TAFSIR
SURAT AL-FATIHAH
Pendahuluan.
Dinamakan Al-Fatihah yang berarti
pembuka, karena surat ini ditulis sebagai pembukaan Al-Qur’an, walaupun
surat ini bukan yang pertama diturunkan. Selain nama Al-Fatihah, surat
ini memiliki banyak julukan, diantaranya adalah Ummul kitab (induk Al-Qur’an) yang banyak dipakai orang untuk menyebutnya.
Diturunkan di kota Makkah sebelum Hijrah, sehingga kemudian disebut surat Makkiyyah. Lebih jelasnya, surat Makkiyah adalah surat Al-Qur’an yang diturunkan pada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam sebelum
beliau berhijrah ke Al-Madinah Al-Munawwarah. Ciri-cirinya adalah
ayat-ayatnya yang berisikan pengenalan tawhid atau terdapat panggilan
“wahai manusia”. Adapun surat Madaniyah adalah surat Al-Qur’an yang diturunkan pada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam setelah
beliau berhijrah ke Al-Madinah Al-Munawwarah, walaupun turunnya ketika
beliau sedang berada di Makkah. Ciri-cirinya adalah ayat-ayatnya yang
berisikan tentang hukum, baik hukum tata cara beribadah maupun hukum
sosial atau perdata.
Surat Al-Fatihah berisi tujuh ayat dimulai dari basmalah sebagai ayat pertama. Namun ada pula yang berpendapat bahwa basmalah bukan termasuk ayat surat Al-Fatihah, maka menurut pendapat ini, ayat pertama surat Al-Fatihah adalah hamdalah, dan ayat ketujuh adalah ghairil maghdhuubi
dan seterusnya. Masing-masing pendapat memiliki landasan yang otentik,
maka kita tidak perlu merasa paling benar dan fanatik dengan madzhab yang kita anut, demi menghargai pendapat orang lain, toh, kenyataanya, mereka juga tidak pernah meninggalkan basmalah, walaupun tidak dibaca keras pada shalat jahriyah (shalat yang disunnahkan untuk membaca fatihah dan surat lainnya dengan keras, yaitu shalat mahgrib, isya’ dan shubuh).
Ayat basmalah.
Ayat pertama adalah
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمـنِ الرَّحِيْمِ
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang.”
Ayat ini disebut dengan Basmalah. Menurut sebagian pendapat, seperti Madzhab Al-Maliki, Basmalah
bukan termasuk ayat Al-Fatihah. Melainkan hanya disunnahkan untuk
membacanya mengawali setiap surat Al-Qur’an, dan ada pula yang
mengatakan bahwa Basmalah adalah ayat tersendiri sebagai pemisah setiap surat Al-Qur’an. Maka menurut madzhab ini, ayat pertama surat Al-Fatihah adalah Hamdalah, sehingga ketika shalat jahriyah, Basmalah tidak
dibaca dengan suara keras, melainkan dibaca dengan suara pelan. Dan
menurut pendapat ini, ayat ketujuh surat Al-Fatihah adalah “ghairil maghdhuubi ‘alaihim waladh-dhaalliin”, sementara ayat keenam hanya “shiraathal ladziina an’amta ‘alaihim”.
Menurut yang menganggap Basmalah sebagai bagian dari surat Al-Fatihah, Basmalah
adalah pembuka sekaligus induk daripada surat Al-Fatihah. Al-Imam
An-Nasfi, didalam kitab tafsirnya, meriwayatkan bahwa intisari daripada
semua kitab-kitab Allah ‘Azza wa-Jalla yang pernah diturunkan
ke bumi itu berada pada kitab Al-Qur’an, sedangkan intisari daripada
semua isi Al-Qur’an berada pada surat Al-Fatihah, dan intisari daripada
surat Al-Fatihah berada pada ayat basmalah.
Ayat basmalah memiliki arti sebuah ungkapan pengagungan terhadap Allah ‘Azza wa-Jalla, dengan menyinggung sifat pengasih dan penyayang Allah ‘Azza wa-Jalla yang berdampak pada wujudnya alam semesta, dimana pada ayat itu terdapat penyifatan Allah ‘Azza wa-Jalla
dengan Ar-Rahman dan Ar-Rahim, yang oleh kebanyakan ulama ditafsirkan
bahwa Ar-Rahman itu artinya Pencurah kasih sayang secara universal,
yakni penciptaan dan pemeliharaan terhadap semua makhluk tanpa
terkecuali, sedangkan Ar-Rahim artinya Pencurah kasih sayang secara
khusus, yakni buat orang-orang beriman, seperti mengkaruniakan nikmat
khusyu’ yang sedang kita bicarakan ini.
Maka, pembacaan basmalah, sebagai khithab dan ungkapan kepada Allah ‘Azza wa-Jalla, akan bermaksud memuji Allah ‘Azza wa-Jalla sebagai Pencipta segalanya, seolah-olah si pembaca berkata, “ya Allah, dariMulah segala sesuatu bermula, karena Engkaulah Pencipta segalanya”. Dari itu basmalah
disunnahkan untuk selalu dibaca pada setiap kita memulai sesuatu yang
baik, karena pada hakikatnya segala sesuatu, termasuk perbuatan kita,
itu adalah ciptaan Allah ‘Azza wa-Jalla. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
كُلُّ أَمْرٍ ذِيْ بَالٍ لاَيُبْدَأُ فِيْهِ بِبِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ فَهُوَ أَقْطَعُ
“Setiap pekerjaan baik yang tidak dimulai dengan membaca basmalah, maka pekerjaan itu cacat (tidak sempurna).” (Al-Hadits, riwayat Al-Khathib dari Abu Hurairah)
Ayat hamdalah.
Ayat kedua adalah ..
الْحَمْدُ للهِِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
“Segala puji bagi Allah Tuhan sekalian alam.”
Ayat ini disebut dengan Hamdalah. Secara ungkapan, hamdalah (bacaan alhamdu lillah) identik dengan pemujaan yang didasari oleh rasa syukur dan terimakasih atas semua karunia Allah ‘Azza wa-Jalla. Dari itu, kita disunnahkan untuk selalu membaca hamdalah pada setiap selesai mengerjakan sesuatu, untuk berterimakasih kepada Allah ‘Azza wa-Jalla atas karunia dan pertolongan-Nya sehingga kita dapat menyelesaikan pekerjaan itu.
Namun dalam hal penyifatan Allah ‘Azza wa-Jalla, hamdalah sangat erat hubungannya dengan basmalah, karena penyifatan Allah dengan “Rabbil ‘alamin” yang
maksudnya adalah Pemelihara alam semesta, merupakan kelanjutan daripada
penyifatan dengan Ar-Rahman Ar-Rahim yang maksudnya adalah Pencipta
alam semesta. Dari itu, dalam banyak hal, hamdalah juga disunnahkan untuk selalu dibaca sebagai pembukaan, misalnya pada khuthbah. Bahkan dalam hal ini, konteks kesunnahan hamdalah tidak berbeda dengan basmalah, dimana Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:
كُلُّ أَمْرٍ ذِيْ بَالٍ لاَيُبْدَأُ فِيْهِ بِالْحَمْدُ للهِِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ فَهُوَ أَقْطَعُ
“Setiap pekerjaan baik yang tidak dimulai dengan hamdalah, maka pekerjaan itu cacat.” (Al-Hadits, riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Ayat ketiga.
Ayat ketiga berbunyi;
الرَّحْمـنِ الرَّحِيْمِ
“Yang Maha Pengasih lagi Penyayang.”
Pada ayat ketiga ini terdapat pengulangan penyifatan, yaitu Ar-Rahman Ar-Rahim yang telah disebut pada ayat pertama (basmalah). Hal ini untuk menghadirkan kembali kesan kemurahan dan kasih sayang Allah ‘Azza wa-Jalla, setelah kita melewati ketegangan suasana khauf pada ayat sebelumnya, agar hati kita kembali pada suasana raja’, karena bagian daripada ibadah, termasuk shalat, itu memang mengarah pada perputaran antara isyarat raja’ dan khauf.
Ayat keempat.
Ayat keempat adalah..
مـلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ
“Raja di hari pembalasan.”
Ayat keempat ini merupakan penutup dari ketiga ungkapan sebelumnya, yakni khususnya dalam surat Al-Fatihah,
atau pada saat kita berdiri sebelum ruku’ dalam shalat. Artinya,
setelah kita mengingat akan semua karunia dan kebaikan Allah ‘Azza wa-Jalla, kitapun ingat bahwa semua kebaikan itu akan dipertanyakan oleh allah ‘Azza wa-Jalla, kelak pada hari pembalasan.
Ayat kelima.
Ayat kelima adalah..
إَيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ
“Hanya kepada-Mu kami menyembah, dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.”
Ayat kelima berisi suatu pernyataan
yang merupakan dampak dari pengakuan-pengakuan yang terdapat pada
keempat ayat sebelumnya. Pada ayat ini kita menyatakan kepada Allah ‘Azza wa-Jalla, bahwa setelah menyadari sifat-sifat Allah ‘Azza wa-Jalla itu, maka kitapun hanya akan menyembah kepadaNya, semata dan senantiasa. Dan karena menyadari bahwa tanpa taufiq (pertolongan) dan hidayah (petunjuk) Allah ‘Azza wa-Jalla, kita tidak mungkin dapat mengenal dan mengabdi kepada-Nya dengan baik, maka kitapun memohon pertolongan kepada allah ‘Azza wa-Jalla untuk itu, sebagaimana pada ayat berikutnya.
Ayat keenam.
Ayat keenam adalah..
إِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ
“Tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus.”
Ditafsiri oleh ayat berikutnya.
Ayat ketujuh.
Ayat terakhir adalah..
صِرَاطَ الَّذِيْنَ أنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَالضَّالّيْنَ
“Jalan orang-orang yang telah
Engkau karuniai, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan
pula orang-orang yang tersesat.”
Seperti yang baru saja saya
singgung, bahwa ayat ketujuh ini merupakan tafsiran mengenai jalan lurus
yang kita dambakan, maka ayat ini menyebutkan jalan siapa yang kita
inginkan, yaitu jalan orang-orang yang telah dikaruniai oleh Allah ‘Azza wa-Jalla, yakni para Nabi, syuhada (orang-orang mati syahid), para kekasih Allah dan orang-orang shaleh.
Kemudian kita menambahkan dengan memohon perlindungan dari jalan orang-orang yang dimurkai oleh Allah ‘Azza wa-Jalla,
yaitu orang-orang yang suka merubah hukum-hukum-Nya, yang oleh
kebanyakan ulama ahli tafsir diisyaratkan pada orang yahudi. Dan juga
memohon perlindungan dari jalan orang-orang sesat, yang mudah meyakini
sesuatu walaupun meragukan dan tanpa landasan pasti, yang oleh
kebanyakan Ulama ahli tafsir diisyaratkan pada orang nasrani, dimana
mereka menyatakan ketuhanan Nabi Isa, padahal pada saat penyaliban
Yahudza, yang menurut mereka adalah Isa, mereka sebenarnya ragu bahwa
yang mereka salib itu adalah benar-benar Isa, karena walaupun wajah
Yahudza oleh Allah ‘Azza wa-Jalla telah dirubah menjadi persis
wajah nabi Isa, akan tetapi tubuhnya tetap tubuh Yahudza yang lebih
tinggi dari Nabi Isa. Orang-orang Nasrani tetap bersikeras dengan
keyakinannya, padahal keyakinan itu bermula pada hal yang diragukan. Hal
seperti inilah yang kita mintai perlindungan Allah ‘Azza wa-Jalla daripadanya.
Membaca amin.
Disunnahkan membaca amin setelah
rampung membaca Surat Al-Fatihah, terlebih bagi makmum shalat maka
disunnahkan untuk membaca amin bersamaan dengan imam dan dengan suara
yang keras, dengan maksud mengamini doa pada akhir surat Al-Fatihah
tersebut. Adapun arti daripada amin adalah: “Kabulkanlah doa ini, ya
Allah”.
Rasulullah Shallallaahu ‘alai wasallam bersabda:
مَا حَسَدَتْكُمُ اليَهُوْدُ عَلى شَيْءٍ مَا حَسَدَتْكُم عَلى السَّلاَمِ وَالتَّأْمِيْنِ
“Orang-orang Yahudi tidak merasa
iri terhadap kalian karena suatu apapun, sebagaimana mereka merasa iri
karena kalian mengucapkan salam dan mengucapkan amin.” (Al-Hadits, riwayat Ibnu Majah)
Yakni mereka iri karena kita telah
membudayakan mengucapkan salam serta kompak didalam membaca “amin” pada
saat shalat. Apalagi, selain hal itu menunjukkan kekuatan ukhuwah
islamiah dan kekompakan kita, kekompakan didalam membaca amin pada saat
shalat juga sangat besar pahalanya. Rasulullah Shallallaahu ‘alai wasallam bersabda:
إِذَا أَمَّنَ الإِمَاُم فَأَمِّنُوْا
فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ تَأْمِيْنَهُ تَأْمِيْنَ الْمَلاَئِكَةِ غُفِرَ
لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
.
“Apabila Imam membaca amin, maka
bacalah amin olehmu. Karena barang siapa yang bacaan aminnya bersamaan
dengan aminnya Malaikat, maka diampunilah yang telah lalu dari dosanya.”
(Al-Hadits, riwayat Al-Bukhari)
Yakni Malaikat turut beramin
bersama-sama dengan aminnya imam, sehingga barang siapa yang membaca
amin bersama imam maka berarti bersamaan juga dengan aminnya Malaikat,
dan keutamaan beramin bersama Malaikat adalah ampunan.
Kaitan makna Al-Fatihah dengan shalat.
Telah kita singgung bahwa bagian-bagian daripada ibadah, termasuk shalat, itu mengarah pada perputaran antara raja’ dan khauf.
Maka makna surat Al-Fatihah dan bagian-bagian shalat memiliki kesamaan
arah ungkapan. Hanya saja, makna surat Al-Fatihah berwujud isyarat,
sementara bagian-bagian shalat berwujud sikap. Untuk lebih jelasnya
perhatikanlah berikut ini;
a. Pada Ayat pertama, seperti yang kita bicarakan pada bab tafsir basmalah, ayat ini mengisyaratkan kesan kasih sayang Allah ‘Azza wa-Jalla yang dapat menghadirkan suasana raja’.
Maka hal ini sama dengan bagian shalat pada sikap pertama, yaitu ketika
berdiri membaca doa iftitah dan seterusnya, pada saat itu penampakan
Allah ‘Azza wa-Jalla yang terkesan oleh peshalat adalah sifat
kemu-rahan dan kasih sayang-Nya, sehingga si peshalat kemudian berani
merajuk dan berikrar janji pada Allah ‘Azza wa-Jalla, dengan mengatakan “sesun-gguhnya shalat dan semua ibadahku, hidup dan matiku, hanya untukMu, Ya Allah”.
b. Pada Ayat kedua, seperti yang kita bicarakan pada bab tafsir hamdalah, ayat ini mengisyaratkan kebesaran dan kewibawaan Allah ‘Azza wa-Jalla yang dapat menghadirkan suasana khauf. Maka hal ini sama dengan bagian shalat pada sikap kedua, yaitu ketika berruku’ memuja dan menyu-cikan Allah ‘Azza wa-Jalla, pada saat itu penam-pakan Allah ‘Azza wa-Jalla
yang terkesan oleh peshalat adalah sifat keagungan dan wibawa-Nya, dari
itu si peshalat kemudian tertunduk dan terbungkuk dalam ruku’, dan
hanya berani berkata “Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung”.
c. Pada Ayat ketiga, seperti yang kita bicarakan pada bab tafsirnya, ayat ini kembali mengisyaratkan kesan kasih sayang Allah ‘Azza wa-Jalla yang dapat menghadirkan suasana raja’. Maka hal ini sama dengan bagian shalat pada sikap ketiga, yaitu ketika berdiri dari ruku’ yang kita sebut dengan i’tidal, pada saat itu penampakan Allah ‘Azza wa-Jalla
yang terkesan oleh peshalat adalah sifat kemurahan dan kasih sayangNya,
sehingga si peshalat kemudian berani merajuk dan mempersembahkan pujian
puitis berbunyi “segala puji bagiMu, sebanyak isi langit dan bumi, bahkan sebanyak apapun Yang Engkau Kehendaki”.
d. Pada
Ayat keempat, seperti yang kita bicarakan pada bab tafsirnya, ayat ini
kembali mengisya-ratkan kesan keagungan dan keperkasaan Allah ‘Azza wa-Jalla yang dapat menghadirkan suasana khauf, dengan penampakan yang lebih hebat daripada ayat kedua, karena pada ayat ini Allah ‘Azza wa-Jalla
menyinggung hebohnya hari pembalasan. Maka hal ini sama dengan bagian
shalat pada sikap keempat, yaitu ketika bersimpuh bersujud, sikap
tawadhu’ dan takut yang melebihi ketika ruku’, pada saat itu penampakan
Allah ‘Azza wa-Jalla yang terkesan oleh peshalat adalah sifat adil dan perkasaNya, dimana Allah ‘Azza wa-Jalla
akan membalas semua perbuatan hamba-hambaNya, termasuk menyiksa para
pendosa. Dari itu, si peshalat kemudian hanya berani berkata “Maha Suci Tuhanku, Yang maha teramat tinggi”.
e. Pada Ayat kelima, seperti yang kita bicarakan pada bab tafsirnya, ayat ini mengisyaratkan kesan kasih sayang Allah ‘Azza wa-Jalla yang dapat menghadirkan suasana raja’, namun masih tersisa suasana khauf
yang terdapat pada ayat sebelum-nya. Maka hal ini sama dengan bagian
shalat pada sikap kelima, yaitu ketika duduk antara dua sujud, pada saat
itu penampakan Allah ‘Azza wa-Jalla yang terkesan oleh
peshalat adalah sifat kemurahan dan kasih sayang-Nya, namun suasana
sujud masih membekas dihatinya, sehing-ga walaupun si peshalat berani
berdoa, akan tapi ia memulai doanya dengan “Robbighfirlii”, memohon ampunan kepada Allah ‘Azza wa-Jalla
f. Pada
ayat keenam dan ketujuh, seperti yang kita bicarakan pada bab
tafsirnya, kedua ayat ini merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya,
yaitu melanjutkan doa dan permohonan untuk mengisi suasana raja’. Maka hal ini sama dengan bagian shalat yang terakhir, yaitu ketika membaca tahiyyat
dan seterusnya, yang berisi doa-doa dengan menyinggung orang-orang yang
telah dikaruniai oleh Allah, seperti Nabi dalam kalimat “assalaamu ‘alaika ayyuhan Nabiy” (salam bagimu, wahai Nabi), dan kalimat “wa’alaa ‘ibaadil laahish shaalihiin” (dan salam bagi hamba-hamba Allah yang shaleh). Kemudian, pada tahiyyat ini pula, si peshalat menyinggung musuh-musuh Allah dengan mambaca ta’awwudz
(meminta perlin-dungan dari godaan syetan). Maka hal ini sama persis
dengan doa dalam ayat keenam dan ketujuh, yang menyinggung Nabi dan
orang-orang shaleh dalam kalimat “alladziina an’amta dst.”, dan menyinggung musuh-musuh Allah dalam kalimat “ghairil maghdhuubi.. dst.”.
Demikianlah, betapa surat Al-Fatihah dan bagian-bagian shalat itu memiliki kesamaan yang nyata. Maka pantaslah kalau Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda’ “Tiada shalat tanpa Ummul-kitab”.
Dialog Allah dengan hambaNya
Dalam pembacaan surat Al-Fatihah,
terjadi sebuah dialog antara seorang hamba dengan Tuhannya, walaupun
memang tidak banyak dari mereka yang sadar dan merasa terlibat dalam
dialog itu. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
قَالَ تَعَالى: قَسَّمْتُ الصَّلاَةَ
بَيْنِيْ وَبَيْنَ عَبْدِيْ نِصْفَيْنِ، وَلِعَبْدِيْ مَا سَأَلَ. فَإِذَا
قَالَ الْعَبْدُ؛ الْحَمْدُ للهِ رَبّ الْعَالَمِيْنَ، قَالَ اللهُ
تَعَالى؛ حَمِدَنِيْ عَبْدِيْ، فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ؛ الرَّحْمـنِ
الرَّحِيْمِ، قَالَ اللهُ تَعَالى؛ أَثْنى عَلَيَّ عَبْدِيْ، فَإِذَا قَالَ
الْعَبْدُ؛ مَالِكِ يَوْمِ الدّيْنِ، قَالَ اللهُ تَعَالى؛ مَجَّدَنِيْ
عَبْدِيْ، فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ؛ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ
نَسْتَعِيْنُ، قَالَ اللهُ تَعَالى؛ هذَا بَيْنِيْ وَبَيْنَ عَبْدِيْ
وَلِعَبْدِيْ مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ؛ إِهْدِنَا الصِّرَاطَ
الْمُسْتَقِيْمَ صِرَاطَ الَّذِيْنَ أنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ
الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَالضَّالِّيْنَ،َ قَالَ اللهُ تَعَالى؛ هذَا
لِعَبْدِيْ وَلِعَبْدِيْ مَا سَأَل
.
“Allah Ta’aalaa berfirman; Kubagi shalat itu menjadi dua bagian, antara bagaianKu dan bagian hambaKu. Apabila hamba itu berkata, ‘Alhamdu lillaahi rabbil’aalamiin’ (segala puji bagi Allah), maka Allah Ta’aalaa berkata, ‘hambaKu telah memujaku’. Apabila hamba itu berkata, ‘Arrahmaanir rahiim’ (Yang Maha pengasih lagi Penyayang), maka Allah Ta’aalaa berkata, ‘hambaKu telah memujiKu’. Apabila hamba itu berkata, ‘Maaliki yaumid diin (Yang Menguasai hari pembalasan)’, maka Allah Ta’aalaa berkata, ‘hambaKu telah menga-gungkan Aku’. Apabila hamba itu berkata, ‘Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin’(kepadaMu kami menyembah dan kepadaMu kami memohon pertolongan), maka Allah Ta’aalaa berkata, ‘ini adalah bagian antara Aku dan hambaKu, dan bagi hambaKu apapun yang ia minta’. Apabila hamba itu berkata, ‘Ihdinash shiraa-thal mustaqiim dst.’ (Tunjukkan-lah aku ke jalan yang lurus dst.), maka Allah ‘Azza wa-Jalla berkata, ‘ini adalah bagian hambaKu, dan baginya apapun yang ia minta’.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim, Al-Imam Abu Dawud dll. Hadits ini disebut Hadits Qudsiy, yaitu sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam yang meriwayatkan firman Allah ‘Azza wa-Jalla (firman selain Al-Qur’an).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar