Berbicara mengenai jodoh, selalu menjadi topik yang tidak pernah
habisnya. Kadang suka membuat senyum-senyum sendiri, tak jarang juga
membuat air mata berlinang tiada henti. Di media manapun, terkhusus
media online, hal-hal yang berbau jodoh dan sepaket dengan cintanya
selalu menjadi bahasan yang selalu mendapatkan perhatian lebih dari para
pembacanya. Pun salah satu artikel yang bertajuk Ya Akhi, Haruskah Aku yang Meminangmu?, yang di published di FIMADANI tanggal 24 Oktober 2011.
Seperti kebanyakan pembaca lainnya, tangan ini reflek mengklik link
terkait, karena tergoda dengan judulnya. Ya… judulnya sangat menantang
sekali. Tanpa berasumsi, saya menikmati baris demi baris yang tersaji,
hingga saya sampai pada kalimat,
Yaa Ukhti.. Antum harus sadar, bahwasanya di luar sana juga banyak yang menantimu. Hanya ketidakberanianlah (karena takut ditolak) yang menghalanginya. Semakin banyak kelebihan yang Antum miliki, semakin pula menjauhkan mereka dalam mendapatkanmu. (M. Kamari, 24 Oktober 2011)
Hm… berkali-kali saya membaca potongan paragraf tersebut,
mencernanya, mengolahnya dengan hati dan juga pikiran. Hanya satu yang
ada di benak saya, “Haruskan seorang wanita berhenti bersinar agar
dimudahkan jodohnya?”. Saya tahu.. bukan itu maksudnya, apalagi setelah
membaca paragraf selanjutnya. Tapi..
***
Satu hal yang selalu saya dan mungkin juga akhwat belum menikah
lainnya yakini, bahwa kami tidak pernah tahu apa yang sudah ditakdirkan
bagi kami. Yang bisa kami lakukan hanyalah berusaha semaksimal mungkin
untuk menyeimbangkan apa yang kami harapkan dan inginkan dengan
kenyataan yang Allah telah tetapkan bagi kami. Allah bekerja dengan
cara-Nya yang misterius, kebijaksanaan-Nya jauh dari apa yang bisa kami
genggam dan pahami. Maka yang bisa kami lakukan hanyalah berupaya
menjadi hamba lebih baik lagi.
Sama seperti insan lainnya di dunia ini, kami juga ingin mengikuti
sunnah nabi, pun kami ingin menggenapkan dien kami. Kami haus dan rindu
akan cinta, rindu akan cinta-Nya. Rindu yang membuat kami semakin
merindui-Nya, cinta yang membuat kami semakin mencintai-Nya. Dan ketika
ketetapan itu belum menjadi takdir kami, mengapa kami harus memudarkan
sinar yang telah dititipkan-Nya kepada kami? Bukankah kelebihan yang di
anugrahkan kepada kami juga rahmat-Nya? Mengapa kami harus membiarkannya
redup demi hanya sebuah cinta manusia yang tidak pasti? Bukankah
kontribusi dalam membangun umat ini dibutuhkan dari siapa saja? Tidak
peduli pria atau pun wanita, remaja, kanak-kanak, dewasa atau pun orang
tua; sudah menikah atau pun masih single. Semua punya kewajiban yang sama!
Ketika kami dari hari ke hari terus mengukir prestasi bukan untuk
membuat kami menjadi “gagah” dan disegani orang-orang di sekitar kami.
Tidak! Sama sekali tidak! Semua yang kami lakukan semata-mata wujud
pengabdian kami kepada-Nya, kekasih utama kami, Al Hakim yang kepada-Nya lah kami menggantungkan nasib.
Kami sudah dibekali waktu dan kesempatan dalam penantian kami, lalu
mengapa kami harus menyia-nyiakannya? Bukankah muslim yang baik itu
seseorang yang hari ini lebih baik dari hari kemarin? Bagaimana jika
nyawa kami di ambil pemilik-Nya di saat kami belum merubah status single kami?
Sejatinya kami juga manusia biasa yang memiliki waktu terbatas di dunia
ini, maka sudah sewajarnya kami ingin memaksimalkannya agar ketika kami
menghadap Kekasih sejati kami nanti kami punya bekal yang cukup ketika
di tanya untuk apa saja waktu yang diberikan kami manfaatkan.
Tidak seharusnya ada alasan dari lawan jenis kami, yang merasa berat
dan terintimidasi dengan prestasi yang kami miliki. Seorang laki-laki
beriman seharusnya malu jika merasa terbebani dengan intelejensi,
pendidikan ataupun karir (calon) pasangan hidupnya. Mereka tanpa mencoba
memahami kami seolah-olah sudah lebih dahulu ber-shu’udzan
bahwa kami tidak akan menjadi istri yang berbakti, sombong, dan tidak
bisa menghargai suami kami karena sedikit kelebihan yang kami miliki.
Padahal apalah arti semua itu dibanding nikmatnya iman? Wallahualam.
Jaufa, Bukittinggi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar