Google Image
Hari Rabu (4/4/2012) dan Kamis (5/4/2012), saya diundang oleh dua
stasiun TV – yaitu Alif-TV dan Jak-TV untuk mendiskusikan tentang RUU
Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU-KKG). Dalam kedua forum tersebut,
saya dipanelkan dengan dua aktivis perempuan dan seorang anggota Komisi
VIII DPR RI. Ketiga perempuan mendukung RUU KKG. Sementara saya
memberikan opini yang berbeda. Memang, saya diundang untuk mengkritisi
RUU tersebut.
Diantara hasil dari dua diskusi tersebut, saya semakin paham, bahwa
paham Kesetaraan Gender memang bermasalah sejak konsep dasarnya. Inilah
yang tampaknya belum dipahami dan disetujui oleh para aktivis KKG.
Dalam sebuah diskusi dengan sejumlah pimpinan Organisasi Wanita Islam,
ada juga sebagian tokoh wanita Islam yang menyatakan, bahwa RUU KKG
tersebut tidak bertentangan dengan Islam.
Terhadap pernyataan itu, saya tunjukkan bukti definisi gender dari
naskah dari DPR RI yang beredar: “Gender adalah pembedaan peran dan
tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi
sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta
dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat, dan budaya tertentu dari satu
jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya.” (pasal 1:1)
Sepintas, definisi semacam itu seolah-olah tampak biasa-biasa saja.
Padahal, jika dilihat dalam perspektif ajaran Islam, konsep gender dalam
draft RUU tersebut jelas-jelas keliru. Sebab, pembedaan peran dan
tanggung jawab laki-laki dan perempuan dalam Islam bukanlah merupakan
hasil budaya, tetapi merupakan konsep wahyu.
Ketika Rasulullah SAW melarang seorang istri untuk keluar rumah
karena dilarang suaminya – meskipun untuk berziarah pada ayahnya yang
meninggal dunia – larangan Nabi itu bukanlah budaya Arab. Tetapi, itu
merupakan ajaran Islam yang berdasarkan kepada wahyu Allah.
Ketika Islam mewajibkan laki-laki sebagai kepala keluarga dan pencari
nafkah, maka itu juga bukan konsep budaya Arab, tetapi konsep wahyu
yang diakui sepanjang sejarah Islam oleh kaum Muslimin di seluruh dunia,
yang bersifat lintas zaman dan lintas budaya. Inilah ciri Islam,
sebagaimana dikatakan oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, sebagai
“the only genuine revealed religion”. Dan itu mudah dipahami, karena
Nabi Muhammad SAW adalah nabi terakhir yang diutus pada semua manusia
sampai Hari Akhir; berbeda dengan Nabi-nabi Bani Israel yang memang
hanya diutus untuk bangsa dan kurun waktu tertentu.
Karena itulah, dalam perspektif Islam, maka konsep pembagian peran
antara laki-laki dan perempuan, bukanlah konsep budaya yang bisa
dipertukarkan. Tetapi, Islam memberikan keleluasaan antara suami-istri
untuk berbagi tugas dan saling tolong menolong diantara mereka untuk
menjalani kehidupan yang baik. Bisa saja suami mengasuh anak, dan
istrinya bekerja. Bisa saja suami tinggal di rumah, sementara istrinya
aktif berbisnis. Tetapi, yang penting, si istri menyadari statusnya
sebagai istri dan tetap menghormati suaminya sebagai pemimpin rumah
tangga. Karena itulah, dalam memilih suami, pilihlah yang mampu menjadi
imam yang baik. Sebab, memang laki-laki diberi amanah dan kewajiban yang
berat sebagai pemimpin.
Pembagian peran semacam ini – jika dijalankan dengan baik – akan
membawa kedamaian dan keharmonisan dalam kehidupan. Dalam hal ini, ada
baiknya, kita renungkan lagu berjudul ‘Dunia Ini Panggung Sandiwara’,
yang ditulis Taufiq Ismail tahun 1976, dan kemudian dipopulerkan oleh
Ahmad Albar:
Dunia ini panggung sandiwara
Ceritanya mudah berubah
Kisah Mahabrata atau tragedi dari Yunani
Setiap insan dapat satu peranan
Yang harus kita mainkan
Ceritanya mudah berubah
Kisah Mahabrata atau tragedi dari Yunani
Setiap insan dapat satu peranan
Yang harus kita mainkan
Di kalangan kaum Muslimin Indonesia, pembagian peran antara
suami-istri sudah terbiasa, dan biasanya tidak menjadi masalah, tanpa
ada isu KKG dan ketertindasan perempuan. Sejak zaman KH Ahmad Dahlan,
pendiri Muhammadiyah, perempuan sudah banyak aktif dalam organisasi
Aisyiyah, tanpa mengangkat isu ketertindasan perempuan dan kesetaraan
gender. Apalagi sampai menuntut persamaan dalam semua hal.
RUU KKG – sesuai draft yang sementara yang kita terima dari DPR –
mengandung sejumlah muatan yang seharusnya membuat perempuan berpikir
panjang untuk menerimanya. Misalnya, pasal 4 ayat 2 menyebutkan:
“perempuan berhak memperoleh tindakan khusus sementara paling sedikit 30
% (tiga puluh perseratus) dalam hal keterwakilan di legislative,
eksekutif, yudikatif, dan berbagai lembaga pemerintahan non-kementerian,
lembaga politik dan lembaga non-pemerintah, lembaga masyarakat di
tingkat daerah, nasional, regional dan internasional.”
Inilah salah satu contoh cara berpikir aktivis KKG yang perlu
dikritisi. Mereka memandang, bahwa keterwakilan perempuan dalam
lembaga-lembaga sosial dan politik dalam jumlah tertentu merupakan
indikator kemajuan perempuan. Targetnya adalah kesetaraan nominal 50:50
antara laki-laki dan perempuan. Cara berpikir seperti ini tidak sesuai
dengan fakta. Saat ini, keterwakilan perempuan di DPR RI mencapai 18
persen, lebih kecil dari ketentuan Undang-undang yang mengharuskan 30%.
Angka 18% itu lumayan tinggi jika dibandingkan dengan Negara-negara
lain yang – biasanya dikatakan – lebih maju dari Indonesia. Misalnya,
di AS angkanya 16,8%; Jepang 11,3%; Korsel 15,6%, Malaysia 9,9%, Brazil
8,6%. Sementara itu, keterwakilan perempuan di parlemen Rwanda
mencapai 56,3%, Nepal 33,2%, Tanzania 36%, dan Uganda 34,9%, Ethiopia
27,8%. (Sumber: Women in Parliament (November 2011),
http://www.ipu.org/wmne/classif.htm).
Jika kita telaah, RUU KKG sangat kental dengan semangat
anti-diskriminasi. Bahkan, secara khusus diberikan definisi:
“Diskriminasi adalah segala bentuk pembedaan, pengucilan, atau
pembatasan, dan segala bentuk kekerasan yang dibuat atas dasar jenis
kelamin tertentu, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi
atau menghapuskan pengakuan, penikmatan manfaat atau penggunaan hak
asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial,
budaya, sipil atau bidang lainnya terlepas dari status perkawinan, atas
dasar persamaan antara perempuan dan laki-laki.” (pasal 1:4).
Tetapi, anehnya, RUU ini juga sangat kental dengan semangat
diskriminasi terhadap laki-laki. Cobalah renungkan, sebenarnya kuota
30% bagi perempuan dalam suatu lembaga, adalah bentuk diskriminasi
terhadap laki-laki, yang disahkan oleh UU. Itu fakta. Karena kuota
tersebut, maka keterwakilan perempuan harus 30%. Soal kualitas tidak
dipentingkan. Jadi, jika ada laki-laki yang berkualitas untuk suatu
jabatan, tetapi karena kuota untuk laki-laki sudah penuh, jaatan itu
harus diserahkan kepada perempuan yang kualitasnya lebih rendah. Yang
penting, orang itu perempuan, bukan laki-laki.
Jadi, diskriminasi ditukar dengan diskriminasi dalam bentuk lain.
Kita sulit membayangkan jika ketentuan semacam ini akan diperlakukan
untuk semua organisasi pemerintah dan non-pemerintah. Bagaimana dengan
organisasi perempuan? Apakah juga harus menampung kepengurusan
laki-laki?
Karena itulah, bisa kita simak, RUU KKG ini keluar dengan landasan
berpikir yang keliru tentang “kemajuan perempuan”. Seorang perempuan
cerdas dan berilmu tinggi yang memilih profesi sebagai Ibu Rumah Tangga
untuk mendidik anaknya secara langsung tidak dipandang sebagai bentuk
partisipasi dalam pembangunan. Itu tidak mengejutkan, karena kuota 30%
untuk perempuan biasanya disyaratkan oleh lembaga-lembaga
internasional, seperti UNDP, untuk mengucurkan bantuan ke Indonesia.
Dr. Ratna Megawangi, dalam penelitiannya, menemukan bahwa agenda
feminis mainstream, semenjak awal abad ke-20, adalah bagaimana
mewujudkan kesetaraan gender secara kuantitatif, yaitu pria dan wanita
harus sama-sama (fifty-fifty) berperan baik di luar maupun di dalam
rumah. Untuk mewujudkan kesetaraan seperti itu, para feminis sampai
sekarang masih percaya bahwa perbedaan peran berdasarkan gender adalah
karena produk budaya, bukan karena adanya perbedaan biologis, atau
perbedaan nature, atau genetis. Para feminis yakin dapat mewujudkannya
melalui perubahan budaya, legislasi, atau pun praktik-praktik pengasuhan
anak. (Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda? (Bandung: Mizan, 1999)).
Perspektif anatagonis semacam inilah yang senantiasa melihat
laki-laki dalam nuansa kecurigaan. Di kalangan Muslim, ini bisa dilihat
dalam cara pandang kaum feminis yang senantiasa melihat para mufassir
atau fuqaha dalam kacamata kecurigaan, bahwa mereka menafsirkan
ayat-ayat al-Quran atau hadits dalam kerangka melestarikan hegemoni atau
kepentingan laki-laki atas wanita. Para pendukung ide gender equality
menolak penafsiran yang bersifat tafadul, yang memberikan kelebihan
kepada laki-laki atas dasar jenis kelamin.
Pada tahun 2003, sekelompok aktivis dan ulama yang tergabung dalam
Forum Kajian Kitab Kuning telah menerbitkan satu buku bertajuk “Wajah
Baru Relasi Suami-Istri: Telaah Kitab ‘Uqud al-Lujayn” yang
memperjuangkan gender equality dan menolak segala macam hukum yang
mereka anggap bersifat diskriminatif terhadap wanita. Menurut mereka,
QS an-Nisa:34, harus diartikan, bahwa kelebihan itu bukanlah karena
jenis kelamin, tetapi karena prestasi yang dicapai oleh setiap orang
tanpa melihat jenis kelamin, apakah laki-laki atau wanita. Menurut para
pendukung ide kesetaraan gender ini, banyak ajaran agama yang selama ini
ditafsirkan berdasarkan kepentingan laki-laki, sehingga merugikan
wanita. (Lihat, M. Idrus Ramli (ed.), Menguak Kebatilan dan Kebohongan
Sekte FK3, Rabithah Ma’ahid Islamiyah Cabang Pasuruan, Pasuruan, 2004.
Buku yang ditulis para kyai muda NU Jawa Timur ini dengan serius
membongkar berbagai kekeliruan dan kepalsuan pendapat aktivis
“Kesetaraan Gender” yang tergabung dalam forum FK3.)
Cara berpikir antagonis dan seksis sangat kental dalam paham
Kesetaraan Gender. Sebutlah contoh, banyaknya lembaga perempuan yang
mengekspose data kekerasan terhadap perempuan. Kita tidak menolak, bahwa
kekerasan terhadap perempuan itu banyak terjadi. Tetapi, yang perlu
kita lihat, adalah kenapa kekerasan itu terjadi, sehingga bisa kita
carikan solusinya yang tepat. Misalnya, ada seorang suami yang memukul
istrinya. Lalu, si suami dilaporkan ke polisi sesuai dengan UU KDRT.
Lalu, muncullah berita: “Terjadi lagi kekerasan terhadap perempuan!”
Memang benar, yang mengalami kekerasan adalah perempuan, dan yang
melakukan kekerasan adalah laki-laki. Tetapi, kasus itu terjadi, karena
si perempuan menyeleweng dengan laki-laki lain. Jadi, suami memukul
istrinya bukan karena istrinya adalah seorang perempuan, tetapi, karena
dia menyeleweng. Si suami memukul istri juga bukan karena kelelakiannya,
tetapi karena ia melihat kemunkaran besar yang dilakukan istrinya.
Bisa saja dianalisis dengan cara lain.
Misalnya, si istri kebetulan orang keturunan Cina. Si suami ketutunan
Arab. Orang yang ingin mengangkat isu ketertindasan kaum keturunan Cina
akan mengatakan: “Lagi-lagi, orang Cina dianiaya!”
Jadi, kita perlu berhati-hati memahami data kekerasan terhadap perempuan, sehingga solusinya pun haruslah tepat. Cara berpikir seksis ini bisa dilihat dalam banyak buku tentang Kesetaraan Gender. Sebuah buku berjudul Isu-Isu Gender dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah (2004), mengkritisi sebuah buku pelajaran sekolah yang menampilkan gambar pembangunan sebuah masjid, dimana semua tukangnya adalah laki-laki. Gambar semacam itu, menurut buku ini, memberikan kesan seolah-olah perempuan tidak bisa menjadi tukang.
Suatu hari ada aktivis organisasi wanita Islam ke rumah saya. Ia
bercerita, seorang temannya memberikan penilaian terhadap kajian saya,
bahwa cara berpikir Adian itu adalah cara berpikir laki-laki. Saya
tidak heran dengan komentar semacam itu. Karena memang begitulah yang
diajarkan dalam berbagai buku tentang KKG.
Contoh yang terkenal adalah Amina Wadud, seorang feminis. Ia menulis
buku berjudul Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a
Woman’s Perspective (Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan
judul Quran menurut Perempuan, (Jakarta: Serambi, 2001).
Karena cara berpikir seksis dan antagonis, para feminis sering
menuduh para mufassir dan ulama fiqih laki-laki telah menyusun tafsir
dan kitab fiqih yang bias gender, sebab mereka laki-laki.
Cara berpikir seksis dan antagonis semacam itu tentu saja sangat tidak benar. Bisa saja sebagian pendapat ulama keliru. Tetapi menuduh mereka memiliki motif jahat untuk menindas perempuan dan melestarikan hegemoni laki-laki atas perempuan, merupakan kecurigaan yang bias gender pula. Lagi pula, sepanjang sejarah, telah lahir ulama-ulama perempuan dalam berbagai bidang. Pendapat mereka tidak berbeda dengan pendapat ulama laki-laki.
Sebagai contoh, perempuan ulama fiqih terbesar, yakni Siti Aisyah
r.a., tidak berbeda pendapatnya dengan pendapat para sahabat laki-laki
dalam berbagai masalah hukum yang kini digugat kaum feminis. Belum lama
ini telah terbit sebuah buku karya Sa’id Fayiz al-Dukhayyil, Mawsu’ah
Fiqh ‘Aisyah Umm al-Mu’minin, Hayatiha wa Fiqhiha, (Dar al-Nafes,
Beirut, 1993), yang menghimpun pendapat-pendapat Siti Aisyah r.a.
tentang masalah fiqih. Hingga kini, ribuan ulama dan cendekiawan
Muslimah tetap masih aktif menentang ide-ide ekstrim dari para feminis
dan aktivis KKG yang terinspirasi atau terhegemoni oleh pandangan hidup
sekular-liberal atau Marxisme.
Menyimak fakta draft RUU KKG semacam ini, maka sangat masuk akal kita
berharap DPR menunda dulu pembahasannya. Tugas kita memberikan masukan
kepada para wakil kita dan mendoakan mereka agar senantiasa diberikan
bimbingan oleh Allah SWT untuk menetapi jalan yang lurus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar