HADITS NIAT
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى،
فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله، أو إلى دنيا
يصيبها أو امرأة ينكحها، فهجرته إلى ما هاجر إليه
“Semua amal itu hanya tergantung dengan
niatnya, dan bagi seseorang hanyalah apa yang diniatinya. Barang siapa
yang hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya maka ia akan sampai
kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya untuk suatu hal
duniawi maka ia akan mendapatkannya, atau untuk seorang wanita maka
iapun akan menikahinya. Maka hijrahnya akan sampai pada apa yang ia
bermaksud hijrah padanya.” (Al-Hadits, riwayat Al-Bukhari, Muslim, Al-Imam Abu Dawud dll. dari Umar bin Al-Kaththab)
Hadits ini adalah Hadits yang sangat besar nilai
ajarannya serta luas kandungan maknanya, dimana hampir semua amal ibadah
dalam agama Islam berawal dari Hadits ini.
Berkatalah Abu Dawud: “Hatids ini adalah separuh
agama, karena agama itu adalah amal lahir dan amal batin, sementara amal
batin adalah niat.”
Berkatalah Al-Imam Asy-Syafi’i: “Hadits ini
mengandung sepertiga ilmu agama, kerena amal seseorang itu dilakukan
dengan tiga hal, yaitu hati, mulut dan anggota badan. Aka niat adalah
salah satu dari tiga hal itu.”
Dari itu hampir semua kitab himpunan Hadits
dimulai dengan “Hadits niat” ini, dengan harapan agar penulisan “Hadits
niat” ini dapat mempengaruhi hati penulisnya untuk memantapkan niat
ikhlas karena Allah SWT, termasuk saya dalam mengisi Halaqah Hadts” ini.
Asbaabul-wuruud:
Asbaabul-wuruud (kronologi atau sesab-sebab
diucapakannya) “Hadits niat” ini adalah beberaja kejadian menjelang
hijrah ke Madinah. Ketika Rasulullah SAW mengumumkan untuk berhijrah ke
Madinah maka kaum muslimin menyambut pengumuman ini dengan senang hati,
walaupun perjalanan dari Makkah ke Madinah pada saat itu bukanlah
perjalanan yang ringan, melainkan mereka harus menempuh perjalanan
panjang yang melelahkan selama kurang lebih seminggu, mereka harus
menghadapi alam gurun yang berdebu, sengatan panas di siang hari dan
dingin menusuk di malam hari, apalagi mereka harus membawa semua
keluarga dari anak kecil sampai ibu tua, membawa banyak keperluan
sebagai bekal di perjalanan. Sunnguh perjalanan yang amat meletihkan.
Namun diantara kaum muslimin ada yang justru
menyambut pengumuman hijrah ini dengan senang hati karena alasan yang
kurang tulus, bukan karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, melainkan
lebih karena hal-hal yang bersifat duniawi. Diantara mereka ada yang
merasa senang hijrah ke Madinah karena di sana tanahnya subur sehingga
lebih mudah mencari nafkah, sementara di Makkah yang gersang ia susah
mencari nafkah. Diantara mereka ada yang belum kawin atau ingin kawin
lagi sehingga merasa senang untuk ikut berhijrah karena di Madinah mas
kawin lebih murah. Bahkan diantara mereka ada seseorang yang mau
berhijrah karena mengejar seorang wanita yang ikut berhijrah.
Al-Imam Ath-Thabrani meriwayatkan dari Shahabat
Ibnu Mas’ud, beliau berkata: “Diantara kami (yang ikut berhijrah ke
Madinah) ada seseorang yang melamar seorang wanita, wanita itu bernama
Ummu Qais, kemudian wanita itu menolak lamaran itu kecuali si pelamar
mau ikut berhijrah bersamanya, maka orang itupun mau berhijrah dan
kemudian menikahi Ummu Qais. Kamipun menjuluki orang itu dengan ‘Muhajir
Ummi Qais’ (yang berhijrah pada Ummu Qais).”
Maka Allah SWT mengarahkan hati dan kebijakan
Rasulullah SAW untuk memperhatikan masalah ini, sehingga dengan bahasa
yang indah beliaupun menegur dan mendidik para Shahabat untuk menjadi
orang yang tulus karena Allah didalam melaksanakan semua amal, yaitu
dengan menyabdakan “Hadits niat” yang sedang kita bicarakan ini.
Dalam cerita asbaabul-wuruud ini terdapat
suatu kesimpulan bahwa Islam adalah agama tarbiyah (pendidikan). Banyak
terjadi kisah-kisah teguran seperti ini dalam perjalan risalah
Rasululah SAW, hal ini tidak lain untuk menunjukkan bahwa Islam itu
sangat peduli terhadap umpaya menyempurnakan dan memberi yang terbaik,
sehingga dengan kejadian-kejadian itu terbukti bahwa Rasulullah sangat
aktif mengikuti perkembangan risalah, bukan hanya sekedar menyampaikan
melainkan juga berupaya dimengerti dan diamalkan dengan baik oleh kaum
muslimin.
Arti suatu niat.
Semua amal ibadah tergantung niatnya, apabila
niatnya bukan karena Allah semata maka sebanyak dan seberat apapun
ibadah yang kita lakukan akan menjadi fatamorgana. Boleh saja kita
beribadah karena takut masuk neraka, maka dengan ibadah itu insyaallah
kita akan selamat dari neraka. Boleh saja kita beribadah karena ingin
masuk surga, maka dengan ibadah itu insyaallah kita akan masuk surga.
Yang penting jangan sampai kita beramal karena ingin mendapatkan pujian
dan simpati orang lain, karena dengan itu kita akan kehilangan amal
dengan sia-sia, membuang waktu sia-sia, menggunakan tenaga sia-sia,
mengeluarkan harta sia-sia. Dan niat yang paling utama didalam beramal
adalah untuk mendapatkan ridha Allah. Apabila kita tulus karena
mengharap ridha Allah SWT maka Allah SWT akan memberi kita pahala lebih
dari yang dijanjikan. Ketika kita tidak menginginkan surga didalam
beramal, maka Allah pun akan menerima amal itu dengan penuh
penghormatan, sehingga Allah pun tidak menggunakan kalkulasi untuk
memberikan pahala yang seperti yang telah dijanjikan, melainkan Allah
akan memberi lebih dari yang dapat kita bayangkan. Dalam bahasa yang
lebih akrab kita dapat katakan, bahwa kalau kita tidak itung-itungan didalam mempersembahkan amal bakti kepada Allah, maka Allah SWT juga tidak akan itung-itungan didalam memberi kita pahala dan kesenangan.
Orang yang mengerjakan ibadah karena ingin masuk
surga sama dengan anak kecil yang mau belajar di Play Group karena
banyak mainannya, sementara orang yang melakukan ibadah karena takut
masuk neraka sama dengan murid SD yang mau mengerjakan PR karena takut
dihukum oleh gurunya. Kita akui bahwa diantara kita memang lebih banyak
yang seperti itu, namun dengan proses belajar mestinya kita semakin hari
menjadi lebih dewasa. Sampai kapan kita hanya puas dengan hitungan
pahala, sampai kapan kita hanya lega karena telah melakukan kewajiaban
dan merasa telah lepas dari ancaman neraka?! Sementara anak-anak kita
yang dulu di Play Group kini tak lagi mau diajak main kuda-kudaan,
mereka bukan hanya tidak lagi merasa ingin main kuda-kudaan, akan tetapi
mereka justru malu kalau sesekali ketahuan menunggangi kuda mainan
adiknya. Anak kita yang dulu mengerjakan PR karena takut di hukum kini
tak lagi ada yang ia takuti, apalagi kini badannya lebih besar dari
gurunya, justru gurunya yang kadang-kadang lebih hati-hati karena
hawatir anak kita melawan, namun anak kita justru lebih giat dari
sewaktu di SD dulu, dan itu tidak lain karena ia sadar bahwa nilai bagus
dalam kuliahnya adalah suatu hal yang membanggakan.
Seandainya tidak ada surga dan neraka,
melaksanakan ajaran Islam sama sekali tidaklah merugikan, bila kita
hanya menginginkan kebahagiaan di dunia maka berapa banyak contoh orang
shaleh yang hidup bahagia di sekitar kita, dan berapa banyak orang
melanggar hukum Islam yang hidup dalam ketidaktenangan. Kalau kita
menganggap senang harus banyak harta maka apakah dengan melanggar hukum
pasti bisa kaya? Kenyataan membuktikan bahwa mendapatkan harta tidak
dapat dipastikan dengan cara dan usaha. Dan kalaupun dengan segala cara
akhirnya mendapatkan harta, namun kenyataan membuktikan bahwa harta juga
tidak mampu menjamin kebahagiaan. Maka satu-satunya yang dapat menjamin
kebahagiaan kita adalah hidup sesuai ajaran Islam, kita lakukan apa
yang mesti kita lakukan dan kita hindari apa yang mesti kita hindari,
kemudian kita kenali Allah sampai kita mencintainya, kemudian kita
persembahkan semua yang kita lakukan kepada-Nya, seolah-olah kita selalu
berhadapan dan bercengkerama dengan-Nya. Saat kita hendak pergi ke
kantor maka kita menyebut nama Allah SWT, seolah-olah kita berkata: “Ya
Allah, bukankah Menurut-Mu aku harus bekerja? Baiklah, ya Allah, kini
aku akan berangkat ngantor.” Saat kita ada masalah mengenai pekerjaan
kantor sehingga usaha kita mengalami kerugian, maka kitapun menyebut
nama Allah, seolah-olah kita berkata: “Ya Allah, aku sudah berusaha
semaksimal mungkin, kalau keuntungan itu tidak jadi kudapatkan maka
berarti Kau mau memberi yang lain yang lebih baik, maka sadarkanlah aku
selalu bahwa Kau selalu memberi yang terbaik, agar aku tidak merasa
kecewa karena salah sangka terhadap keputusan-Mu.” Betapa indahnya hidup
ini bila bila hati kita selalu menatap dan menuju Allah SWT, dan kita
sudah sangat bahagia seandainya kehidupan kita hanya sampai di dunia,
kita merasa telah beruntung kalaupun Allah SWT tidak menyediakan surga.
Pengaruh niat dan hati
Ketika kita dinasehati untuk memperbaiki niat maka
itu berarti nasehat untuk memperbaiki hati sacara keseluruhan, karena
niat itu muncul dari kecenderungan hati. Orang yang suka bersedekah
untuk mendapatkan pujian, tidak lain, karena ia merasa bahwa pujian
orang itu ada gunanya, sehingga selama ia merasa bahwa pujian orang itu
ada gunanya maka ia akan selalu riya’ didalam beramal. Maka
yang perlu ditekankan pada hatinya adalah bahwa pujian orang itu sama
sekali tidak berguna, bahkan justru sering membawa benacana. Orang yang
suka berjudi, tidak lain, karena ia merasa yakin dengan kemenangan dan
merasa senang dengan menghayal, sehingga selama ia merasa demikian maka
selamanya ia akan berpikir untuk berjudi. Maka yang perlu ditekankan
pada hatinya adalah bahwa keyakinan dan hayalan itu adalah bisikan setan
yang sengaja untuk menghancurkan hidupnya.
Kesimpulannya, memperbaiki hati adalah pekerjaan
yang sangat diutamakan, karena dengan hati yang baik maka seseorang akan
cenderung berniat dan mengerjakan yang baik pula. Dari itu, dalam
Hadits yang lain Rasulullah SAW bersabda:
ألا إن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله وإذا فسدت فسد الجسد كله، ألا وهو القلب
“Ingatlah bahwa didalam tubuh ini ada
segumpal darah, yang apabila segumpal darah itu baik maka akan menjadi
baik pula seluruh badan ini, dan apabila segumpal darah itu buruk maka
akan menjadi buruk pula seluruh badan ini. Ingatlah bahwa segumpal darah
itu adalah hati.” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)
Antara hati dan amal.
Sebagian orang ada yang apabila ditegur karena
suatu kesalahan maka ia menjawab “ah, yang penting hatinya!”, ia katakan
seolah-olah ia merasa tak bersalah karena tidak berniat durhaka pada
Allah SWT dengan amal yang disalahkan itu. Ucapan itu sebenarnya
hanyalah sebuah silat lidah saja, ia hanya tidak terima untuk
disalahkan, atau ia merasa memiliki hati yang baik sehingga sebuah
kesalahan ia anggap tidak akan berpengaruh pada statusnya sebagai orang
baik. Ucapan seperti itu sebenarnya sangatlah buruk, karena ucapan
seperti itu menunjukkan bahwa si pengucap sama sekali tidak merasa perlu
untuk merubah merubah kesalahannya.
Mengakui sebuah kesalahan adalah sisa-sisa amal
yang sangat penting untuk dijaga oleh seorang yang melakukan suatu dosa,
pengakuan itulah satu-satunya yang masih bisa ia lakukan, dan apabila
pengakuan itu juga telah hilang dari hatinya maka kehidupan beragamanya
ibarat api kecil yang tinggal menunggu hembusan angin, kemudian mati.
Suatu contoh didalam menutup aurat, apabila seorang wanita belum bias
menutup rambut karena terpengaruh lingkungan, maka setidaknya ia masih
sadar bahwa ia telah melakukan suatu kesalahan, akui itu dalam hatinya,
akui pula pada orang-orang di sekitarnya. Saya yakin bahwa mereka bukan
sengaja mendurhakai Allah, mereka tidak menutup rambut karena lingkungan
dan pergaulan, seandainya lingkungan mereka adalah pesantren maka saya
yakin mereka pasti juga menutup rapat aurat mereka. Dan seandainya yang
di Pesantren itu sejak dulu hidup di lingkungan membuka aurat maka belum
tentu mereka tahan dari pengaruh lingkungannnya. Jadi, yang di
Pesantren harus bersyukur karena ia ditempatkan pada lingkungan yang
mendukungnya mengamalkan perintah jilbab, sementara yang di lingkungan
buka aurat dan belum bisa menutup aurat harus tetap mengakui kesalahan
membuka aurat, serta tetap berpikir agar suatu saat dapat menutup aurat.
Bila ia tulus dengan pikiran dan keinginan itu insyaallah ia
lebih punya harapan untuk dimaafkan oleh Allah SWT atas kesalahannya
selama ini, dan akan mendapatkan kemudahan untuk berubah pada yang lebih
baik.
Selain keadaan hati dapat berpengaruh pada amal
lahiriah, amal lahiriah juga dapat berpengaruh pada hati. Pada awalnya
mungkin hati merasa berontak ketika pertama kali kita berbuat dosa, dan
pada saat itu berarti iman kita masih ada. Namun apabila perbuatan itu
kemudian sering kita lakukan maka “pemberontakan” itu lambat laun
menghilang, sehingga yang semua berbuat dengan hari berat akhirnya
menjadi berbuat dengan hati senang, dan pada saat itu berarti iman kita
telah berkeping-keping. Demikian pula dengan perbuatan orang lain.
Ketika pertama kali kita berkenalan dengan pemabuk, hati kita merasa
berat, inkar dan risih melihat teman kita mabuk, dan pada saat itu
berarti iman kita masih bagus. Namun setelah kita sering kumpul dengan
si pemabuk itu maka lama-lama hati kita tidak lagi merasa berat, tidak
lagi merasa inkar dan risih, dan pada saat itu berarti iman kita telah
hancur. Benarlah firman Allah SWT;
كلا بل ران على قلوبهم ما كانوا يكسبون
“Janganlah sekali-kali demikian, justru apa yang mereka lakukan itu dapat menutup hati mereka.” (Al-Qur’an, surat Al-Muthaffifiin : 14)
Maka hendaknya kita ingat, bahwa selain kita harus
memelihara hati agar berpengaruh baik pada amal lahiriah, kita juga
harus menjaga dan memperhatikan amal lahiriah agar tidak berpengaruh
buruk terhadap hati.
Niat shalat.
Berangkat dari Hadits ini niat diatas, niat shalat menjadi bahan diskusi diantara Ulama-ulama ahli fiqih.
Al-Imam Asy-Syafi’i menyimpulkan
bahwa semua amal, termasuk shalat, tiada sah tanpa dengan niat.
Sementara yang lain, seperti Al-Imam Malik, menyimpulkan bahwa semua
amal tidak sempurna (bukan tidak sah) tanpa dengan niat.
Bagi pengikut madzhab (pendapat)
Asy-Syafi’i, berangkat dari pendapat bahwa niat adalah rukun, dimana
shalat tidak sah tanpanya, maka ditulislah teks panduan niat dalam
kitab-kitab madzhab tersebut, dengan menyaratkan adanya Ta’yin (penentuan)
komplit dalam niat shalat, yaitu menentukan shalat “apa” dan berapa
raka’atnya, fardhu atau sunnah, melaksanakan kewajiban pada waktunya
atau qadha’. Misalnya untuk shalat zhuhur;
“Aku berniat shalat zhuhur
empat raka’at, menghadap qiblat, untuk melaksanakan kewajiban yang
sekarang (bukan qadha’), karena Allah ta’ala.”
Ke”komplit”an ini tidak lain adalah
merupakan kepedulian ulama fiqih terhadap penjelasan tentang niat.
Bahkan untuk itu mereka kemudian menyusun suatu kalimat untuk dilafalkan
ketika berniat, dengan maksud sebagai usaha untuk memandu hati pada
niat tersebut.
Bagi orang yang tidak mengerti maksud dan tujuannya, talaffuzh (melafalkan niat) ini dianggap sebagai bid’ah yang dibuat-buat oleh madzhab Asy-Syafi’i.
Namun tidak sedikit pula dari
pengikut madzhab Asy-Syafi’i yang kemudian, ternyata, memang salah faham
dengan panduan niat ini, mereka menganggap bahwa niat itu adalah
menghadirkan ungkapan sebagaimana lafal niat tersebut dan mengejanya
kalimat demi kalimat di dalam hati. Dan karena definisi niat itu dalah..
قَصْدُ شَيْءٍ مُقْتَرِناً بِفِعْلِهِ
“Menyengaja sesuatu bersamaan dengan melakukannya”
Maka proses penghadiran ungkapan niat itu di lakukan pada awal takbiratul-ihram. Ironisnya, mereka yang salah faham (dengan mengeja lafal niat didalam hati) itu kemudian salah faham lagi dengan kalimat “muqtarinan bi-fi’lihi”
(bersamaan dengan perbuatannya) yang ada dalam konteks definisi niat
itu. Mereka menganggap bahwa proses pengungkapan niat harus rampung pada
saat takbiratul-ihram, sehingga mereka menyelesaikan bacaan
takbir dalam waktu yang cukup lama, karena menunggu selesainya pelafalan
niat didalam hati, bahkan tidak sedikit dari mereka yang kemudian
sering was-was semasa takbir, merasa niatnya tidak sah karena belum
sempurna terlafalkan didalam hatinya, dan akibatnya banyak yang sering
menggagalkan takbir dan mengulanginya kembali dengan niat ala mereka.
Sungguh ini merupakan kesalahfahaman
yang ironis, karena selain hal ini dapat menyulitkan si peshalat, maka
bagi pengkeritik madzhab Asy-Syafi’i, hal ini akan dibuat sebagai alasan
untuk menyalahkan Ulama Asy-Syafi’iyah yang telah menyusun lafal niat.
Memang benar, niat itu harus rampung
pada saat takbir, artinya kesadaran dan kesengajaan untuk shalat itu
harus sudah hadir didalam hati sebelum takbir usai. Namun, sekali lagi,
bukan melafalkan niat pada saat takbir.
Niat itu praktis.
Untuk memahami niat yang sebenarnya,
marilah kita simak perumpamaan berikut ini; Ketika si Amin menyerahkan
selembar uang kepada seorang pengemis, si Amin bermaksud bersedekah uang
sebesar lima ratus rupiah. Setelah uang itu diterima oleh si pengemis,
si Amin baru sadar bahwa uang lembaran itu ternyata pecahan lima ribu
rupiah. Si Amin merasa keberatan untuk membiarkan semua uang itu diambil
si pengemis, namun untuk menukarnya atau minta kembalian adalah sesuatu
yang tidak mungkin. Maka si Amin pun mengelus dada seolah hal itu
adalah musibah.
Menyikapi ihwal si Amin ini, kita
dapat berdiskusi mengenai hal berhubungan dengan niat. Si Amin
bersedekah dengan maksud lima ratus rupiah, namun yang terjadi adalah ia
keliru menyerahkan uang pecahan lima ribu rupiah. Sebenarnya si Amin
tidak ikhlas dengan yang empat ribu lima ratus rupiah, namun apa boleh
buat, karena uang itu oleh si pengemis telah dimasukkan kedalam kantong
bajunya.
Kalau mereka mengatakan bahwa si
Amin hanya mendapatkan pahala dari uang yang lima ratus rupiah, tentu
semua orang akan membenarkan mereka dan si Amin pun tidak akan merasa
keberatan. Akan tetapi kalau mereka bertanya dulu kepada si Amin, apakah
sewaktu menyerahkan uangnya ia berniat dengan mengungkapkan seumpama
kalimat “aku berniat menyerahkan uang lima ratus rupiah ini kepada
pengemis ini sebagai shadaqah sunnah, karena Allah”, maka tentu saja si
Amin akan jengkel dan berkata, “Memangnya siapa yang bilang harus niat
begitu?”
Demikian pula dengan niat shalat,
yang dimaksud dengan niat itu adalah bersengaja dan bermaksud, sehingga
ada bedanya dengan orang yang sedang mengigau, atau orang yang lupa
waktu, atau orang yang belum hafal betul tentang jumlah raka’at shalat.
Adapun bagi orang yang sudah rapi menghadap qiblat di masjid, serta
sadar dengan waktu shalatnya, misalnya shalat zhuhur, dan sudah puluhan
tahun melakukan shalat sehingga hafal betul kalau shalat zhuhur itu
empat raka’at, maka apa lagi yang ia perlukan dalam niatnya? Apakah
kesiapannya dengan mengangkat tangan untuk bertakbir itu belum cukup
untuk disebut niat?
Satu hal lagi hendaknya mereka
perhatikan, kalau memang niat itu harus seperti faham mereka, maka
ingatlah bahwa niat itu harus “muqtarinan bifi’lihi” (bersamaan dengan perbuatannya). Nah, lalu kenapa proses talaffuzh
di hati itu hanya mereka pusatkan pada saat takbir? Bukankah perbuatan
shalat itu bukan hanya takbir, melainkan semua amalan mulai takbir
sampai salam? Kalau memang niat itu harus melafalkan panduan niat
dihati, maka sepanjang shalat hati kita hanya akan sibuk dengan kalimat “Aku
berniat shalat zhuhur empat raka’at, dengan menghadap qiblat, untuk
melaksanakan kewajiban yang sekarang, karena Allah Ta’ala.” Sungguh ini adalah suatu kesimpulan dari sebuah faham yang keliru!
Hendaknya hal ini difahami oleh para
peshalat, terutama pengikut madzhab Asy-Syafi’i yang mengharuskan niat
dalam shalat, terutama lagi oleh orang-orang yang sering was-was semasa
bertakbir.
Ketahuilah bahwa syetan telah
memanfaatkan kesalahfaman mereka untuk mengganggu mereka. Karena dengan
kesalahfahaman itu biasanya seseorang melakukan beberapa kekeliruan,
diantaranya;
1. Memanjangkan bacaan “Allaah” melebihi batas panjangnya, yaitu tiga huruf atau enam harakat (enam detik).
2. Mengurungkan
takbir dan mengulang dari awal, padahal apabila seseorang telah membaca
takbir shalat maka berarti ia telah masuk dalam shalat, dan tidak boleh
(haram) membatalkan shalat kecuali sangat terdesak.
3. Meninggalkan konsentrasi terhadap kandungan makna takbir demi untuk talaffuzh di hati yang tahshilul-hasil
(mengusahakan seseuatu yang telah tercapai), karena sebenarnya niatnya
telah tercapai. Padahal, sewaktu takbir, semestinya kita merasakan
kebesaran dan kewibawaan Allah Azza wa-Jalla, sehingga sewaktu bertakbir hati kita menjadi ciut dan terkesiap karena takut kepada Allah Azza wa-Jalla.
Kesimpulannya, niat shalat menurut madzhab Asy-Syafi’i adalah sebagai berikut:
a. Niat
adalah rukun shalat. Niat shalat artinya bersengaja di hati (bukan
melafalkan sengaja di hati) untuk melakukan shalat tertentu, bersengaja
fardhu atau sunnah, bersengaja dengan raka’at tertentu, bersengaja
menghadap qiblat, bersengaja ada’ (sholat pada waktunya) atau qadha’
(shalat mengantikan yang terlewatkan), bersengaja jadi makmum (kalau
bermakmum) dan bersengaja karena Allah. Niat atau kesengajaan itu harus
sudah dilakukan atau terjadi sebelum takbiratul-ihram usai, dan harus
terus berlangsung (tidak putus) sampai salam, karena fi’lu (kelakuan shalat) itu adalah semua bagian shalat mulai dari takbiratulihram sampai salam. Perlu diperhatikan bahwa niat dan talaffuzh bin-niyyah (melafalkan niat) itu adalah dua hal yang berbeda!
b. Talaffuzh bin-niyyah di mulut dan di hati sebelum takbiratul-ihram adalah “sunnah” dalam arti mustahabb (disukai atau dianjurkan), apabila talaffuzh ini memang dapat membantu kesiapan shalat.
c. Talaffuzh bin-niyyah
di mulut pada saat takbiratul-ihram adalah hal yang tidak mungkin.
Karena mulut tidak mungkin dapat mengucapkan takbir dan lafal niat dalam
satu waktu, melainkan mesti harus bergantian; entah lafal niat terlebih
dahulu atau takbir dahulu.
d. talaffuzh bin-niyyah
(bukan niat) di hati pada saat takbiratul-ihram adalah hal yang tidak
semestinya. Karena, apabila peshalat telah sadar bahwa ia sedang atau
mulai melakukan suatu shalat, maka talaffuzh bin-niyyah adalah tahshilul-hashil (mengusahakan sesuatu yang telah tercapai). Dan bahkan gara-gara talaffuzh yang
tidak semestinya itu, peshalat justru mengorbankan sesuatu yang
semestinya dan penting, yaitu menghadirkan kandungan makna
takbiratul-ihram.
Dari itu, bila kita telah siap untuk shalat, pastikan di hati bahwa kita hendak menghadap Allah ‘Azza wa-Jalla,
pastikan kalau kita sadar hendak shalat, misalnya, zhuhur, pastikan
bahwa kita tidak lupa kalau zhuhur itu empat raka’at, pastikan kalau
kita sudah menghadap ke qiblat, pastikan apakah sedang shalat ada’ atau shalat qadhaa’, pastikan
apakah kita shalat sendirian atau berma’mum, kemudian dengan mantap
kita angkat kedua tangan seraya mengucapkan “Allaahu Akbar”, kita
ucapkan dengan fasih dan tenang, hayati makna takbir dengan penuh
khusyu’.
Sungguh niat itu sangat praktis, kecuali bagi orang yang tidak memahami niat dengan sebenarnya!
Media Da'wah & Silaturrahim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar