4 April 2012 9:58 am | Firmadani
Karl Bauer | 1x.com
Di tengah gunjang-ganjing isu kenaikan BBM yang menyedot perhatian
sebagian besar masyarakat, DPR kini juga tengah menggodok RUU KKG
(Kesetaraan dan Keadilan Gender). Walau kurang terekspose media massa,
RUU ini sebenarnya sangat vital bagi tatanan sosial masyarakat
Indonesia, pada bagian yang paling fundamental: relasi laki-laki dan
perempuan serta keluarga.
“RUU ini berusaha memberikan solusi,” ujar Fauziyah (Ketua Panja RUU
KKG), “dalam mengantisipasi soal gender, pembangunan responsif gender,
mendorong partisipasi masyarakat, juga tentang bagaimana supaya tidak
terjadi kriminalisasi tentang gender.”[1] Benarkah ini solusi? Atau justru malah menjadi pemicu masalah baru?
Kita boleh saja menganggap bahwa spirit RUU ini adalah untuk
“kebaikan perempuan”. Namun sayangnya, definisi RUU ini tentang gender,
kesetaraan gender, dan diskriminasi justru melanggar anggapan kita
tersebut. Bagi Henry Shalahuddin yang kini tengah menulis disertasi
tentang Gender di Universiti Malaya Kuala Lumpur, RUU ini akan menjadi
semacam pintu masuk sekaligus landasan formal bagi dendang khas feminis:
My body, my choice, my pleasure.[2]
Negara akan melegalkan berbagai kebutuhan elit feminis yang belum tentu
perempuan lain membutuhkannya dan (jika memang jadi dilegalkan) semua
perempuan harus membutuhkannya.
Masalah paling mendasar adalah RUU ini merupakan upaya formalisasi
perspektif feminis yang dikonstruksikan sebagai “solusi” atas masalah
yang terjadi di Barat dan disebarluaskan ke penjuru dunia lewat CEDAW (Convention on the Elimination of all forms of Discrimination Against Women) dan berbagai lembaga pengajur KKG yang mengesankan bahwa semua negara membutuhkannya. Kata Gramsci, inilah hegemoni.
“Solusi” tersebut bagi saya justru masalah setidaknya karena tiga
hal: Ancamannya terhadap institusi keluarga, pengabaiannya atas masalah
yang sebenarnya lebih riil, dan kesalahpahamannya atas makna kesetaraan.
Institusi Keluarga Terancam
Perempuan tertindas! Perempuan terdiskriminasi! Ungkapan-ungkapan
khas feminis yang sebenarnya berakar pada pola pikir Marxis yang melihat
institusi keluarga sebagai cikal bakal dari segala ketimpangan sosial
yang ada sehingga harus dihilangkan atau diperkecil perannya agar
tercipta masyarakat komunis tanpa pembedaan.[3]
Dengan pola pikir semacam ini, ungkapan-ungkapan romantis penuh cinta
antara suami dan istri akan berganti dengan ungkapan-ungkapan perjuangan
dan perebutan kekuasaan. Tidak ada lagi ketenangan dan kebahagiaan
ketika bertemu pasangan, semua lenyap dalam kosakata ketertindasan. Kata
seorang teman, “RUU KKG ini berusaha memisahkan Adam dan Hawa. Dua
manusia pertama yang mengajarkan kita pentingnya institusi keluarga dan
bagaimana mereka berdua menjalin relasi di dalamnya.”
Tidak hanya itu, fungsi keluarga dalam melanjutkan generasi pun
terancam. “Ibu rumah tangga,” ungkap seorang tokoh feminis dalam The War Over of Family: Capturing the Middle Ground,
“adalah perbudakan perempuan.” Yang lebih parah lagi, data dari Centers
for Disease Control menunjukkan jumlah aborsi antara tahun 2000-2005
mencapai angka 850 ribu, belum lagi aborsi yang ilegal.[4]
Mereka enggan menjadi ibu dan melakukan aborsi. Belum lagi persoalan
pernikahan sejenis yang dalam sebuah artikel berjudul “Etika Lesbian” di
Jurnal Perempuan digambarkan dengan cukup vulgar, “cinta antar
perempuan tidak mengikuti kaidah atau norma laki-laki.” Bayangkan! Jika
ternyata lesbian telah mewabah bak jamur di musim hujan. Lantas…
Apakah masyarakat akan terus berlanjut? Inikah hasil dari “solusi” atas
ketimpangan gender itu?
Masalah Riil Perempuan
Meskipun banyak masalah dari tawaran “solusi” ini, toh sebagian besar
dari ormas Islam yang diundang dalam RDPU (Rapat Dengar Pendapat Umum)
Komisi VIII seperti Muslimat NU, Aisyiyah Muhammadiyah, PUI, BMOIWI
bahkan MUI tidak menolaknya, melainkan hanya meminta perombakan total
dari RUU KKG ini. Hanya Muslimat HTI yang menolak.[5]
Saya melihat ada semacam kekhawatiran dari sebagian besar ormas Islam
dan pihak-pihak yang mengambil sikap serupa bahwa sikap menolak penuh
akan diartikan sebagai pembiaran terhadap masalah yang dialami
perempuan.
Padahal apa yang disebut “masalah” oleh RUU KKG dan para pengajurnya
ini pun sebenarnya hanya masalah yang tercipta akibat pola pikir
ketertindasan ala Marxis mereka dan belum tentu juga dianggap masalah
oleh perempuan lainnya. Di sisi lain, sebenarnya ada masalah yang lebih
riil untuk diperhatikan dan diselesaikan, seperti human trafficking dan
rehabilitasi kesehatan mental para korban; memperbanyak tersedianya
ruang menyusui di mal-mal, terminal, tempat kerja, dan fasilitas publik
lainnya; memberikan cuti bergaji bagi yang hamil dan melahirkan selama
setahun, cuti haid, menerapkan masa kerja yang lebih fleksibel bagi
ibu-ibu berkarier, dsb.[6]
Di sinilah bedanya, pola pikir feminis dan pengajur KKG mengesankan
bahwa perempuan yang bekerja di luar rumah itu lebih baik. Padahal,
status termulia yang diajarkan Islam untuk seorang perempuan adalah Ibu.
Siapakah yang permintaannya lebih harus kita utamakan sebagai seorang
anak, Ibu atau Ayah? Ibu, Ibu, Ibu (sampai tiga kali), kemudian ayah.
Ini adalah bukti bahwa istilah ketimpangan gender tidak menemukan
konteksnya dalam Peradaban Islam.
Kesetaraan, Bukan Kesamaan
Dr. Lamya Al Faruqi mengatakan bahwa konsep Barat menciptakan masyarakat unisex dengan mendewa-dewakan peran laki-laki dan merendahkan peran perempuan sehingga memaksa perempuan untuk menyerupai laki-laki.[7]
Kesetaraan pun akhirnya dimaknai sebagai kesamaan secara kuantitatif.
Di Indonesia, contoh paling nyata adalah keharusan persentase
keterwakilan perempuan dalam daftar calon legislatif sebesar 30% yang
membuat partai-partai berlomba untuk memenuhi keharusan itu, meski
risikonya akan sedikit abai dengan kualitas. Perempuan juga hanya
dianggap berkontribusi terhadap pembangunan ketika beraktivitas di luar
rumah. Sebuah penghinaan atas peran Ibu yang sangat besar pada diri-diri
setiap kita, manusia Indonesia.
Konsep kesetaraan dalam RUU KKG ini pun abai terhadap salah satu
nilai penting dalam pembentukan budaya dan jati diri bangsa: Nilai
Ketuhanan atau Religius. Nuansa dari RUU KKG ini jelas sangat sekular
dan melupakan dimensi akhirat. Masyarakat Islam secara konseptual maupun
historis,” ungkap Hamid Fahmy Zarkasyi dengan sangat indah, “tidak
menjunjung konsep kesetaraan 50-50. Di hadapan Tuhan memang sama, tapi
Tuhan tidak menyamakan cara bagaimana kedua makhluk berlainan jenis
kelamin ini menempuh surga-Nya.”[8]Seorang
perempuan yang meninggal saat melahirkan anaknya, diganjar dengan
status yang sama ketika seorang laki-laki meninggalkan di medan perang:
syuhada. Sungguh, hanya Allah-lah sebaik-baiknya pemberi standar
kesetaraan dan keadilan. Bukan manusia, apalagi para feminis yang konon
akar katanya adalah fe (iman) dan minus (kurang); kurang iman.
[1] http://www.pikiran-rakyat.com/node/179202
[2] http://www.eramuslim.com/berita/analisa/cetak/membangun-ruu-gender-yang-harmoni-dan-beradab
[3] Ratna Megawangi, 1991, Membiarkan Berbeda?, Jakarta: Mizan, h.11
[4] Warsito, Konsep Keluarga Islam: Lebih Indah, Jurnal Islamia Republika Edisi Kamis 22 Maret 2012, h.24
[5] http://jilbabkujiwaku.blogspot.com/2012/03/mayoritas-ormas-islam-tidak-menolak-ruu.html
[6] Henry Shalahuddin, Kesetaraan Gender: Untuk Siapa?, http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=309:ruu-kesetaraan-gender-untuk-siapa&catid=4:henri-shalahuddin
[7] Lamya Al Faruqi, 1997, ‘Ailah, Masa Deepan Kaum Wanita, Surabaya: AlFikr, h.93
[8] Hamid Fahmy Zarkasyi, Gender, http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=307:gender&catid=2:hamid-fahmy-zarkasyi
[2] http://www.eramuslim.com/berita/analisa/cetak/membangun-ruu-gender-yang-harmoni-dan-beradab
[3] Ratna Megawangi, 1991, Membiarkan Berbeda?, Jakarta: Mizan, h.11
[4] Warsito, Konsep Keluarga Islam: Lebih Indah, Jurnal Islamia Republika Edisi Kamis 22 Maret 2012, h.24
[5] http://jilbabkujiwaku.blogspot.com/2012/03/mayoritas-ormas-islam-tidak-menolak-ruu.html
[6] Henry Shalahuddin, Kesetaraan Gender: Untuk Siapa?, http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=309:ruu-kesetaraan-gender-untuk-siapa&catid=4:henri-shalahuddin
[7] Lamya Al Faruqi, 1997, ‘Ailah, Masa Deepan Kaum Wanita, Surabaya: AlFikr, h.93
[8] Hamid Fahmy Zarkasyi, Gender, http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=307:gender&catid=2:hamid-fahmy-zarkasyi
Muhammad Alfisyahrin, Depok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar