islamatbrown
Perempuan hidup dalam dunia
yang didominasi oleh laki-laki. Dominasi selalu membuat pihak lain
terkesampingkan atau termarginalkan. Dalam hal ini ada kecenderungan
perempuan untuk termarginalkan oleh laki-laki. Laki-laki dari dulu
sampai sekarang masih menjadi mayoritas dalam urusan yang berkaitan
dengan kehidupan manusia secara keseluruhan. Jumlah presiden, politisi,
ilmuwan, ekonom, dokter, teknolog, dan pebisnis yang berjenis kelamin
laki-laki sampai saat ini masih lebih banyak jika dibandingkan dengan
perempuan. Hal ini menjadikan perempuan tidak dapat menentukan nasib
diri mereka secara keseluruhan, karena laki-laki selalu ada untuk
memutuskan dan memecahkan masalah ‘bersama’.
Perempuan terkesan dinomorduakan, karena kekurangan penyalur opini
yang mampu membuat kebijakan untuk mereka. Hal ini diperparah dengan
adanya isolasi sosial antara laki-laki dan perempuan. Perempuan pada
dasarnya makhluk yang suka dengan hubungan. Mereka ahli dan menikmati
proses membangun hubungan. Hal ini terbukti dari mudahnya mereka
mengakrabkan diri dengan berbagai jenis manusia, mulai dari bayi,
anak-anak, remaja, sampai orang tua. Mereka selalu membangun dan
memperbarui hubungan mereka. Secara hemat seharusnya perempuan membangun
hubungan juga dengan laki-laki (dalam hal ini yang berumur dekat) juga,
bukan?
Laki-laki seharusnya menjadi partner yang sederajat dengan perempuan,
namun ada beberapa faktor yang membuat hal tersebut sulit dilaksanakan.
Perempuan dalam taraf tertentu takut berhubungan dengan laki-laki,
karena faktor kekuatan dan kebebasan laki-laki itu sendiri. Selama ini
laki-laki dianggap lebih dominan (atau kuat) secara fisik maupun mental,
namun secara egoistis laki-laki tidak menggunakan dominasi tersebut
untuk mendukung perempuan. Alih-alih mendukung perempuan dengan
kelebihan dirinya, laki-laki malah sibuk memamerkan kekuatannya. Pamer
kekuatan ini bukan jenis pertunjukkan yang dinikmati perempuan, ketika
adegan yang muncul bersifat mengganggu perasaan atau mengeksplotisasi
mereka, seperti menggoda perempuan tak dikenal, membicarakan hal tentang
tubuh perempuan, atau bahkan dalam taraf kriminal sampai pada
perkosaan.
Pamer kekuatan ini dengan mudah diartikan sebagai upaya dominasi
laki-laki terhadap tubuh perempuan. Upaya ini jelas memarginalkan
perempuan. Melihat perempuan hanya dari tubuhnya sama dengan tidak
mengakui diri mereka secara utuh: Dimana perasaan lembut mereka?
Pemikiran konstruktif mereka? Kesabaran mereka? Laki-laki yang mendekati
perempuan hanya untuk menjajah tubuh mereka bukan jenis laki-laki yang
mampu menjadi partner bagi perempuan.
Penyalahgunaan yang kedua berkaitan dengan kebebasan laki-laki.
Laki-laki secara alamiah bisa berpergian dengan jarak jauh, bahkan
sampai tidak kembali kepada pasangannya. Perempuan tidak bisa seperti
itu. Dalam hidupnya perempuan selalu berada dalam komunitas yang
melindungi mereka, mulai dari keluarga kandung, kelompok pertemanan,
sampai keluarga yang dibentuk dengan pernikahan. Perpindahan perempuan
selalu dikaitkan dengan izin dari orang lain.
Saat memilih pasangan, perempuan secara sadar (bukan atas paksaan
pihak di luar mereka) meminta persetujuan dari orang terdekat perempuan
tersebut, seperti ibu mereka, ayah mereka, sahabat mereka, bahkan sampai
lingkungan tempatnya berada. Perempuan tidak sebebas laki-laki dalam
memilih pasangan. Laki-laki bisa saja selingkuh atau berhubungan dengan
perempuan lain secara amoral atau illegal, tetapi pihak yang direndahkan
anehnya bukan laki-laki sumber penyelewengan tersebut, tetapi malah
perempuan yang menjadi partner penyelewengan laki-laki.
Menjadi playboy seolah kebanggaan bagi laki-laki, bahwa ia
punya daya tarik tinggi, tapi menjadi perempuan yang ditaksir laki-laki,
diduakan laki-laki, atau memberi kesempatan mudah untuk didekati oleh
mereka bukan suatu kebanggaan. Raja yang beristri banyak dianggap hebat,
sedangkan perempuan yang punya hubungan dengan laki-laki dianggap –
maaf – murahan. Bahkan, dalam hubungan yang legal, perempuan yang sudah
pernah berhubungan dengan laki-laki sebelumnya (karena perceraian atau
suaminya meninggal) dianggap tidak lagi menarik bagi laki-laki. Dengan
alasan tidak masuk akal janda selalu dianggap lebih rendah ketimbang
gadis.
Faktor kekuatan dan kebebasan yang disalahgunakan akhirnya membuat
perempuan menciptakan tabir dengan laki-laki. Inilah yang membuat mereka
menjadi terisolasi dengan laki-laki, karena ada ketakutan dari
perempuan akan penyalahgunaan kekuatan dan kebebasan laki-laki.
Perempuan sangat menghargai komitmen. Kekuatan yang menghancurkan dan
kebebasan yang tidak bertanggung jawab merusak komitmen awal perempuan
untuk berhubungan dengan laki-laki.
Isolasi ini memperparah dominasi laki-laki. Kecenderungan kemudian
akhirnya perempuan melegalkan dan menganggap wajar dominasi buruk
laki-laki tersebut. Bukannya mengungkapkan ketidaknyamanannya, perempuan
dalam kelompok mereka malah membebaskan laki-laki untuk berbuat
seenaknya. Berapa sering kita mendengar ketika kasus perkosaan, malah
perempuan yang dianjurkan menjaga diri? Mengapa tidak ada anjuran bagi
laki-laki untuk menjaga hasrat seksualnya? Malah sebaliknya sang korban
yang diberi beban lebih untuk melindungi diri.
Sudah saatnya laki-laki berhenti menyalahgunakan kekuatan dan
kebebasan yang diberikan Allah SWT. Dia tidak berniat buruk dengan
memberikan kekuatan dan kebebasan untuk laki-laki. Dengan kekuatan
laki-laki dapat memperjuangkan keluarganya, dan dengan kebebasan mereka
dapat mencari nafkah untuk istri tercinta di rumah. Aspek penjajahan
terhadap tubuh perempuan harus hilang. Jika laki-laki tidak bisa
berhenti, jangan pernah membebani lebih kepada perempuan, tetapi
keluarga dan lembaga pendidikan harus mendidik laki-laki untuk
memanfaatkan kekuatan dan kebebasannya untuk kepentingan perempuan. Jika
laki-laki tidak dapat berhenti, mereka paling tidak dapat dihentikan
dengan pendidikan dan pembimbingan menyeluruh.
Masalah isolasi sosial juga harus dihilangkan. Perempuan harus berani
mengungkapkan setiap besit ketidaknyamanan mereka terhadap laki-laki.
Jika sang laki-laki tidak mau mendengarkan, perempuan dapat bercerita
kepada orang tua, wali, polisi, atau pemerintah. Mereka yang dapat
melindungi perempuan dari ketidaknyamanan laki-laki harus dicari sampai
ditemukan.
Kemudian tugas laki-laki selanjutnya adalah mendengarkan curhat
perempuan. Seharusnya ada pendidikan (bisa tersurat atau tersirat) yang
mengajarkan laki-laki untuk mendengarkan perempuan. Mereka harus
diajarkan untuk nyaman dan membuat nyaman lawan jenisnya. Laki-laki
harus sadar bahwa dalam mendegarkan perempuan, mereka tidak perlu
memberikan solusi atau merasa tersaingi. Pada dasarnya perempuan
bercerita bukan untuk mendominasi laki-laki (meskipun perempuan berhak
untuk ‘membalas dendam’ atas dominasi laki-laki di luar sana), tetapi
pada dasarnya mereka bercerita untuk meminta pemahaman dan ekspklorasi
emosional dari laki-laki.
Laki-laki yang sering dijadikan pemecah masalah dan pengambil
keputusan akhirnya selalu terfokus untuk menyelesaikan masalah.
Penyelesaian masalah itu terkait erat dengan penggunaan logika. Padahal,
yang dibutuhkan untuk mendengarkan perempuan bukan logika, tetapi
perasaan.
Banyak laki-laki yang salah sangka, ketika perempuan bercerita kepada
mereka. Mereka menganggap perempuan bercerita sebagaimana pelanggan
komplain kepada pelayan restoran. Perempuan dianggap mengeluh dengan apa
yang dia tidak dapatkan dari laki-laki. Di sisi lain ada juga anggapan
bahwa saat perempuan bercerita, mereka tidak tahu bagaimana solusi dari
permasalahan. Padahal, semua perempuan bisa menemukan solusi,
sebagaimana laki-laki. Tidaklah mungkin semua perempuan yang beberapa di
antaranya berpendidikan bercerita untuk meminta solusi. Lebih mungkin
mereka berusaha meminta pemahaman dari pendengarnya.
Laki-laki harus berhenti dari dunia persaingan mereka, ketika mereka
berhadapan dengan perempuan, dan mulai memahami perempuan dengan
perasaan mereka sendiri. Memang bagi laki-laki butuh penyesuaian, bahkan
latihan, namun di sanalah peran keluarga, masyarakat, dan lembaga
pendidikan. Berbagai pihak dapat mengajarkan bagaimana kiat mendengarkan
yang baik, terutama melalui empati.
Pada akhirnya hubungan antar jenis kelamin tidak berdasarkan pada
kesetaraan gender, melainkan pada kesesuaian gender. Dan, kesesuaian
gender tidak dimulai dari perempuan, tetapi justru dari laki-laki.
Mereka harus sadar pentingnya mendengarkan perempuan dengan hati (bukan
dengan logika atau untuk menyelesaikan masalah perempuan).
Sementara laki-laki mendengarkan perempuan, mereka dapat meresapi dan
mengekslorasi jiwa perempuan, tanpa harus merasa tersaingi. Semenjak
awal hingga pada akhirnya perempuan tidak punya niat untuk bersaing,
mereka hanya ingin dipahami dan didengarkan. Ketika laki-laki sadar
pentingnya mendengarkan perempuan, sudah bukan waktunya perempuan
menjadi partner bagi laki-laki, tetapi laki-laki yang justru harus
belajar untuk menjadi partner perempuan.
Ahmad Tombak Al Ayyubi, Depok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar