- بسم الله الرحمن الرحيم -
عَنْ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
(( إِنَّمَا الأَعْمَالُ
بِالنِّيَّةِ، وَإِنَّمَا لإِمْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ
إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ
كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٌ يَتَزَوَّجُهَا
فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ)).
Dari Umar bin al Khaththab, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya
perbuatan-perbuatan itu dengan niat, dan sesungguhnya setiap orang
bergantung dengan apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa yang hijrahnya
kepada Allah dan Rasul-Nya, hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan
barangsiapa yang hijrahnya untuk dunia yang ingin ia perolehnya, atau
untuk wanita yang ingin ia nikahinya, maka hijrahnya
kepada apa yang
berhijrah kepadanya.”[1]
DERAJAT, KEDUDUKAN DAN MAKNA GLOBAL HADITS
Al Hafizh Ibnu Rajab al Hanbali rahimahullah berkata, “Para ulama telah sepakat atas keshahihan dan diterimanya hadits ini. Dan al Bukhari pun memulai kitab Shahih-nya dengan hadits ini, dan memposisikannya sebagai khuthbah (muqaddimah)nya.
Hal ini sebagai isyarat dari beliau bahwa setiap amalan (apapun) yang
tidak diperuntukkan (dalam mengamalkannya) karena wajah Allah, maka
amalan tersebut bathil, tidak menghasilkan suatu apapun, baik di dunia maupun di akhirat”.[2]
Al Imam Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah
berkata, “Seandainya aku menulis (kitab dalam beberapa) bab, niscaya aku
jadikan hadits Umar (dalam masalah amalan-amalan dengan niatnya itu)
ada pada setiap babnya”.[3]
Al Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Pokok-pokok Islam terdapat pada tiga hadits; hadits Umar (al A’malu bin Niyyat),
hadits ‘Aisyah (Barangsiapa yang mengada-ada perkara baru dalam urusan
kami ini maka ia tertolak), dan hadits an Nu’man bin Basyir (Yang halal
itu jelas, dan haram itu jelas)”.[4]
Berkaitan dengan maksud dari perkataan Al Imam Ahmad rahimahullah di atas, Al Hafizh Ibnu Rajab al Hanbali rahimahullah
menjelaskan, “Dengan demikian, dapat diketahuilah makna perkataan yang
diriwayatkan dari Al Imam Ahmad yang telah menyatakan bahwa pokok-pokok
Islam terdapat pada tiga hadits… Hal itu, karena agama ini seluruhnya
mengandung pelaksanaan perintah-perintah dan larangan dari hal-hal yang
haram (dilarang) serta (anjuran untuk) tidak melakukan perkara-perkara
yang syubuhat (samar-samar, belum jelas hukumnya). Dan semua
ini terkandung dalam hadits an Nu’man bin Basyir. Dan hal di atas,
tidaklah tepenuhi (syarat-syaratnya) melainkan dengan dua perkara; pertama, amalan itu zhahirnya harus sesuai dengan sunnah.
Dan inilah yang terkandung dalam hadits ‘Aisyah (Barangsiapa yang
mengada-ada perkara baru dalam urusan kami ini maka ia tertolak). Kedua, amalan tersebut secara batin harus diperuntukkan karena wajah Allah. Inilah yang terkandung dalam hadits Umar (al A’malu bin Niyyat)”.[5]
MAKNA DAN FUNGSI NIAT
Dari sekilas penjelasan di atas, dapat kita
pahami bahwa niat sangat menentukan baik dan buruknya sebuah amalan
(perbuatan) dan menentukan sah atau tidaknya sebuah amal ibadah. Niat
pun menentukan berpahala dan berdosanya pelaku amalan tersebut,
sebagaimana pula menentukan besar dan kecilnya pahala atau dosa yang ia
peroleh dari amalannya tersebut.[6]
Al Hafizh Ibnu Rajab al Hanbali rahimahullah berkata, “Ketahuilah, niat secara bahasa bermakna maksud dan keinginan”.[7]
Adapun fungsi niat, maka beliau kembali menjelaskan, “Niat, dalam perkataan ulama memiliki dua maksud (fungsi); pertama, untuk membedakan antara satu ibadah dengan yang lainnya. Seperti membedakan antara shalat zhuhur dan ‘ashar,
dan membedakan puasa Ramadhan dengan puasa-puasa lainnya. Juga untuk
membedakan antara ibadah dan adat istiadat (kebiasaan). Seperti
membedakan antara mandi janabat dan mandi untuk membersihkan dan
menyegarkan badan semata. Dan contoh-contoh lain yang semisalnya. Niat
semacam inilah yang banyak yang dibicarakan oleh para ahli fiqih dalam kitab-kitab mereka. Kedua,
untuk membedakan maksud atau tujuan dalam beramal. Apakah maksud dan
tujuannya Allah semata, ataukah yang lainnya? Ataukah Allah dan juga
selain-Nya. Niat semacam inilah yang banyak yang dibicarakan oleh para
ulama aqidah tatkala mereka membicarakan masalah ikhlas dan
cabang-cabangnya. Dan ini pula yang banyak didapatkan pada pembahasan
dan pembicaraan ulama salaf terdahulu”.[8]
BEBERAPA AYAT DAN HADITS SHAHIH YANG MENUNJUKKAN WAJIBNYA IKHLAS DALAM BERIBADAH, DAN ANCAMAN BAGI ORANG YANG TIDAK IKHLAS (BERBUAT SYIRIK) DALAM IBADAHNYA
1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat at Taubah, ayat 31:
وَمَآأُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْا إِلَهًا وَاحِدًا لآإِلَهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ
… padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan
yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci
Allah dari apa yang mereka persekutukan.
2. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat al Bayyinah, ayat 5:
وَمَآ أُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْااللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ
الدِّيْنَ حُنَفَآءَ وَيُقِيْمُوْا الصَّلَوةَ وَيُؤْتُوْا االزَّكَوةَ
وَذَلِكَ دِيْنُالْقَيِّمَةِ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya
menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.
3. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat az Zumar, ayat 65-66:
وَلَقَدْ أُوحِىَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكَ
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِّنَ
الْخَاسِرِينَ . بَلِ اللهَ فَاعْبُدْ وَكُن مِّنَ الشَّاكِرِينَ
Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan
kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan),
niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang
merugi. Karena itu, maka hendaklah Allah saja kamu sembah dan hendaklah
kamu termasuk orang-orang yang bersyukur”.
4. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat al Kahfi, ayat 110:
قُلْ إِنَّمَآ أَنَا بَشَرٌ مِّثْلَكُمْ يُوحَى إِلَىَّ
أَنَّمَآ إِلاَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ
رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَيُشْرِكُ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ
أَحَدًا
Katakanlah, sesungguhnya aku ini manusia biasa
seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu
adalah Tuhan yang Esa. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan
Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah
ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.
5. Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
((قَالَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أَنَا أَغْنَى
الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ، مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيْهِ مَعِي
غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ)).
“Allah Tabaraka wa Ta’ala berkata: Aku adalah
Yang Maha Kaya dari serikat, maka barangsiapa yang berbuat amalan dan ia
mempersekutukan Aku bersama selain-Ku, Aku akan tinggalkan dia dan juga
sekutunya”.[9]
6. Hadits Ubay bin Ka’ab radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
((بَشِّرْ هَذِهِ الأُمَّةَ بِالسَّنَاءِ وَالرِّفْعَةِ
وَالدِّيْنِ وَالنَّصْرِ وَالتَّمْكِيْنِ فِي الأَرْضِ، فَمَنْ عَمِلَ
مِنْهُمْ عَمَلَ الآخِرَةِ لِلدُّنْيَا لَمْ يَكُنْ لَهُ فِي الآخِرَةِ
نَصِيْبٌ)).
“Berilah kabar gembira pada umat ini berupa
kemuliaan, ketinggian, (kekuatan) agama, kemenangan, dan kekuasaan di
muka bumi. (Akan tetapi apabila) seorang dari mereka beramal amalan
akhirat (beribadah) untuk (tujuan) dunia, maka ia di akhirat (kelak)
tidak mendapatkan bagian (balasan kebaikan) apapun”.[10]
7. Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
((مَنْ تَعَلَّمَ عِلْماً مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللهِ
عَزَّ وَجَلَّ، لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيْبَ بِهَ عَرَضاً مِنَ
الدُّنْيَا، لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الجَنَّةِ يَوْمَ القِيَامَةِ))، يَعْنِي
رِيْحَهَا.
“Barangsiapa yang mempelajari ilmu dari
ilmu-ilmu yang (semestinya) dipelajari hanya karena wajah Allah, namun
ia mempelajarinya untuk mendapatkan tujuan keduniaan, maka ia tidak akan
mencium bau surga pada hari kiamat (kelak)”.[11]
8. Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
((إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ القِيَامَةِ
عَلَيْهِ؛ رَجُلٌ اُسْتُشْهِدَ، فَأُتِيَ بِهِ، فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ،
فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا؟ قَالَ: قَاتَلْتُ فِيْكَ
حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ، قَالَ: كَذَبْتَ! وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لأَنْ
يُقَالَ: جَرِيْءٌ، فَقَدْ قِيْلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ، فَسُحِبَ عَلَى
وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ؛ وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ العِلْمَ
وَعَلَّمَهُ، وَقَرَأَ القُرْآنَ، فَأُتِيَ بِهِ، فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ،
فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ العِلْمَ
وَعَلَّمْتُهُ، وَقَرَأْتُ فِيْكَ القُرْآنَ، قَالَ: كَذَبْتَ! وَلَكِنَّكَ
تَعَلَّمْتَ العِلْمَ لِيُقَالَ: عَالِمٌ، وَقَرَأْتَ القُرْآنَ
لِيُقَالَ: هُوَ قَارِئٌ، فَقَدْ قِيْلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ، فَسُحِبَ
عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ؛ وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللهُ
عَلَيْهِ وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ، فَأُتِيَ بِهِ،
فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ، فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا؟ قَالَ:
مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيْلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقُ فِيْهَا إِلاَّ
أَنْفَقْتُ فِيْهَا لَكَ، قَالَ: كَذَبْتَ! وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ
لِيُقَالَ: هَوَ جَوَادٌ، فَقَدْ قِيْلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى
وَجْهِهِ، ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ)).
“Sesungguhnya orang yang pertama kali
diputuskan (perkaranya) pada hari kiamat adalah; seorang yang mati dalam
peperangan. Ia didatangkan (ke hadapan Allah), kemudian Allah pun
membuatnya mengakui seluruh kenikmatan-Nya atasnya, dan ia pun
mengakuinya. Lalu Allah berkata kepadanya: Apa yang kamu lakukan
terhadap kenikmatan-kenikmatan tersebut? Orang itu menjawab: Aku
berperang karena Engkau sampai aku mati syahid. Allah berkata: Kamu
dusta! Akan tetapi kamu berperang supaya kamu disebut pemberani, dan itu
telah dikatakan (kepadamu). Kemudian diperintahkan agar orang tersebut
diseret di atas wajahnya, dan dilempar ke neraka. Dan seorang yang
mempelajari ilmu dan mengajarkannya, ia pun membaca al Qur’an. Ia
didatangkan (ke hadapan Allah), kemudian Allah pun membuatnya mengakui
seluruh kenikmatan-Nya atasnya, dan ia pun mengakuinya. Lalu Allah
berkata kepadanya: Apa yang kamu lakukan terhadap kenikmatan-kenikmatan
tersebut? Orang itu menjawab: Aku mempelajari ilmu dan mengajarkannya,
aku pun membaca al Qur’an karena Engkau. Allah berkata: Kamu dusta! Akan
tetapi kamu mempelajari ilmu supaya disebut seorang alim, dan kamu
membaca al Qur’an supaya disebut seorang Qari, dan itu telah dikatakan
(kepadamu). Kemudian diperintahkan agar orang tersebut diseret di atas
wajahnya, dan dilempar ke neraka. Dan seorang yang telah Allah luaskan
rizkinya, dan Allah berikan seluruh jenis harta. Lalu ia didatangkan (ke
hadapan Allah), kemudian Allah pun membuatnya mengakui seluruh
kenikmatan-Nya atasnya, dan ia pun mengakuinya. Lalu Allah berkata
kepadanya: Apa yang kamu lakukan terhadap kenikmatan-kenikmatan
tersebut? Orang itu menjawab: Tidak ada satu jalan pun yang Engkau cinta
untuk diberikan infak pada jalan tersebut, melainkan aku pun telah
berinfak di jalan itu karena Engkau. Allah berkata: Kamu dusta! Akan
tetapi kamu melakukan hal itu supaya disebut seorang dermawan, dan itu
telah dikatakan (kepadamu). Kemudian diperintahkan agar orang tersebut
diseret di atas wajahnya, dan dilempar ke neraka”.[12]
HUKUM ME-LAFAZH-KAN NIAT[13]
Al Hafizh Ibnu Rajab al Hanbali rahimahullah berkata, “Niat merupakan maksud hati, sehingga tidak wajib untuk me-lafazh-kannya dalam ibadah apapun”.[14]
Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila ingin shalat, beliau memulai shalatnya dengan lafazh : (Allahu Akbar).
Beliau tidak pernah me-lafazh-kan kata-kata apapun sebelumnya dan tidak
pernah me-lafazh-kan niat sama sekali. Nabi tidak pernah berkata: (Ushalli lillahi shalata kadza…mustaqbilal qiblati arba’a raka’atin imaman… aw ma’muman…) “aku shalat untuk Allah shalat ini…dengan menghadap kiblat empat raka’at sebagai imam…atau ma’mum…”. Ini adalah bid’ah yang tidak pernah ada seorang pun yang menukilkan lafazh niat ini, baik dengan sanad yang shahih, atau pun yang dha’if (lemah). Baik itu musnad (yang bersambung sanadnya dan sampai pada Nabi), atau pun yang mursal (yang terputus sanadnya). Tidak pula pernah diriwayatkan dari satu orang pun dari sahabat Nabi. Tidak ada pula seorang tabi’in
pun yang pernah menganggapnya suatu hal yang baik. Dan tidak pula para
imam yang empat. Namun sayangnya, sebagian orang-orang yang hidup
belakangan keliru dalam memahami perkataan Imam asy Syafi’i -radhiyallahu ‘anhu- (berikiu ini):
(إِنَّهَا لَيْسَتْ كَالصِّيَامِ، وَلاَ يَدْخُلُ فِيْهَا أَحَدٌ إِلاَّ بِذِكْرٍ).
“Sesungguhnya shalat tidak seperti shaum (puasa), dan
tidak boleh seorang pun memasuki shalat melainkan harus dengan dzikir
(bacaan).”
Sebagian mereka mengira bahwa dzikir yang dimaksud adalah me-lafazh-kan niat!
Yang dimaksud Imam asy Syafi’i rahimahullah sesungguhnya adalah Takbiratul Ihram, tidak lain lagi! Dan bagaimana mungkin Imam asy Syafi’i menyatakan sunnahnya sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam shalatnya satu kali pun?! Tidak juga pernah dilakukan oleh para khulafa-nya
dan para sahabatnya! Inilah petunjuk dan sejarah mereka. Maka, jika ada
seorang yang mampu membawakan kepada kami satu huruf pun dari mereka
(Nabi dan para sahabatnya) yang menunjukkan hal itu (yakni; Nabi dan
para sahabatnya me-lafazh-kan niat, Pen),
pastilah kami akan menerimanya! Dan pastilah kami membalasnya dengan
tunduk dan patuh. (Karena) tidak ada petunjuk yang lebih sempurna dari
petunjuk mereka (Nabi dan para sahabatnya), dan tidak ada sunnah melainkan dari apa-apa yang telah mereka terima dari pemilik syariat ini shallallahu ‘alaihi wa sallam “.[15]
Demikian penjelasan ringkas hadits yang mulia
ini, mudah-mudahan bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya dan
mengamalkannya.
Wallahu A’lam bish Shawab.
Ustadz Abu Abdillah Arief Budiman bin Usman Rozali, Lc.
Maraji’ & Mashadir:
- Al Quran dan terjemahnya, Cet. Mujamma’ Malik Fahd, Saudi Arabia.
- Shahih al Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin al Mughirah al Bukhari (194-256 H), tahqiq Musthafa Dib al Bugha, Daar Ibn Katsir, al Yamamah, Beirut, Cet. III, Th. 1407 H/1987 M.
- Shahih Muslim, Abu al Husain Muslim bin Hajjaaj al Qusyairi an Naisaburi (204-261 H), tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi, Daar Ihya at Turats, Beirut.
- Sunan Abi Daud, Abu Daud Sulaiman bin al Asy’ats As Sijistani (202-275 H), tahqiq Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Daar al Fikr.
- Sunan Ibnu Majah, Abu Abdillah Muhammad bin Yazid bin Majah (207-275 H), tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi, Daar al Fikr, Beirut.
- Musnad al Imam Ahmad, Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal asy Syaibani (164-241 H), Mu’assasah Qurthubah, Mesir.
- Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, Abu Umar Yusuf bin Abdil Barr (368-463 H), tahqiq Abul Asybal az Zuhairi, Daar Ibn al Jauzi, Dammam, KSA, Cet. VI, Th. 1424 H.
- Zaad al Ma’ad, Ibnu al Qayyim (691-751 H), tahqiq Syu’aib Al Arna’uth dan Abdul Qadir Al Arna’uth, Mu’assasah ar Risalah, Beirut, Libanon, cet III, th 1423 H/2002 M.
- Jami’ al Ulum wa al Hikam fi Syarhi Khamsina Haditsan min Jawami’ al Kalim, Zainuddin Abu al Faraj Abdurrahman bin Syihabuddin al Baghdadi Ibnu Rajab al Hanbali (736-795 H), tahqiq Thariq bin ‘Awadhullah bin Muhammad, Daar Ibn al Jauzi, Dammam, KSA, Cet. III, Th. 1422 H.
- Shahih Sunan Abi Daud, Muhammad Nashiruddin al Albani (1332-1420 H), Maktabah Al Ma’arif, Riyadh, cet II, th 1421 H/ 2000 M.
- Shahih Sunan Ibnu Majah, Muhammad Nashiruddin al Albani (1332-1420 H), Maktabah al Ma’arif, Riyadh, KSA, cet I, th 1417 H/ 1997 M.
- Shahih at Targhib wa at Tarhib, Muhammad Nashiruddin al Albani (1332-1420 H), Maktabah al Ma’arif, Riyadh, cet I, th 1421 H/ 2000 M.
- Shahih al Jami’ ash Shaghir, Muhammad Nashiruddin al Albani (1332-1420 H), al Maktab al Islami, Beirut.
- Al Qaulul Mubin fi Akhtha-il Mushallin, Masyhur Hasan Salman, Daar Ibn al Qayyim, Dammam, KSA, Cet. II, Th. 1413 H/1993 M.
_________________________
Catatan kaki:
[1] HR al Bukhari (1/3 no. 1), Muslim (3/1515 no. 1907), dan lain-lain. Dan ini lafazh Shahih Muslim.
[2] Jami’ul ‘Ulumi wal Hikam, halaman 20.
[3] Sebagaimana yang dinukil oleh al Hafizh Ibnu Rajab al Hanbali dalam kitabnya Jami’ul ‘Ulumi wal Hikam, halaman 20.
[4] Sebagaimana yang dinukil oleh al Hafizh Ibnu Rajab al Hanbali dalam kitabnya Jami’ul ‘Ulumi wal Hikam, halaman 21.
[5] Jami’ul ‘Ulumi wal Hikam, halaman 29-30.
[6] Lihat Jami’ul ‘Ulumi wal Hikam, halaman 24.
[7] Jami’ul ‘Ulumi wal Hikam, halaman 24.
[8] Jami’ul ‘Ulumi wal Hikam, halaman 24-25.
[9] HR Muslim (4/2289 no. 2985), dan lain-lain.
[10] HR Ahmad (5/134), dan lain-lain.
Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Shahih al Jami’ (2825) dan Shahih at Targhib wat Tarhib (1/117 no. 23).
[11] HR Abu Dawud (3/323 no. 3664), Ibnu Majah (1/92 no.252), Ahmad (2/338), dan lain-lain.
Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud (2/412), Shahih Sunan Ibnu Majah (1/99 no. 206), Shahih al Jami’ (6159), Shahih at Targhib wat Tarhib (1/153 no. 105), dan kitab beliau lainnya. Lihat pula Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (1/658-659).
[12] HR Muslim (3/1513 no. 1905), dan lain-lain.
[13]
Untuk pembahasan lebih meluas, kami persilahkan para pembaca untuk
kembali ke kitab-kitab para ulama yang secara khusus membahas
permasalahan ini, di antaranya kitab al Qaulul Mubin fi Akhtha-il Mushallin, halaman 91-96.
[14] Jami’ul ‘Ulumi wal Hikam, halaman 49.
[15] Zaadul Ma’ad (1/194).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar