatu kesimpulan bahwa Islam adalah agama tarbiyah (pendidikan). Banyak terjadi kisah-kisah teguran seperti ini dalam perjalan risalah Rasululah SAW, hal ini tidak lain untuk menunjukkan bahwa Islam itu sangat peduli terhadap umpaya menyempurnakan dan memberi yang terbaik, sehingga dengan kejadian-kejadian itu terbukti bahwa Rasulullah sangat aktif mengikuti perkembangan risalah, bukan hanya sekedar menyampaikan melainkan juga berupaya dimengerti dan diamalkan dengan baik oleh kaum muslimin.

Arti suatu niat.

Semua amal ibadah tergantung niatnya, apabila niatnya bukan karena Allah semata maka sebanyak dan seberat apapun ibadah yang kita lakukan akan menjadi fatamorgana. Boleh saja kita beribadah karena takut masuk neraka, maka dengan ibadah itu insyaallah kita akan selamat dari neraka. Boleh saja kita beribadah karena ingin masuk surga, maka dengan ibadah itu insyaallah kita akan masuk surga. Yang penting jangan sampai kita beramal karena ingin mendapatkan pujian dan simpati orang lain, karena dengan itu kita akan kehilangan amal dengan sia-sia, membuang waktu sia-sia, menggunakan tenaga sia-sia, mengeluarkan harta sia-sia. Dan niat yang paling utama didalam beramal adalah untuk mendapatkan ridha Allah. Apabila kita tulus karena mengharap ridha Allah SWT maka Allah SWT akan memberi kita pahala lebih dari yang dijanjikan. Ketika kita tidak menginginkan surga didalam beramal, maka Allah pun akan menerima amal itu dengan penuh penghormatan, sehingga Allah pun tidak menggunakan kalkulasi untuk memberikan pahala yang seperti yang telah dijanjikan, melainkan Allah akan memberi lebih dari yang dapat kita bayangkan. Dalam bahasa yang lebih akrab kita dapat katakan, bahwa kalau kita tidak itung-itungan didalam mempersembahkan amal bakti kepada Allah, maka Allah SWT juga tidak akan itung-itungan didalam memberi kita pahala dan kesenangan.

Orang yang mengerjakan ibadah karena ingin masuk surga sama dengan anak kecil yang mau belajar di Play Group karena banyak mainannya, sementara orang yang melakukan ibadah karena takut masuk neraka sama dengan murid SD yang mau mengerjakan PR karena takut dihukum oleh gurunya. Kita akui bahwa diantara kita memang lebih banyak yang seperti itu, namun dengan proses belajar mestinya kita semakin hari menjadi lebih dewasa. Sampai kapan kita hanya puas dengan hitungan pahala, sampai kapan kita hanya lega karena telah melakukan kewajiaban dan merasa telah lepas dari ancaman neraka?! Sementara anak-anak kita yang dulu di Play Group kini tak lagi mau diajak main kuda-kudaan, mereka bukan hanya tidak lagi merasa ingin main kuda-kudaan, akan tetapi mereka justru malu kalau sesekali ketahuan menunggangi kuda mainan adiknya. Anak kita yang dulu mengerjakan PR karena takut di hukum kini tak lagi ada yang ia takuti, apalagi kini badannya lebih besar dari gurunya, justru gurunya yang kadang-kadang lebih hati-hati karena hawatir anak kita melawan, namun anak kita justru lebih giat dari sewaktu di SD dulu, dan itu tidak lain karena ia sadar bahwa nilai bagus dalam kuliahnya adalah suatu hal yang membanggakan.

Seandainya tidak ada surga dan neraka, melaksanakan ajaran Islam sama sekali tidaklah merugikan, bila kita hanya menginginkan kebahagiaan di dunia maka berapa banyak contoh orang shaleh yang hidup bahagia di sekitar kita, dan berapa banyak orang melanggar hukum Islam yang hidup dalam ketidaktenangan. Kalau kita menganggap senang harus banyak harta maka apakah dengan melanggar hukum pasti bisa kaya? Kenyataan membuktikan bahwa mendapatkan harta tidak dapat dipastikan dengan cara dan usaha. Dan kalaupun dengan segala cara akhirnya mendapatkan harta, namun kenyataan membuktikan bahwa harta juga tidak mampu menjamin kebahagiaan. Maka satu-satunya yang dapat menjamin kebahagiaan kita adalah hidup sesuai ajaran Islam, kita lakukan apa yang mesti kita lakukan dan kita hindari apa yang mesti kita hindari, kemudian kita kenali Allah sampai kita mencintainya, kemudian kita persembahkan semua yang kita lakukan kepada-Nya, seolah-olah kita selalu berhadapan dan bercengkerama dengan-Nya. Saat kita hendak pergi ke kantor maka kita menyebut nama Allah SWT, seolah-olah kita berkata: “Ya Allah, bukankah Menurut-Mu aku harus bekerja? Baiklah, ya Allah, kini aku akan berangkat ngantor.” Saat kita ada masalah mengenai pekerjaan kantor sehingga usaha kita mengalami kerugian, maka kitapun menyebut nama Allah, seolah-olah kita berkata: “Ya Allah, aku sudah berusaha semaksimal mungkin, kalau keuntungan itu tidak jadi kudapatkan maka berarti Kau mau memberi yang lain yang lebih baik, maka sadarkanlah aku selalu bahwa Kau selalu memberi yang terbaik, agar aku tidak merasa kecewa karena salah sangka terhadap keputusan-Mu.” Betapa indahnya hidup ini bila bila hati kita selalu menatap dan menuju Allah SWT, dan kita sudah sangat bahagia seandainya kehidupan kita hanya sampai di dunia, kita merasa telah beruntung kalaupun Allah SWT tidak menyediakan surga.

Pengaruh niat dan hati

Ketika kita dinasehati untuk memperbaiki niat maka itu berarti nasehat untuk memperbaiki hati sacara keseluruhan, karena niat itu muncul dari kecenderungan hati. Orang yang suka bersedekah untuk mendapatkan pujian, tidak lain, karena ia merasa bahwa pujian orang itu ada gunanya, sehingga selama ia merasa bahwa pujian orang itu ada gunanya maka ia akan selalu riya’ didalam beramal. Maka yang perlu ditekankan pada hatinya adalah bahwa pujian orang itu sama sekali tidak berguna, bahkan justru sering membawa benacana. Orang yang suka berjudi, tidak lain, karena ia merasa yakin dengan kemenangan dan merasa senang dengan menghayal, sehingga selama ia merasa demikian maka selamanya ia akan berpikir untuk berjudi. Maka yang perlu ditekankan pada hatinya adalah bahwa keyakinan dan hayalan itu adalah bisikan setan yang sengaja untuk menghancurkan hidupnya.

Kesimpulannya, memperbaiki hati adalah pekerjaan yang sangat diutamakan, karena dengan hati yang baik maka seseorang akan cenderung berniat dan mengerjakan yang baik pula. Dari itu, dalam Hadits yang lain Rasulullah SAW bersabda:

ألا إن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله وإذا فسدت فسد الجسد كله، ألا وهو القلب


 “Ingatlah bahwa didalam tubuh ini ada segumpal darah, yang apabila segumpal darah itu baik maka akan menjadi baik pula seluruh badan ini, dan apabila segumpal darah itu buruk maka akan menjadi buruk pula seluruh badan ini. Ingatlah bahwa segumpal darah itu adalah hati.” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)

Antara hati dan amal.

Sebagian orang ada yang apabila ditegur karena suatu kesalahan maka ia menjawab “ah, yang penting hatinya!”, ia katakan seolah-olah ia merasa tak bersalah karena tidak berniat durhaka pada Allah SWT dengan amal yang disalahkan itu. Ucapan itu sebenarnya hanyalah sebuah silat lidah saja, ia hanya tidak terima untuk disalahkan, atau ia merasa memiliki hati yang baik sehingga sebuah kesalahan ia anggap tidak akan berpengaruh pada statusnya sebagai orang baik. Ucapan seperti itu sebenarnya sangatlah buruk, karena ucapan seperti itu menunjukkan bahwa si pengucap sama sekali tidak merasa perlu untuk merubah merubah kesalahannya.

Mengakui sebuah kesalahan adalah sisa-sisa amal yang sangat penting untuk dijaga oleh seorang yang melakukan suatu dosa, pengakuan itulah satu-satunya yang masih bisa ia lakukan, dan apabila pengakuan itu juga telah hilang dari hatinya maka kehidupan beragamanya ibarat api kecil yang tinggal menunggu hembusan angin, kemudian mati. Suatu contoh didalam menutup aurat, apabila seorang wanita belum bias menutup rambut karena terpengaruh lingkungan, maka setidaknya ia masih sadar bahwa ia telah melakukan suatu kesalahan, akui itu dalam hatinya, akui pula pada orang-orang di sekitarnya. Saya yakin bahwa mereka bukan sengaja mendurhakai Allah, mereka tidak menutup rambut karena lingkungan dan pergaulan, seandainya lingkungan mereka adalah pesantren maka saya yakin mereka pasti juga menutup rapat aurat mereka. Dan seandainya yang di Pesantren itu sejak dulu hidup di lingkungan membuka aurat maka belum tentu mereka tahan dari pengaruh lingkungannnya. Jadi, yang di Pesantren harus bersyukur karena ia ditempatkan pada lingkungan yang mendukungnya mengamalkan perintah jilbab, sementara yang di lingkungan buka aurat dan belum bisa menutup aurat harus tetap mengakui kesalahan membuka aurat, serta tetap berpikir agar suatu saat dapat menutup aurat. Bila ia tulus dengan pikiran dan keinginan itu insyaallah ia lebih punya harapan untuk dimaafkan oleh Allah SWT atas kesalahannya selama ini, dan akan mendapatkan kemudahan untuk berubah pada yang lebih baik.

Selain keadaan hati dapat berpengaruh pada amal lahiriah, amal lahiriah juga dapat berpengaruh pada hati. Pada awalnya mungkin hati merasa berontak ketika pertama kali kita berbuat dosa, dan pada saat itu berarti iman kita masih ada. Namun apabila perbuatan itu kemudian sering kita lakukan maka “pemberontakan” itu lambat laun menghilang, sehingga yang semua berbuat dengan hari berat akhirnya menjadi berbuat dengan hati senang, dan pada saat itu berarti iman kita telah berkeping-keping. Demikian pula dengan perbuatan orang lain. Ketika pertama kali kita berkenalan dengan pemabuk, hati kita merasa berat, inkar dan risih melihat teman kita mabuk, dan pada saat itu berarti iman kita masih bagus. Namun setelah kita sering kumpul dengan si pemabuk itu maka lama-lama hati kita tidak lagi merasa berat, tidak lagi merasa inkar dan risih, dan pada saat itu berarti iman kita telah hancur. Benarlah firman Allah SWT;

كلا بل ران على قلوبهم ما كانوا يكسبون


“Janganlah sekali-kali demikian, justru apa yang mereka lakukan itu dapat menutup hati mereka.” (Al-Qur’an, surat Al-Muthaffifiin : 14)

Maka hendaknya kita ingat, bahwa selain kita harus memelihara hati agar berpengaruh baik pada amal lahiriah, kita juga harus menjaga dan memperhatikan amal lahiriah agar tidak berpengaruh buruk terhadap hati.

Niat shalat.

Berangkat dari Hadits ini niat diatas, niat shalat menjadi bahan diskusi diantara Ulama-ulama ahli fiqih.

Al-Imam Asy-Syafi’i menyimpulkan bahwa semua amal, termasuk shalat, tiada sah tanpa dengan niat. Sementara yang lain, seperti Al-Imam Malik, menyimpulkan bahwa semua amal tidak sempurna (bukan tidak sah) tanpa dengan niat.

Bagi pengikut madzhab (pendapat) Asy-Syafi’i, berangkat dari pendapat bahwa niat adalah rukun, dimana shalat tidak sah tanpanya, maka ditulislah teks panduan niat dalam kitab-kitab madzhab tersebut, dengan menyaratkan adanya Ta’yin  (penentuan) komplit dalam niat shalat, yaitu menentukan shalat “apa” dan berapa raka’atnya, fardhu atau sunnah, melaksanakan kewajiban pada waktunya atau qadha’. Misalnya untuk shalat zhuhur;

 “Aku berniat shalat zhuhur empat raka’at, menghadap qiblat, untuk melaksanakan kewajiban yang sekarang (bukan qadha’), karena Allah ta’ala.”

Ke”komplit”an ini tidak lain adalah merupakan kepedulian ulama fiqih terhadap penjelasan tentang niat. Bahkan untuk itu mereka kemudian menyusun suatu kalimat untuk dilafalkan ketika berniat, dengan maksud sebagai usaha untuk memandu hati pada niat tersebut.

Bagi orang yang tidak mengerti maksud dan tujuannya, talaffuzh (melafalkan niat) ini dianggap sebagai bid’ah yang dibuat-buat oleh madzhab Asy-Syafi’i.

Namun tidak sedikit pula dari pengikut madzhab Asy-Syafi’i yang kemudian, ternyata, memang salah faham dengan panduan niat ini, mereka menganggap bahwa niat itu adalah menghadirkan ungkapan sebagaimana lafal niat tersebut dan mengejanya kalimat demi kalimat di dalam hati. Dan karena definisi niat itu dalah..

قَصْدُ شَيْءٍ مُقْتَرِناً بِفِعْلِهِ

 “Menyengaja sesuatu bersamaan dengan melakukannya”

Maka proses penghadiran ungkapan niat itu di lakukan pada awal takbiratul-ihram. Ironisnya, mereka yang salah faham (dengan mengeja lafal niat didalam hati) itu kemudian salah faham lagi dengan kalimat “muqtarinan bi-fi’lihi” (bersamaan dengan perbuatannya) yang ada dalam konteks definisi niat itu. Mereka menganggap bahwa proses pengungkapan niat harus rampung pada saat takbiratul-ihram, sehingga mereka menyelesaikan bacaan takbir dalam waktu yang cukup lama, karena menunggu selesainya pelafalan niat didalam hati, bahkan tidak sedikit dari mereka yang kemudian sering was-was semasa takbir, merasa niatnya tidak sah karena belum sempurna terlafalkan didalam hatinya, dan akibatnya banyak yang sering menggagalkan takbir dan mengulanginya kembali dengan niat ala mereka.

Sungguh ini merupakan kesalahfahaman yang ironis, karena selain hal ini dapat menyulitkan si peshalat, maka bagi pengkeritik madzhab Asy-Syafi’i, hal ini akan dibuat sebagai alasan untuk menyalahkan Ulama Asy-Syafi’iyah yang telah menyusun lafal niat.

Memang benar, niat itu harus rampung pada saat takbir, artinya kesadaran dan kesengajaan untuk shalat itu harus sudah hadir didalam hati sebelum takbir usai. Namun, sekali lagi, bukan melafalkan niat pada saat takbir.

Niat itu praktis.

Untuk memahami niat yang sebenarnya, marilah kita simak perumpamaan berikut ini; Ketika si Amin menyerahkan selembar uang kepada seorang pengemis, si Amin bermaksud bersedekah uang sebesar lima ratus rupiah. Setelah uang itu diterima oleh si pengemis, si Amin baru sadar bahwa uang lembaran itu ternyata pecahan lima ribu rupiah. Si Amin merasa keberatan untuk membiarkan semua uang itu diambil si pengemis, namun untuk menukarnya atau minta kembalian adalah sesuatu yang tidak mungkin. Maka si Amin pun mengelus dada seolah hal itu adalah musibah.

Menyikapi ihwal si Amin ini, kita dapat berdiskusi mengenai hal berhubungan dengan niat. Si Amin bersedekah dengan maksud lima ratus rupiah, namun yang terjadi adalah ia keliru menyerahkan uang pecahan lima ribu rupiah. Sebenarnya si Amin tidak ikhlas dengan yang empat ribu lima ratus rupiah, namun apa boleh buat, karena uang itu oleh si pengemis telah dimasukkan kedalam kantong bajunya.

Kalau mereka mengatakan bahwa si Amin hanya mendapatkan pahala dari uang yang lima ratus rupiah, tentu semua orang akan membenarkan mereka dan si Amin pun tidak akan merasa keberatan. Akan tetapi kalau mereka bertanya dulu kepada si Amin, apakah sewaktu menyerahkan uangnya ia berniat dengan mengungkapkan seumpama kalimat “aku berniat menyerahkan uang lima ratus rupiah ini kepada pengemis ini sebagai shadaqah sunnah, karena Allah”, maka tentu saja si Amin akan jengkel dan berkata, “Memangnya siapa yang bilang harus niat begitu?”

Demikian pula dengan niat shalat, yang dimaksud dengan niat itu adalah bersengaja dan bermaksud, sehingga ada bedanya dengan orang yang sedang mengigau, atau orang yang lupa waktu, atau orang yang belum hafal betul tentang jumlah raka’at shalat. Adapun bagi orang yang sudah rapi menghadap qiblat di masjid, serta sadar dengan waktu shalatnya, misalnya shalat zhuhur, dan sudah puluhan tahun melakukan shalat sehingga hafal betul kalau shalat zhuhur itu empat raka’at, maka apa lagi yang ia perlukan dalam niatnya? Apakah kesiapannya dengan mengangkat tangan untuk bertakbir itu belum cukup untuk disebut niat?

Satu hal lagi hendaknya mereka perhatikan, kalau memang niat itu harus seperti faham mereka, maka ingatlah bahwa niat itu harus “muqtarinan bifi’lihi” (bersamaan dengan perbuatannya). Nah, lalu kenapa proses talaffuzh di hati itu hanya mereka pusatkan pada saat takbir? Bukankah perbuatan shalat itu bukan hanya takbir, melainkan semua amalan mulai takbir sampai salam? Kalau memang niat itu harus melafalkan panduan niat dihati, maka sepanjang shalat hati kita hanya akan sibuk dengan kalimat “Aku berniat shalat zhuhur empat raka’at, dengan menghadap qiblat, untuk melaksanakan kewajiban yang sekarang, karena Allah Ta’ala.”  Sungguh ini adalah suatu kesimpulan dari sebuah faham yang keliru!

Hendaknya hal ini difahami oleh para peshalat, terutama pengikut madzhab Asy-Syafi’i yang mengharuskan niat dalam shalat, terutama lagi oleh orang-orang yang sering was-was semasa bertakbir.

Ketahuilah bahwa syetan telah memanfaatkan kesalahfaman mereka untuk mengganggu mereka. Karena dengan kesalahfahaman itu biasanya seseorang melakukan beberapa kekeliruan, diantaranya;

1.      Memanjangkan bacaan “Allaah” melebihi batas panjangnya, yaitu tiga huruf atau enam harakat (enam detik).

2.      Mengurungkan takbir dan mengulang dari awal, padahal apabila seseorang telah membaca takbir shalat maka berarti ia telah masuk dalam shalat, dan tidak boleh (haram) membatalkan shalat kecuali sangat terdesak.

3.      Meninggalkan konsentrasi terhadap kandungan makna takbir demi untuk talaffuzh di hati yang tahshilul-hasil (mengusahakan seseuatu yang telah tercapai), karena sebenarnya niatnya telah tercapai. Padahal, sewaktu takbir, semestinya kita merasakan kebesaran dan kewibawaan Allah Azza wa-Jalla, sehingga sewaktu bertakbir hati kita menjadi ciut dan terkesiap karena takut kepada Allah Azza wa-Jalla.

Kesimpulannya, niat shalat menurut madzhab Asy-Syafi’i adalah sebagai berikut:

a.       Niat adalah rukun shalat. Niat shalat artinya bersengaja di hati (bukan melafalkan sengaja di hati) untuk melakukan shalat tertentu, bersengaja fardhu atau sunnah, bersengaja dengan raka’at tertentu, bersengaja menghadap qiblat, bersengaja ada’ (sholat pada waktunya) atau qadha’ (shalat mengantikan yang terlewatkan), bersengaja jadi makmum (kalau bermakmum) dan bersengaja karena Allah. Niat atau kesengajaan itu harus sudah dilakukan atau terjadi sebelum takbiratul-ihram usai, dan harus terus berlangsung (tidak putus) sampai salam, karena fi’lu (kelakuan shalat) itu adalah semua bagian shalat mulai dari takbiratulihram sampai salam. Perlu diperhatikan bahwa niat dan talaffuzh bin-niyyah (melafalkan niat) itu adalah dua hal yang berbeda!

b.      Talaffuzh bin-niyyah di mulut dan di hati sebelum takbiratul-ihram adalah “sunnah” dalam arti mustahabb (disukai atau dianjurkan), apabila talaffuzh ini memang dapat membantu kesiapan shalat.

c.       Talaffuzh bin-niyyah di mulut pada saat takbiratul-ihram adalah hal yang tidak mungkin. Karena mulut tidak mungkin dapat mengucapkan takbir dan lafal niat dalam satu waktu, melainkan mesti harus bergantian; entah lafal niat terlebih dahulu atau takbir dahulu.

d.      talaffuzh bin-niyyah (bukan niat) di hati pada saat takbiratul-ihram adalah hal yang tidak semestinya. Karena, apabila peshalat telah sadar bahwa ia sedang atau mulai melakukan suatu shalat, maka talaffuzh bin-niyyah adalah tahshilul-hashil (mengusahakan sesuatu yang telah tercapai). Dan bahkan gara-gara talaffuzh yang tidak semestinya itu, peshalat justru mengorbankan sesuatu yang semestinya dan penting, yaitu menghadirkan kandungan makna takbiratul-ihram.

Dari itu, bila kita telah siap untuk shalat, pastikan di hati bahwa kita hendak menghadap Allah ‘Azza wa-Jalla, pastikan kalau kita sadar hendak shalat, misalnya, zhuhur, pastikan bahwa kita tidak lupa kalau zhuhur itu empat raka’at, pastikan kalau kita sudah menghadap ke qiblat, pastikan apakah sedang shalat ada’ atau shalat qadhaa’, pastikan apakah kita shalat sendirian atau berma’mum, kemudian dengan mantap kita angkat kedua tangan seraya mengucapkan “Allaahu Akbar”, kita ucapkan dengan fasih dan tenang, hayati makna takbir dengan penuh khusyu’.

Sungguh niat itu sangat praktis, kecuali bagi orang yang tidak memahami niat dengan sebenarnya!

Media Da'wah & Silaturrahim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar