19 April 2012 1:04 pm |Firmadani
tumblr
Laki-laki adalah pemain dominan dalam masyarakat. Realita ini
diperkuat dengan fakta banyaknya pemimpin, politisi, ekonom, manager,
dan cendekiawan. Bahkan, laki-laki juga menangani masalah perempuan,
seperti laki-laki yang berprofesi sebagai dokter kandungan, psikolog,
psikiater, konsultan pernikahan, dan seksolog. Laki-laki pada dasarnya
hidup dalam semangat dominasi dan persaingan.
Dunia laki-laki penuh dengan persaingan, baik dalam hal profesional
maupun pertemanan. Apa yang dilihat perempuan sebagai usaha
mengekspresikan diri, seperti bercerita bisa menjadi usaha persaingan
bagi laki-laki. Dalam mengungkapkan kisahnya laki-laki cenderung untuk
mendominasi pendengar dengan mengungkapkan kisah mana yang paling
menarik, berbeda dengan perempuan yang dalam berkisah berupaya untuk
mendapatkan pemahaman dan eksplorasi emosional dari pendengarnya.
Mungkin dunia persaingan ini mengejutkan bagi perempuan, bahkan bagi
banyak laki-laki, tapi jangan salah: laki-laki menikmati persaingan
dalam bidang apapun!
Tak heran laki-laki mendominasi dalam masyarakat, karena mereka sudah
terbiasa dalam persaingan sejak lahir. Persaingan ditanamkan dalam alam
bawah sadar laki-laki: saat kecil mereka diberi mainan yang berkaitan
dengan profesi, seperti mobil-mobilan, robot petarung, bola, dan
berbagai permainan yang membutuhkan keahlian dan semangat
profesionalisme.
Satu fenomena paling jelas adalah kesukaan laki-laki pada video game.
Media yang berkonotasi buruk bagi orang tua dan mungkin bagi beberapa
perempuan ini dengan tepat menyalurkan semangat persaingan laki-laki,
mulai dari sepakbola, membunuh lawan, membangun pasukan, balapan, dan
mengatur tim. Sejak kecil sampai dewasa, dalam keadaan santai dan
serius, atau dalam seluruh hidupnya, laki-laki berada dalam alam
persaingan. Anehnya, mereka menikmatinya. Laki-laki sulit membedakan
antara persaingan serius dengan permainan, bahkan untuk hal-hal
mematikan, seperti bertempur dalam perang atau menangkap penjahat,
karena bagi mereka persaingan itu selalu ada, entah itu dalam bidang
serius atau santai.
Tak heran laki-laki dominan dalam masyarakat. Jangan menganggap
laki-laki mendapatkan segala dominasi dengan gratis. Sejak kecil mereka
berusaha menang. Ego bagi laki-laki adalah makna keseluruhan bagi
dirinya. Terkadang perasaan kalah begitu menyedihkan bagi mereka,
sesuatu yang mungkin sepele bagi perempuan. Dalam sepakbola bukan bola
yang dituju laki-laki, tapi siapa yang berusaha mendapatkannya. Komentar
khas dari perempuan bagi penggila bola mungkin masuk akal, “Kenapa
harus rebutan bola, sih? Tinggal kasih duapuluh dua bola, setiap orang
bisa main, kan?” Masalah tidak terletak pada jumlah bola, tapi dalam
persaingan ini ada semangat untuk menjadi terbaik. Tidak heran banyak
fans dan pemain yang sampai menangis ketika timnya kalah bermain. Jangan
anggap mereka kekanak-kanakan, tapi anggaplah bahwa melihat diri mereka
kalah adalah hal paling menyedihkan bagi laki-laki.
Kesimpulannya mudah, laki-laki memang berjuang keras untuk
mendapatkan dominasi dalam masyarakat. Dari satu orang presiden, berapa
banyak laki-laki yang kalah? Mereka adalah lawan politiknya, tim sukses
lawan, bahkan pemilih presiden tersebut kalah dalam pemungutan suara
untuk calon presiden idaman mereka. Dari satu dominasi dalam masyarakat,
banyak laki-laki yang gugur dari awal sampai akhir perjalanan
persaingan tersebut.
Dunia berbalik bagi perempuan. Bagi perempuan persaingan itu kejam
dan jahat. Perempuan menolak persaingan, karena itu bertolak belakang
dengan jiwa nurturing mereka. Sejak kecil perempuan diberikan boneka, peralatan masak, dan mainan yang berhubungan dengan fashion atau make-up.
Permainan tersebut tidak berhubungan sama sekali dengan persaingan,
tapi berhubungan dengan merawat, melayani, dan memperindah diri. Mereka
merawat boneka bayi sejak kecil, bahkan jauh hari sebelum mereka
mengenal apa itu pernikahan, seks, dan melahirkan. Permainan memasak
menunjukkan semangat melayani orang lain dan memuaskan mereka dengan
masakan, sedangkan permainan yang berhubungan dengan kosmetik
menunjukkan semangat untuk menyenangkan orang lain dengan penampilan
yang cantik. Apakah ada unsur persaingan?
Jika kita berbicara tentang laki-laki dan perempuan, yang ada adalah
naluri yang bertentangan, dimulai dari kesetaraan. Apa makna kesetaraan
bagi perempuan berbeda bagi laki-laki. Sebenarnya dalam persaingan
laki-laki diusung semangat lapang dada dan berjiwa ksatria. Banyak
laki-laki yang menerima nilai ini dalam kesetaraan, yaitu tidak ada cara
curang dalam persaingan. Kesetaraan bagi laki-laki adalah tidak adanya
gangguan dalam proses awal persaingan: tidak ada yang menjegal kaki
lawan, semua laki-laki diberi kesempatan yang sama untuk menang.
Makna kesetaraan bagi perempuan berbeda. Aktivis perempuan melihat
bahwa seharusnya kesetaraan diberikan tidak dari awal, melainkan pada
hasil akhir. Feminis menginginkan banyak politisi dan pemimpin
perempuan. Bagi mereka kesetaraan tidak berarti kesamaan kesempatan
untuk menang, tetapi kemenangan sejak awal. Tanpa memahami semangat dan
perjuangan laki-laki dalam persaingan, mereka langsung saja menyuruh
laki-laki menyediakan tempat bagi perempuan di depan mereka. Kesetaraan
tidak lagi berarti kesempatan yang sama untuk menang, tetapi kesempatan
untuk ditempatkan dalam tempat dominan tanpa harus berusaha atau
bersaing.
Karena sudah terbiasa dengan persaingan, tidak masalah bagi laki-laki
untuk berjuang sendiri. Laki-laki hanya perlu masuk dalam kompetisi dan
kemudian ia akan berjuang sendiri untuk berhasil, meskipun ia akan
butuh orang lain, tapi kualitas bersikap proaktif, bersikap untuk
memulai ada dalam setiap laki-laki. Semangat inilah yang membuat
laki-laki berhasil dalam dominasi. Bahkan, dalam tahap dewasa, laki-laki
tidak hanya berjuang atau berproaktif untuk diri mereka sendiri,
melainkan untuk keluarganya.
Berbeda dengan naluri perempuan dalam persaingan. Sejak awal dalam
persaingan mereka tidak punya niat proaktif untuk menang. Anggaplah
setiap laki-laki dan perempuan diberi kesempatan yang sama untuk menang:
pendidikan, akses, dan kemampuan finansial, laki-laki akan lebih survive,
karena mereka berani mengambil langkah awal. Hal pertama yang dialami
perempuan dalam persaingan mungkin perasaan tertolak, karena semuanya
harus didapatkan dengan persaingan, tapi memang itu cara dominasi
bekerja. Laki-laki menganggap persaingan sebagai hal niscaya, tapi
perempuan menganggapnya sebagai hal buruk.
Karena itulah, dominasi laki-laki selalu ditolak oleh feminis, karena
mereka berpendapat seharusnya dunia ini tidak bekerja dengan
persaingan. Seharusnya dunia ini adil dalam arti semua mendapat porsi
yang sama, tapi di sisi lain selalu ada laki-laki yang berusaha lebih,
selalu ada yang berbuat lebih baik, yang artinya selalu ada persaingan
untuk laki-laki. Itulah sebabnya tidak mungkin ada dunia yang setara,
karena persaingan selalu ada.
Jika perempuan berhasil dalam sebuah persaingan, akan selalu ada
laki-laki yang membuatnya menang. Akan selalu ada pengambil inisiatif
yang mewakili perempuan tersebut. Jika dalam perbandingan yang sama,
laki-laki selalu dapat menang dengan proaktifnya sendiri, tapi perempuan
selalu membutuhkan laki-laki lain untuk menang.
Usaha kesetaraan adalah usaha yang mustahil dalam masyarakat,
mengingat laki-laki lebih ahli dalam persaingan, karena sejak kecil
mereka dilatih untuk hal tersebut. Perempuan selalu akan kalah, karena
memang dorongan asli mereka bukan untuk bersaing, tetapi untuk mendukung
atau melayani orang lain. Jika ada perempuan yang berhasil dalam
persaingan, hal tersebut akan mencerabut naluri asli perempuan, karena
mereka tidak lagi menikmati rasanya menyenangi orang lain, kepuasan
melihat suami senang.
Pada masa sekarang memang kesetaraan sudah ada bagi kedua gender,
mulai dari pendidikan, akses politis, dan akses finansial.
Permasalahannya adalah, apakah memang benar perempuan ingin ikut dalam
persaingan? Apakah memang benar perempuan bisa bersaing dengan
laki-laki? Jika memang kesetaraan itu ada, seharusnya kemenangan
berdasarkan pada kualitas setiap pesaing, bukan pada usaha pemaksaan
untuk menyamakan jumlah laki-laki dan perempuan dalam dominasi
masyarakat.
Ahmad Tombak Al Ayyubi, Depok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar