Mengenang masa-masa awal menikah, tentu kita dapat menemukan begitu banyak pengalaman menarik dalam membina hubungan dengan pasangan kita. Tidak hanya yang memilih menikah dengan proses ta’aruf (perkenalan) begitu pula dengan proses yang lainnya. Saat seorang pemuda dan pemudi akhirnya sepakat untuk mengikat janji menuju sebuah pernikahan, setelah mengetahui dan menyukai beberapa kesamaan dan perbedaan yang ada.
Awalnya semua perbedaan tak menjadi masalah, karena kedua belah pihak
secara sadar dan sabar berusaha menerima, menikmati, memahami dan
menghargai setiap perbedaan yang ada. Pasangan baru biasanya sangat
ingin selalu dekat, merasanya nyaman terus bersama. Semua berlangsung
sangat ideal dalam berhubungan dan berkomunikasi.
Momentum ini sebenarnya sangat baik untuk membuat program dan
perencanaan arah biduk rumah tangga ke depan. Inilah masa-masa yang
kita kenal dengan istilah berbulan madu, saat usia pernikahan masih
sangat muda. Biasanya kondisi ini bertahan sampai bulan ke-6 sejak hari
pernikahan.
Mulai bulan ke-6 beriringan dengan bergantinya waktu, bertambahnya
amanah, berubahnya tanggung jawab, ditambah lagi dengan persoalan
finansial. Hari demi hari yang dilalui, semakin tampaklah
perbedaa-perbedaan, sedikit demi sedikit. Kata orang “keluar aslinya”,
konflik mulai bermunculan sebagai letupan perasaan kecewa pada pasangan.
Disini ujian tahap awal pernikahan dimulai, masih tetap ikhlas atau
malah terganggu niat awal menikah setelah mengetahui sifat dan karakter
asli dari pasangan kita.
“Kemudian bila kamu tidak menyukai (pasangan hidup kalian, maka bersabarlah), karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu (dari mereka), padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS An Nisa : 19)
Berbagi pengalam pribadi. Saya adalah seorang laki laki yang
dilahirkan, dibesarkan dalam kerasnya budaya dan adat istiadat suku
Batak. Lima tahun yang lalu, saya menikahi seorang muslimah dari suku
jawa yang bisa dikatakan memiliki sifat yang sangat lembut jika
dibandingkan dari pola yang ada di keluarga besar saya di Sumatera
Utara. Istri saya waktu itu baru saja menyelesaikan kuliahnya, sedang
saya masih berstatus mahasiswa.
Har-hari pertama usai akad nikah menjadi pengalaman yang unik, karena
masih sama-sama malu, berjalan bersama masih kikuk, menyampaikan maksud
hati penuh dengan kebingungan, sebentar-sebentar memandang wajahnya dan
bertanya dalam hati : ”kamu ya istriku?”, “kog bisa?”, subhanallah.
Intinya semua terasa indah dalam menikmati pengalaman baru mengakrabkan
diri, dengan seseorang yang baru dalam hitungan hari kita kenal,
ternyata dialah pendamping hidup sepanjang hayat. IsnyaAllah…
Yang saya ingat setelah memasuki pekan ke dua pernikahan kami, adalah
pertama kali saya merasa kebingungan yang belum pernah sebelumnya saya
rasakan. Saat saya mendapati istri saya menangis tanpa diketahui
sebabnya. Saya memberanikan diri untuk bertanya. “Saya menagis karena
bahagia.” jawabnya sambil tersenyum dan menghapus air matanya. Satu kata
yang ada dipikiran saya : “wanita memang aneh.”
Ya menurut saya waktu itu memang aneh, ternyata perempuan itu bisa
menangis sampai sesenggukan, kemudian dalam hitungan detik bisa langsung
tersenyum dan bercanda kembali. Apa kalimat yang pas dengan fenomena
ini? Maka saya mulai memberi label ini salah satu dari “Mahakarya
ciptaan Allah”.
Semakin hari, saya banyak belajar dari kebersamaan, memahami
perbedaan-perbedaan yang ada. Saya dan istri saya tidak lah cocok, kami
memiliki selera yang berbeda dalam memilih menu makanan, kami memiliki
pandangan yang berbeda tentang mengelola keuangan, kami memiliki
perbedaan konsep dalam mendidik dan mengasuh anak, kami memiliki
perbedaan dalam menyikapi orang tua kami, kami memiliki perbedaan dalam
kebiasaan tidur , kami memiliki perbedaan dalam memilih aktifitas di
waktu luang kami. Dan masih banyak lagi perbedaan kami. Dari perbedaan
kebiasaan dan banyak hal kami sering berbeda pendapat, namun
Alhamudulillah tidak pernah sampai bertengkar. Ini salah satu keindahan
lain menikah karena dakwah, sedemikian banyak perbedaan kami tidak
menjadi kendala bagi kami mengayuh biduk rumah tangga, karena semua
perbedaan itu diikat dengan semua ikatan yang kuat apalagi kalau bukan
ikatan visi dakwah dan mengharap keridhaan Allah.
Tiba tiba saya teringat sebuah nasehat Ust. Anis Matta dalam sebuah rekaman ceramah pranikah. Beliau mengatakan :
“kita tidak sedang mencari pasangan yang cocok, tapi pasangan yang tepat.”
Saya dan istri awalnya merasa memang bukan pasangan yang cocok,
ibarat bahasa anak muda sekarang, saya mungkin bukan “tipe” yang di
idamkan istri saya, begitu pula sebaliknya. Dalam perjalan rumah tangga
kami sampai hari ini, ternyata kami merasa bahwa kami adalah pasangan
yang tepat. Keragaman ide dan perbedaan justru membuat keluarga kami
banyak memiliki pilihan pilihan sebelum mengambil keputusan.
“Kemudian bila kamu tidak menyukai (pasangan hidup kalian, maka bersabarlah), karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu (dari mereka), padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS Ani Nisa : 19)
Sahabat,
Dalam pernikahan yang terpenting adalah senantiasa memperbaharui niat
kita tentang tujuan menikah. Senantiasa menyegarkan kembali tekat
menikah untuk memasuki jenjang berikutnya setelah meng-ishlah
diri, yaitu dengan membina keluarga muslim, meyiapkan peradaban,
menegakkan kalimat Allah di muka bumi, semata-mata hanya mengharap
keridhaan Allah. Maka insyaAllah rumah tangga kita akan terhindar dari
perseteruan suami istri saat terjadi perbedaan pendapat maupun karakter
dengan pasangan kita.
Bila terjadi perbedaan pendapat dengan pasangan kita, sebagai suami hendaklah :
- Bersabar dalam menahan diri dari segala bentuk kekasaran dalam kata dan perbuatan. Tetaplah baik dan lemah lembut.
“Yang terbaik diantara kalian adalah yang paling baik terhadap isterinya” (H.R. Ibnu Majah)
- Jadilah pendengar yang baik saat pasangan kita menyampaikan pendapatnya, berikan kesempatan pasangan kita menyelesaikan argumentasinya, tak perlu disela dan di debat. Setelah pasanganan kita selesai barulah kita menyampaikan pula pendapat kita secara lemah lembut dan tentu ide-ide yang objektif dan masuk akal.
- Perhatikan “pich control” dalam menyampaikan pendapat. Seorang suami yang berbicara dengan nada yang rendah misal menggunakan nada “Bass” akan lebih memberi kesan berwibawa jika dibandingkan bila Anda berbicara dengan nada “tenor”. Intinya pastikan Anda selalu memperhatikan kelemah lembutan dalam berbicara, karena yang anda hadapi adalah mahluk Allah yang “halus”.
Dalam sebuah riwayat dikatakan seorang sahabat bertanya pada ‘Aisyah ra : “Bagaimana keadaan Rosulullah saw ketika bersepi sepi bersama isteri di rumahnya?” jawab ‘Aisyah ra: “Sangat lembut tertawa dan senyumnya (amat romantis)” Thobaqot Qubro 1 : 365
- Hal penting lainnya yang perlu diperhatikan adalah kemampuan mengenali perasaan yang ada didalam hati kita, kemudian berlatih bagaimana mengungkapkan perasaan kita kepada orang lain. Mengelola perasaan sangat penting karena ternyata perasaan itu mempengaruhi cara kita berpikir.
Semoga Allah memberkahi rumah tangga kita, perbedaan dalam berumah
tangga adalah sesuatu yang lumrah dan memang perlu dinikmati.
Perbedaanlah yang menjadikan biduk rumah tangga kita lebih semarak dalam
harmoni.
Selamat menempuh hidup baru!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar