Welcome to My Blog

Selasa, 08 Mei 2012

Persaingan antara Laki-laki dan Perempuan

19 April 2012 1:04 pm |Firmadani

tumblr
Laki-laki adalah pemain dominan dalam masyarakat. Realita ini diperkuat dengan fakta banyaknya pemimpin, politisi, ekonom, manager, dan cendekiawan. Bahkan, laki-laki juga menangani masalah perempuan, seperti laki-laki yang berprofesi sebagai dokter kandungan, psikolog, psikiater, konsultan pernikahan, dan seksolog. Laki-laki pada dasarnya hidup dalam semangat dominasi dan persaingan.
Dunia laki-laki penuh dengan persaingan, baik dalam hal profesional maupun pertemanan. Apa yang dilihat perempuan sebagai usaha mengekspresikan diri, seperti bercerita bisa menjadi usaha persaingan bagi laki-laki. Dalam mengungkapkan kisahnya laki-laki cenderung untuk mendominasi pendengar dengan mengungkapkan kisah mana yang paling menarik, berbeda dengan perempuan yang dalam berkisah berupaya untuk mendapatkan pemahaman dan eksplorasi emosional dari pendengarnya. Mungkin dunia persaingan ini mengejutkan bagi perempuan, bahkan bagi banyak laki-laki, tapi jangan salah: laki-laki menikmati persaingan dalam bidang apapun!

Tak heran laki-laki mendominasi dalam masyarakat, karena mereka sudah terbiasa dalam persaingan sejak lahir. Persaingan ditanamkan dalam alam bawah sadar laki-laki: saat kecil mereka diberi mainan yang berkaitan dengan profesi, seperti mobil-mobilan, robot petarung, bola, dan berbagai permainan yang membutuhkan keahlian dan semangat profesionalisme.

Satu fenomena paling jelas adalah kesukaan laki-laki pada video game. Media yang berkonotasi buruk bagi orang tua dan mungkin bagi beberapa perempuan ini dengan tepat menyalurkan semangat persaingan laki-laki, mulai dari sepakbola, membunuh lawan, membangun pasukan, balapan, dan mengatur tim. Sejak kecil sampai dewasa, dalam keadaan santai dan serius, atau dalam seluruh hidupnya, laki-laki berada dalam alam persaingan. Anehnya, mereka menikmatinya. Laki-laki sulit membedakan antara persaingan serius dengan permainan, bahkan untuk hal-hal mematikan, seperti bertempur dalam perang atau menangkap penjahat, karena bagi mereka persaingan itu selalu ada, entah itu dalam bidang serius atau santai.
Tak heran laki-laki dominan dalam masyarakat. Jangan menganggap laki-laki mendapatkan segala dominasi dengan gratis. Sejak kecil mereka berusaha menang. Ego bagi laki-laki adalah makna keseluruhan bagi dirinya. Terkadang perasaan kalah begitu menyedihkan bagi mereka, sesuatu yang mungkin sepele bagi perempuan. Dalam sepakbola bukan bola yang dituju laki-laki, tapi siapa yang berusaha mendapatkannya. Komentar khas dari perempuan bagi penggila bola mungkin masuk akal, “Kenapa harus rebutan bola, sih? Tinggal kasih duapuluh dua bola, setiap orang bisa main, kan?” Masalah tidak terletak pada jumlah bola, tapi dalam persaingan ini ada semangat untuk menjadi terbaik. Tidak heran banyak fans dan pemain yang sampai menangis ketika timnya kalah bermain. Jangan anggap mereka kekanak-kanakan, tapi anggaplah bahwa melihat diri mereka kalah adalah hal paling menyedihkan bagi laki-laki.

Kesimpulannya mudah, laki-laki memang berjuang keras untuk mendapatkan dominasi dalam masyarakat. Dari satu orang presiden, berapa banyak laki-laki yang kalah? Mereka adalah lawan politiknya, tim sukses lawan, bahkan pemilih presiden tersebut kalah dalam pemungutan suara untuk calon presiden idaman mereka. Dari satu dominasi dalam masyarakat, banyak laki-laki yang gugur dari awal sampai akhir perjalanan persaingan tersebut.

Dunia berbalik bagi perempuan. Bagi perempuan persaingan itu kejam dan jahat. Perempuan menolak persaingan, karena itu bertolak belakang dengan jiwa nurturing mereka. Sejak kecil perempuan diberikan boneka, peralatan masak, dan mainan yang berhubungan dengan fashion atau make-up. Permainan tersebut tidak berhubungan sama sekali dengan persaingan, tapi berhubungan dengan merawat, melayani, dan memperindah diri. Mereka merawat boneka bayi sejak kecil, bahkan jauh hari sebelum mereka mengenal apa itu pernikahan, seks, dan melahirkan. Permainan memasak menunjukkan semangat melayani orang lain dan memuaskan mereka dengan masakan, sedangkan permainan yang berhubungan dengan kosmetik menunjukkan semangat untuk menyenangkan orang lain dengan penampilan yang cantik. Apakah ada unsur persaingan?

Jika kita berbicara tentang laki-laki dan perempuan, yang ada adalah naluri yang bertentangan, dimulai dari kesetaraan. Apa makna kesetaraan bagi perempuan berbeda bagi laki-laki. Sebenarnya dalam persaingan laki-laki diusung semangat lapang dada dan berjiwa ksatria. Banyak laki-laki yang menerima nilai ini dalam kesetaraan, yaitu tidak ada cara curang dalam persaingan. Kesetaraan bagi laki-laki adalah tidak adanya gangguan dalam proses awal persaingan: tidak ada yang menjegal kaki lawan, semua laki-laki diberi kesempatan yang sama untuk menang.

Makna kesetaraan bagi perempuan berbeda. Aktivis perempuan melihat bahwa seharusnya kesetaraan diberikan tidak dari awal, melainkan pada hasil akhir. Feminis menginginkan banyak politisi dan pemimpin perempuan. Bagi mereka kesetaraan tidak berarti kesamaan kesempatan untuk menang, tetapi kemenangan sejak awal. Tanpa memahami semangat dan perjuangan laki-laki dalam persaingan, mereka langsung saja menyuruh laki-laki menyediakan tempat bagi perempuan di depan mereka. Kesetaraan tidak lagi berarti kesempatan yang sama untuk menang, tetapi kesempatan untuk ditempatkan dalam tempat dominan tanpa harus berusaha atau bersaing.

Karena sudah terbiasa dengan persaingan, tidak masalah bagi laki-laki untuk berjuang sendiri. Laki-laki hanya perlu masuk dalam kompetisi dan kemudian ia akan berjuang sendiri untuk berhasil, meskipun ia akan butuh orang lain, tapi kualitas bersikap proaktif, bersikap untuk memulai ada dalam setiap laki-laki. Semangat inilah yang membuat laki-laki berhasil dalam dominasi. Bahkan, dalam tahap dewasa, laki-laki tidak hanya berjuang atau berproaktif untuk diri mereka sendiri, melainkan untuk keluarganya.
Berbeda dengan naluri perempuan dalam persaingan. Sejak awal dalam persaingan mereka tidak punya niat proaktif untuk menang. Anggaplah setiap laki-laki dan perempuan diberi kesempatan yang sama untuk menang: pendidikan, akses, dan kemampuan finansial, laki-laki akan lebih survive, karena mereka berani mengambil langkah awal. Hal pertama yang dialami perempuan dalam persaingan mungkin perasaan tertolak, karena semuanya harus didapatkan dengan persaingan, tapi memang itu cara dominasi bekerja. Laki-laki menganggap persaingan sebagai hal niscaya, tapi perempuan menganggapnya sebagai hal buruk.

Karena itulah, dominasi laki-laki selalu ditolak oleh feminis, karena mereka berpendapat seharusnya dunia ini tidak bekerja dengan persaingan. Seharusnya dunia ini adil dalam arti semua mendapat porsi yang sama, tapi di sisi lain selalu ada laki-laki yang berusaha lebih, selalu ada yang berbuat lebih baik, yang artinya selalu ada persaingan untuk laki-laki. Itulah sebabnya tidak mungkin ada dunia yang setara, karena persaingan selalu ada.

Jika perempuan berhasil dalam sebuah persaingan, akan selalu ada laki-laki yang membuatnya menang. Akan selalu ada pengambil inisiatif yang mewakili perempuan tersebut. Jika dalam perbandingan yang sama, laki-laki selalu dapat menang dengan proaktifnya sendiri, tapi perempuan selalu membutuhkan laki-laki lain untuk menang.

Usaha kesetaraan adalah usaha yang mustahil dalam masyarakat, mengingat laki-laki lebih ahli dalam persaingan, karena sejak kecil mereka dilatih untuk hal tersebut. Perempuan selalu akan kalah, karena memang dorongan asli mereka bukan untuk bersaing, tetapi untuk mendukung atau melayani orang lain. Jika ada perempuan yang berhasil dalam persaingan, hal tersebut akan mencerabut naluri asli perempuan, karena mereka tidak lagi menikmati rasanya menyenangi orang lain, kepuasan melihat suami senang.

Pada masa sekarang memang kesetaraan sudah ada bagi kedua gender, mulai dari pendidikan, akses politis, dan akses finansial. Permasalahannya adalah, apakah memang benar perempuan ingin ikut dalam persaingan? Apakah memang benar perempuan bisa bersaing dengan laki-laki? Jika memang kesetaraan itu ada, seharusnya kemenangan berdasarkan pada kualitas setiap pesaing, bukan pada usaha pemaksaan untuk menyamakan jumlah laki-laki dan perempuan dalam dominasi masyarakat.

Ahmad Tombak Al Ayyubi, Depok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar