Welcome to My Blog
Sabtu, 30 Juni 2012
Aku tak ingin cantik
Aku tak ingin cantik…
Jika kecantikanku akan meninggalkan bayangan dalam pelupuk matamu…
Aku tak ingin cantik…
Jika kecantikanku akan meninggalkan sosok dalam bayang pikirmu..
Aku tak ingin cantik…
Jika kecantikanku akan meninggalkan sebuah rasa dihatimu…
Aku tak ingin cantik…
Jika kecantikanku akan membelokkan kelurusan niatmu…
Aku tak ingin cantik…
Jika kecantikanku akan menggugurkan ikhlasmu…
Aku tak ingin cantik…
Jika kecantikanku akan meruntuhkan semangat juang dalam jihadmu…
Sungguh…aku tak menginginkan cantik ini..
Jika hanya akan menjadi sumber suatu dosa…
Tapi…suatu hari nanti aku ingin menjadi yang tercantik…
Jika diriku sudah diikat dalam sebuah janji…
Sebuah janji yang katanya sekuat janji para Nabi…
sumber : http:// penulishati.multiply.com/ journal/item/42/42
Selasa, 26 Juni 2012
Kisah di Balik Terhapusnya Piagam Jakarta
jakarta.go.id
Ada khianat dan dusta, di balik terhapusnya kalimat, “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam Piagam Jakarta yang juga Pembukaan UUD 1945. Sikap toleran tokoh-tokoh Islam, dibalas dengan tipu-tipu politik!
Sebagaimana ditulis sebelumnya, sehari pasca pembacaan Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, tujuh kata dalam
Piagam Jakarta dihapuskan. Di antara tokoh yang sangat gigih menolak
penghapusan itu adalah tokoh Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo. Saking
gigihnya, sampai-sampai Soekarno dan Hatta tak berani bicara langsung
dengan Ki Bagus. Soekarno terkesan menghindar dan canggung, karena bagi
Ki Bagus, penegakan syariat Islam adalah harga mati yang tak bisa
ditawar lagi.
Untuk meluluhkan pendirian Ki Bagus, Soekarno kemudian mengirim
utusan bernama Teuku Muhammad Hassan dan KH Wahid Hasyim agar bisa
melobi Ki Bagus. Namun, keduanya tak mampu meluluhkan pendirian tokoh
senior di Muhammadiyah ketika itu. Akhirnya, dipilihlah Kasman
Singodimedjo yang juga orang Muhammadiyah, untuk melakukan pendekatan
secara personal, sesama anggota Muhammadiyah, untuk melunakkan sikap dan
pendirian Ki Bagus Hadikusumo.
Dalam memoirnya yang berjudul ”Hidup Itu Berjuang“, Kasman menceritakan bahwa ia mendatangi Ki Bagus dan berkomunikasi dengan bahasa Jawa halus (kromo inggil). Kepada Ki Bagus, Kasman membujuk dengan mengatakan,
“Kiai, kemarin proklamasi kemerdekaan Indonesia telah terjadi.
Hari ini harus cepat-cepat ditetapkan Undang-Undang Dasar sebagai dasar
kita bernegara, dan masih harus ditetapkan siapa presiden dan lain
sebagainya untuk melancarkan perputaran roda pemerintahan. Kalau bangsa
Indonesia, terutama pemimpin-pemimpinnya cekcok, lantas bagaimana?!
Kiai, sekarang ini bangsa Indonesia kejepit di antara yang tongol-tongol dan yang tingil-tingil. Yang tongol-tongol ialah balatentara Dai Nippon yang masih berada di bumi Indonesia dengan persenjataan modern. Adapun yang tingil-tingil (yang mau masuk kembali ke Indonesia, pen)
adalah sekutu termasuk di dalamnya Belanda, yaitu dengan persenjataan
yang modern juga. Jika kita cekcok, kita pasti akan konyol.
Kiai, di dalam rancangan Undang-Undang Dasar yang sedang kita musyawarahkan hari ini tercantum satu pasal yang menyatakan bahwa 6 bulan lagi nanti kita dapat adakan Majelis Permusyawaratan Rakyat, justru untuk membuat Undang-Undang Dasar yang sempurna. Rancangan yang sekarang ini adalah rancangan Undang-Undang Dasar darurat. Belum ada waktu untuk membikin yang sempurna atau memuaskan semua pihak, apalagi di dalam kondisi kejepit!
Kiai, di dalam rancangan Undang-Undang Dasar yang sedang kita musyawarahkan hari ini tercantum satu pasal yang menyatakan bahwa 6 bulan lagi nanti kita dapat adakan Majelis Permusyawaratan Rakyat, justru untuk membuat Undang-Undang Dasar yang sempurna. Rancangan yang sekarang ini adalah rancangan Undang-Undang Dasar darurat. Belum ada waktu untuk membikin yang sempurna atau memuaskan semua pihak, apalagi di dalam kondisi kejepit!
Kiai, tidakkah bijaksana jikalau kita sekarang sebagai umat
Islam yang mayoritas ini sementara mengalah, yakni menghapus tujuh kata
termaksud demi kemenangan cita-cita kita bersama, yakni tercapainya
Indonesia Merdeka sebagai negara yang berdaulat, adil, makmur, tenang
tenteram, diridhai Allah SWT.”
Kasman juga menjelaskan perubahan yang diusulkan oleh Mohammad Hatta,
bahwa kata ”Ketuhanan” ditambah dengan ”Ketuhanan Yang Maha Esa”. KH A
Wahid Hasyim dan Teuku Muhammad Hassan yang ikut dalam lobi itu
menganggap Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala,
bukan yang lainnya. Kasman menjelaskan, Ketuhanan Yang Maha Esa
menentukan arti Ketuhanan dalam Pancasila. ”Sekali lagi bukan Ketuhanan
sembarang Ketuhanan, tetapi yang dikenal Pancasila adalah Ketuhanan Yang
Maha Esa,” kata Kasman meyakinkan Ki Bagus.
Kasman juga menjelaskan kepada Ki Bagus soal janji Soekarno yang
mengatakan bahwa enam bulan lagi akan ada sidang Majelis Permusyawaratan
Rakyat untuk membuat undang-undang yang sempurna. Di sanalah nanti
kelompok Islam bisa kembali mengajukan gagasan-gagasan Islam. Karena
Soekarno ketika itu mengatakan, bahwa perubahan ini adalah Undang-Undang
Dasar sementara, Undang-undang Dasar kilat. “Nanti kalau kita telah
bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan
mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat
Undang-Undang yang lebih lengkap dan sempurna,” kata Soekarno.
Para tokoh Islam saat itu menganggap ucapan Soekarno sebagai “janji”
yang harus ditagih. Apalagi, ucapan Soekarno itulah setidaknya yang
membuat Ki Bagus merasa masih ada harapan untuk memasukkan ajaran-ajaran
Islam dalam undang-undang yang lengkap dan tetap nantinya.
”Hanya dengan kepastian dan jaminan enam bulan lagi sesudah Agustus
1945 itu akan dibentuk sebuah Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Majelis
pembuat Undang-Undang Dasar Negara guna memasukkan materi Islam itu ke
dalam undang-undang dasar yang tetap, maka bersabarlah Ki Bagus
Hadikusumo itu untuk menanti,” kenang Kasman dalam memoirnya.
Selain soal jaminan di atas, tokoh-tokoh Islam juga dihadapkan pada
suatu situasi terjepit dan sulit, dimana kalangan sekular selalu
mengatakan bahwa kemerdekaan yang sudah diproklamasikan membutuhkan
persatuan yang kokoh. Inilah yang disebut Kasman dalam memoirnya bahwa
kalangan sekular pintar memanfaatkan momen psikologis, dimana bangsa ini
butuh persatuan, sehingga segala yang berpotensi memicu perpecahan
harus diminimalisir. Dan yang perlu dicatat, tokoh-tokoh Islam yang dari
awal menginginkan negeri ini merdeka dan bersatu, saat itu begitu legowo
untuk tidak memaksakan kehendaknya mempertahankan tujuh kata tersebut,
meskipun begitu pahit rasanya hingga saat ini. Sementara kalangan
sekular-Kristen yang minoritas selalu membuat move politik yang memaksakan kehendak mereka.
Namun sikap toleran dan legowo tokoh-tokoh Islam ternyata dikhianati.
Kasman sendiri akhirnya menyesal telah membujuk dan melobi Ki Bagus
hingga akhirnya tokoh Muhammadiyah itu menerima penghapusan tujuh kata
dalam Piagam Jakarta. Setelah berhasil melobi Ki Bagus, sebagaimana
diceritakan Kasman dalam Memoirnya, ia gelisah dan tidak bisa tidur.
Kepada keluarganya ia tidak bicara, diam membisu. Ia menceritakan dalam
memoirnya,
”Alangkah terkejut saya waktu mendapat laporan dari Cudhanco Latief Hendraningrat, bahwa balatentara Dai Nippon (Jepang, pen)
telah mengepung Daidan, dan kemudian merampas semua senjata dan mesiu
yang ada di Daidan. Selesai laporan, maka Latief Hendraningrat hanya
dapat menangis seperti anak kecil, dan menyerahkan diri kepada saya
untuk dihukum atau diampuni. Nota bene, Latief sebelum itu, bahkan
sebelum memberi laporannya telah meminta maaf terlebih dahulu.
Ya apa mau dibuat! Saya pun tak dapat berbuat apa-apa. Saya mencari
kesalahan pada diri saya sendiri sebelum menunjuk orang lain bersalah.
Ini adalah pelajaran Islam. Memang saya ada bersalah, mengapa saya
sebagai militer kok ikut-ikutan berpolitik dengan memenuhi panggilan Bung Karno!?
….Malamnya tanggal (18 Agustus malam menjelang 19 Agustus 1945) itu
sengaja saya membisu. Kepada keluargapun saya tidak banyak bicara, saya
pun lelah, letih sekali hari itu, lagi pula kesal di hati. Siapa yang
harus saya marahi?”
Kasman mengatakan, ada dua kehilangan besar dalam sejarah bangsa ini ketika itu. Pertama, penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang menjadi Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Kedua, hilangnya sejumlah senjata milik tentara Indonesia dan lain-lainnya yang sangat vital pada waktu itu.
Kasman menyadari dirinya terlalu praktis dan tidak berpikir jauh
dalam memandang Piagam Jakarta. Ia hanya terbuai dengan janji Soekarno
yang mengatakan bahwa enam bulan lagi akan ada sidang Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang akan dapat memperbaiki kembali semua itu.
Padahal dalam waktu enam bulan, mustahil untuk melakukan sidang
perubahan di tengah kondisi yang masih bergolak. Meski Kasman telah
mengambil langkah keliru, namun niat di hatinya sesungguhnya sangat
baik, ingin bangsa ini bersatu.
“Sayalah yang bertanggung jawab dalam masalalah ini, dan semoga Allah
mengampuni dosa saya,” kata Kasman sambil meneteskan air mata, seperti
diceritakan tokoh Muhammadiyah Lukman Harun, saat Kasman mengulang
cerita peristiwa tanggal 18 Agustus itu.
Seolah ingin mengobati rasa bersalah atas penyesalannya pada
peristiwa 18 Agustus 1945, pada sidang di Majelis Konstituante 2
Desember 1957, Kasman tak lagi sekadar menjadi “Singodimejo” tetapi
berubah menjadi “Singa di Podium” yang menuntut kembalinya tujuh kata
dalam Piagam Jakarta dan menolak Pancasila sebagai dasar negara. Dadanya
seperti meledak, ingin menyuarakan aspirasi umat Islam yang telah
dikhianati.
Dengan lantang dan berapi-api ia berpidato, “Saudara ketua,
satu-satunya tempat yang tepat untuk menetapkan Undang-Undang Dasar yang
tetap dan untuk menentukan dasar negara yang tentu-tentu itu ialah
Dewan Konstituante ini! Justru itulah yang menjadi way out
daripada pertempuran sengit di dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia yang telah pula saya singgung dalam pidato saya dalam
pandangan umum babak pertama.
Saudara ketua, saya masih ingat, bagaimana ngototnya almarhum Ki
Bagus Hadikusumo Ketua Umum Pusat Pimpinan Muhammadiyah yang pada waktu
itu sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
mempertahankan Islam untuk dimasukkan dalam muqoddimah dan Undang-Undang
Dasar 1945. Begitu ngotot saudara ketua, sehingga Bung Karno dan Bung
Hatta menyuruh Mr T.M Hassan sebagai putra Aceh menyantuni Ki Bagus
Hadikusumo guna menentramkannya. Hanya dengan kepastian dan jaminan
bahwa 6 bulan lagi sesudah Agustus 1945 kita akan bentuk sebuah Majelis
Permusyawaratan Rakyat dan Majelis Pembuat Undang-Undang Dasar yang
tetap, maka bersabarlah Ki Bagus Hadikusumo untuk menanti.
Saudara ketua, kini juru bicara Islam Ki Bagus Hadikusumo itu telah
meninggalkan kita untuk selama-lamannya, karena telah berpulang ke
rahmatullah. Beliau telah menanti dengan sabarnya, bukan menanti 6 bulan
seperti yang telah dijanjikan kepadanya. Beliau menanti, ya menanti
sampai dengan wafatnya…
Gentlement agreement itu sama sekali tidak bisa dipisahkan
daripada “janji” yang telah diikrarkan oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia kepada kami golongan Islam yang berada dalam
panitia tersebut. Di dalam hal ini Dewan Konstituante yang terhormat
dapat memanggil Mr. T.M Hassan, Bung Karno dan Bung Hatta sebagai saksi
mutlak yang masih hidup guna mempersaksikan kebenaran uraian saya ini…
Saudara ketua, di mana lagi jika tidak di Dewan Konstituante yang
terhormat ini, saudara ketua, di manakah kami golongan Islam menuntut
penunaian “janji” tadi itu? Di mana lagi tempatnya? Apakah Prof Mr
Soehardi mau memaksa kita mengadakan revolusi? Saya persilakan saudara
Prof Mr Soehardi menjawab pertanyaan saya ini secara tegas! Silakan!
Saudara ketua, jikalau dulu pada tanggal 18 Agustus 1945 kami
golongan Islam telah difait-a complikan dengan suatu janji dan/atau
harapan dengan menantikan waktu 6 bulan, menantikan suatu Majelis
Permusyawaratan Rakyat untuk membuat Undang-Undang Dasar yang baru dan
yang permanen, saudara ketua, janganlah kami golongan Islam di Dewan
Konstituante sekarang ini difait-a complikan lagi dengan
anggapan-anggapan semacam: Undang-Undang Dasar Sementara dan Dasar
Negara tidak boleh dirubah, tidak boleh diganti, tidak boleh diganggu
gugat! Sebab fait-a compli semacam itu sekali ini, saudara ketua, hanya
akan memaksa dada meledak!”
Pidato Kasman di Sidang Konstituante yang sangat menyengat
dan mengusulkan Islam sebagai dasar negara sungguh sebuah penebusan
kesalahan yang sangat luar biasa.Dalam pidato tersebut, Kasman secara
detil mengemukakan alasan-alasannya mengapa Islam layak dijadikan dasar
negara, dan mempersilakan golongan lain untuk mengemukakan
alasan-alasannya terhadap Pancasila.
Bagi Kasman, Islam adalah sumber mata air yang tak pernah kering dan
tak akan ada habisnya untuk digunakan sebagai dasar dari NKRI ini, jika
negara ini dilandaskan pada Islam. Sedangkan Pancasila yang dijadikan
dasar negara tak lebih seperti “air dalam tempayan”, yang diambil
diangsur, digali dari “mata air” atau sumber yang universal itu, yaitu
Islam.
Kasman mengatakan, “Ada yang mengira, si penemu—katakan kalau mau,
‘si penggali’ air dalam tempayan itu adalah sakti mandra guna,
dianggapnya hampir-hampir seperti Nabi atau lebih daripada itu, dan
tidak dapat diganggu gugat. Sedang air dalam tempayan itu, lama
kelamaan, secara tidak terasa mungkin, dianggapnya sebagai air yang
keramat, ya sebagai supergeloof (ideologi yang luar biasa, pen) yang tidak dapat dibahas dengan akal manusia, dan yang tidak boleh didiskusikan lagi di Konstituante sini. Masya Allah!”
Begitulah sekelumit kisah di balik penghapusan syariat Islam dalam
naskah Piagam Jakarta. Ada dusta dan khianat dari mereka yang memberi
janji-janji muluk kepada tokoh-tokoh Islam saat itu. Ada upaya-upaya
yang jelas dan tegas untuk memarjinalkan Islam. Menggunting dalam
lipatan, menelikung di tengah jalan, adalah politik yang dilakukan
kelompok-kelompok yang tidak ingin negara ini berlandaskan pada syariat
Islam.
Inilah pelajaran berharga bagi umat Islam, dimana sikap toleran kita
terhadap kelompok minoritas justru dihadiahi janji-janji palsu dan
dusta. Umat Islam harus menagih janji itu, bahwa Piagam Jakarta harus
kembali diberlakukan!
25 June 2012
Artawijaya
Minggu, 24 Juni 2012
Dampak Pendidikan Karakter Terhadap Akademi Anak
Saat
ini mulai marak dibicarakan mengenai pendidikan karakter. Tetapi yang
masih umum diterapkan mengenai pendidikan karakter ini masih pada taraf
jenjang pendidikan pra sekolah (taman bermain dan taman kanak-kanak).
sementara pada jenjang sekolah dasar dan seterusnya masih sangat-sangat
jarang sekali. kurikulum pendidikan di Indonesia masih belum menyentuh
aspek karakter ini, meskipun ada pelajaran pancasila, kewarganegaraan
dan semisalnya, tapi itu masih sebatas teori dan tidak dalam tataran
aplikatif. Padahal jika Indonesia ingin memperbaiki mutu SDM dan segera
bangkit dari ketinggalannya, maka indonesia harus merombak istem
pendidikan yang ada saat ini.
Mungkin banyak yang bertanya-tanya sebenarnya apa sih dampak pendidikan karakter terhadap keberhasilan akademik? Beberapa
penelitian bermunculan untuk menjawab pertanyaan ini. Ringkasan dari
beberapa penemuan penting mengenai hal ini diterbitkan oleh sebuah
buletin, Character Educator, yang diterbitkan oleh Character Education
Partnership. Dalam buletin tersebut diuraikan bahwa hasil studi Dr.
Marvin Berkowitz dari University of Missouri- St. Louis, menunjukan
peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada
sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang
secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukan
penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat
keberhasilan akademik.
Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang
melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan
tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka
pendidikan karakter tidak akan efektif, dan pelaksanaannya pun harus
dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan.
Dengan pendidikan karakter, seorang anak akan menjadi cerdas
emosinya. Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam mempersiapkan
anak menyongsong masa depan, karena dengannya seseorang akan dapat
berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan
untuk berhasil secara akademis.
Sebuah buku yang baru terbit berjudul Emotional Intelligence and
School Success (Joseph Zins, et.al, 2001) mengkompilasikan berbagai
hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap
keberhasilan di sekolah. Dikatakan bahwa ada sederet faktor-faktor
resiko penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor resiko yang
disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada
karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan
bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan
berkomunikasi.
Hal ini sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan
seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan
emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ).
Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan
mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol
emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia
pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa.
Sebaliknya para remaja yang berkarakter atau mempunyai kecerdasan emosi
tinggi akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh
remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas,
dan sebagainya.
Pendidikan karakter di sekolah sangat diperlukan, walaupun dasar dari
pendidikan karakter adalah di dalam keluarga. Kalau seorang anak
mendapatkan pendidikan karakter yang baik dari keluarganya, anak
tersebut akan berkarakter baik selanjutnya. Namun banyak orang tua yang
lebih mementingkan aspek kecerdasan otak ketimbang pendidikan karakter.
Selain itu Daniel Goleman juga mengatakan bahwa banyak orang tua yang
gagal dalam mendidik karakter anak-anaknya entah karena kesibukan atau
karena lebih mementingkan aspek kognitif anak. Namun ini semua dapat
dikoreksi dengan memberikan pendidikan karakter di sekolah. Namun
masalahnya, kebijakan pendidikan di Indonesia juga lebih mementingkan
aspek kecerdasan otak, dan hanya baru-baru ini saja pentingnya
pendidikan budi pekerti menjadi bahan pembicaraan ramai. Ada yang
mengatakan bahwa kurikulum pendidikan di Indonesia dibuat hanya cocok
untuk diberikan pada 10-20 persen otak-otak terbaik. Artinya sebagian
besar anak sekolah (80-90 persen) tidak dapat mengikuti kurikulum
pelajaran di sekolah. Akibatnya sejak usia dini, sebagian besar
anak-anak akan merasa “bodoh” karena kesulitan menyesuaikan dengan
kurikulum yang ada. Ditambah lagi dengan adanya sistem ranking yang
telah “memvonis” anak-anak yang tidak masuk “10 besar”, sebagai anak
yang kurang pandai. Sistem seperti ini tentunya berpengaruh negatif
terhadap usaha membangun karakter, dimana sejak dini anak-anak justru
sudah “dibunuh” rasa percaya dirinya. Rasa tidak mampu yang
berkepanjangan yang akan membentuk pribadi yang tidak percaya diri, akan
menimbulkan stress berkepanjangan. Pada usia remaja biasanya keadaan
ini akan mendorong remaja berperilaku negatif. Maka, tidak heran kalau
kita lihat perilaku remaja kita yang senang tawuran, terlibat
kriminalitas, putus sekolah, dan menurunnya mutu lulusan SMP dan SMU.
Jadi, pendidikan karakter atau budi pekerti plus adalah suatu yang
urgent untuk dilakukan. Kalau kita peduli untuk meningkatkan mutu
lulusan SD, SMP dan SMU, maka tanpa pendidikan karakter adalah usaha
yang sia-sia. Kami ingin mengutip kata-kata bijak dari pemikir besar
dunia.
Mahatma Gandhi memperingatkan tentang salah satu tujuh dosa fatal, yaitu “education without character”(pendidikan tanpa karakter).
Dr. Martin Luther King juga pernah berkata: “Intelligence plus character….that is the goal of true education” (Kecerdasan plus karakter….itu adalah tujuan akhir dari pendidikan sebenarnya).
Juga Theodore Roosevelt yang mengatakan: “To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society” (Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara-bahaya kepada masyarakat)..
O leh:
- Russell T. Williams (Jefferson Center For Character Education-USA)
- Ratna Megawangi (Indonesia Heritage Foundation)
.... BIARKAN HATIMU BICARA ....
Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ...
Suatu ketika, ada seorang pendaki
gunung yang sedang bersiap-siap melakukan perjalanan. Di punggungnya,
ada ransel carrier dan beragam carabiner(pengait) yang tampak
bergelantungan. Tak lupa tali-temali yang disusun melingkar di sela-sela
bahunya. Pendakian kali ini cukup berat,persiapan yang dilakukan pun
lebih lengkap.
Kini, di hadapannya menjulang sebuah gunung yang
tinggi. Puncaknya tak terlihat, tertutup salju yang putih. Ada awan
berarak-arak disekitarnya, membuat tak seorangpun tahu apa yang
tersembunyi didalamnya. Mulailah pendaki muda ini melangkah, menapaki
jalan-jalan bersalju yang terbentang di hadapannya. Tongkat berkait yang
di sandangnya, tampak menancap setiap kali ia mengayunkan langkah.
Setelah beberapa berjam-jam berjalan, mulailah ia menghadapi dinding
yang terjal. Tak mungkin baginya untuk terus melangkah. Dipersiapkannya
tali temali dan pengait di punggungnya. Tebing itu terlalu curam, ia
harus mendaki dengan tali temali itu. Setelah beberapa kait
ditancapkan,tiba-tiba terdengar gemuruh yang datang dari atas. Astaga,
ada badai salju yang datang tanpa disangka.
Longsoran salju
tampak deras menimpa tubuh sang pendaki. Bongkah-bongkah salju yang
mengeras, terus berjatuhan disertai deru angin yang membuat tubuhnya
terhempas-hempas ke arah dinding.
Badai itu terus berlangsung
selama beberapa menit. Namun, untunglah,tali-temali dan pengait telah
menyelamatkan tubuhnya dari dinding yang curam itu. Semua
perlengkapannya telah lenyap, hanya ada sebilah pisau yang ada di
pinggangnya.
Kini ia tampak tergantung terbalik di dinding yang
terjal itu. Pandangannya kabur, karena semuanya tampak memutih. ia tak
tahu dimana ia berada. Sang pendaki begitu cemas, lalu ia
berkomat-kamit, memohon doa kepada Tuhan agar diselamatkan dari bencana
ini. Mulutnya terus bergumam, berharap ada pertolongan Tuhan datang
padanya.
Suasana hening setelah badai. Di tengah kepanikan itu,
tampak terdengar suara dari hati kecilnya yang menyuruhnya melakukan
sesuatu. “Potong tali itu…. potong tali itu. Terdengar senyap melintasi
telinganya. Sang pendaki bingung, apakah ini perintah dari Tuhan? Apakah
suara ini adalah pertolongan dari Tuhan?
Tapi bagaimana
mungkin, memotong tali yang telah menyelamatkannya, sementara dinding
ini begitu terjal? Pandanganku terhalang oleh salju ini, bagaimana aku
bisa tahu? Banyak sekali pertanyaan dalam dirinya. Lama ia merenungi
keputusan ini, dan ia tak mengambil keputusan apa-apa…
Beberapa
minggu kemudian, seorang pendaki menemukan ada tubuh yang tergantung
terbalik di sebuah dinding terjal. Tubuh itu tampak membeku,dan tampak
telah meninggal karena kedinginan. Sementara itu, batas tubuh itu dengan
tanah, hanya berjarak 1 meter saja….
***
Sahabat,
mungkin kita akan berkata, betapa bodohnya pendaki itu, yang tak mau
menuruti kata hatinya. Kita mungkin akan menyesalkan tindakan pendaki
itu yang tak mau memotong saja tali pengaitnya. Pendaki itu tentu akan
bisa selamat dengan membiarkannya terjatuh ke tanah yang hanya berjarak 1
meter. Ia tentu tak harus mati kedinginan karena tali itulah yang
justru membuatnya terhalang.
Begitulah, kadang kita berpikir,
mengapa Sang Pencipta tampak tak melindungi hamba-Nya? Kita mungkin
sering merasa, mengapa ada banyak sekali beban,masalah, hambatan yang
kita hadapi dalam mendaki jalan kehidupan ini.
Kita sering mendapati
ada banyak sekali badai-badai salju yang terus menghantam tubuh kita.
Mengapa tak disediakan saja, jalan yang lurus,tanpa perlu menanjak, agar
kita terbebas dari semua halangan itu?
Namun sahabat, cobaan
yang diberikan Sang Pencipta buat kita, adalah latihan,adalah ujian,
adalah layaknya besi-besi yang ditempa, adalah seperti pisau-pisau yang
terus diasah. Sesungguhnya, di dalam semua ujian, dan latihan itu,ada
tersimpan petunjuk-petunjuk, ada tersembunyi tanda-tanda, asal KITA
PERCAYA. Ya, asal kita percaya.
Seberapa besar rasa percaya
kita kepada Sang Pencipta, sehingga mampu membuat kita “memotong tali
pengait” saat kita tergantung terbalik? Seberapa besar rasa percaya kita
kepada Sang Pencipta, hingga kita mau menyerahkan semua yang ada dalam
diri kita kepada-Nya?
Karena percaya adanya di dalam hati, maka tanamkan terus hal itu dalam kalbumu.
Karena rasa percaya tersimpan dalam hati,maka penuhilah nuranimu dengan kekuatan itu.
Sahabat-ku, percayalah, akan ada petunjuk-petunjuk Sang Pencipta dalam
setiap langkah kita menapaki jalan kehidupan ini. Carilah, gali, dan
temukan rasa percaya itu dalam hatimu. Sebab, saat kita telah percaya,
maka petunjuk itu akan datang dengan tanpa disangka.
Kurikulum Pendidikan Karakter
Apa Itu Karakter?
Dennis Coon dalam bukunya Introduction to Psychology : Exploration and Aplication mendefinisikan karakter sebagai suatu penilaian subyektif terhadap kepribadian seseorang yang berkaitan dengan atribut kepribadian yang dapat atau tidak dapat diterima oleh masyarakat. Karakter adalah jawaban mutlak untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik didalam masyarakat.
Beda Karakter dan Kepribadian (Sifat Dasar)
Kepribadian adalah hadiah dari Tuhan Sang Pencipta saat manusia dilahirkan dan setiap orang yang memiliki kepribadian pasti ada kelemahannya dan kelebihannya di aspek kehidupan sosial dan masing-masing pribadi. Kepribadian manusia secara umum ada 4, yaitu : Koleris – Sanguinis – Phlegmatis – Melankolis.
Nah, Karakternya dimana? Saat setiap manusia belajar untuk mengatasi dan memperbaiki kelemahannya, serta memunculkan kebiasaan positif yang baru, inilah yang disebut dengan Karakter. Misalnya, seorang dengan kepribadian Sanguin yang sangat suka bercanda dan terkesan tidak serius, lalu sadar dan belajar sehingga mampu membawa dirinya untuk bersikap serius dalam situasi yang membutuhkan ketenangan dan perhatian fokus, itulah Karakter.
Mengapa Seorang Anak Butuh Pendidikan Karakter?
Pada dasarnya, pada perkembangan seorang
anak adalah mengembangkan pemahaman yang benar tentang bagaimana dunia
ini bekerja, mempelajari ”aturan main” segala aspek yang ada di dunia
ini . Anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter apabila
dapat tumbuh pada lingkungan yang berkarakter
Ada 3 Cara Mendidik Karakter Anak:
1. Ubah Lingkungannya, melakukan pendidikan karakter dengan cara menata peraturan serta konsekuensi di sekolah dan dirumah.
2. Berikan Pengetahuan, memberikan pengetahuan bagaimana melakukan perilaku yang diharapakan untuk muncul dalam kesehariannya serta diaplikasikan.3. Kondisikan Emosinya, emosi manusia adalah kendali 88% dalam kehidupan manusia. Jika mampu menyentuh emosinya dan memberikan informasi yang tepat maka informasi tersebut akan menetap dalam hidupnya.
Karakter apa yang perlu ditumbuhkan dan dibentuk dalam diri anak?
- Karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya
- Kemandirian dan Tanggung Jawab
- Kejujuran atau Amanah, Diplomatis
- Hormat dan Santun
- Dermawan, Suka Tolong Menolong & Gotong Royong
- Percaya Diri dan Pekerja Cerdas
- Kepemimpinan dan Keadilan
- Baik dan Rendah Hati
- Karakter Toleransi, Kedamaian dan Kesatuan.
Saat ini kami memiliki 3 program pendidikan karakter yang menjadi fokus dari kurikulum kami, yaitu :
1. Training Guru
Terkait dengan program pendidikan karakter disekolah, bagaimana menjalankan dan melaksanakan pendidikan karakter disekolah, serta bagaimana cara menyusun program dan melaksanakannya, dari gagasan ke tindakan.
Program ini membekali dan memberikan wawasan pada guru
tentang psikologi anak, cara mendidik anak dengan memahami mekanisme
pikiran anak dan 3 faktor kunci untuk menciptakan anak sukses, serta
kiat praktis dalam memahami dan mengatasi anak yang “bermasalah” dengan perilakunya.
2. Program Kurikulum Pendidikan Karakter
Kami memberikan sistem pengajaran dan materi yang lengkap (untuk 1 tahun ajaran) serta detail dan aplikasi untuk sekolah dan materi untuk orang tua
murid. Materi ini telah diuji coba lebih dari 5 tahun, disamping itu
dalam program ini ada pendampingan dan training khusus untuk guru.
Training khusus guru ini dikhususkan untuk menciptakan suksesnya pendidikan karakter disekolah, disamping pemberian materi yang “advance” dari program training guru pertama. Karena disini para guru
akan mempelajari aspek psikologi manusia (bukan hanya anak, tetapi
untuk dirinya sendiri) dan menanamkan nilai-nilai kehidupan yang baik
pada dirinya, murid dan keluarga. Guru akan memiliki “tools” untuk membantu menciptakan anak yang berkarakter lebih baik.
3. Program Bimbingan Mental
Program ini terbagi menjadi dua sesi program :
Sesi Workshop Therapy,
yang dirancang khusus untuk siswa usia 12 -18 tahun. Workshop ini
bertujuan mengubah serta membimbing mental anak usia remaja. Workshop
ini bekerja sebagai “mesin perubahan instant” maksudnya setelah mengikuti program ini anak didik akan berubah seketika menjadi anak yang lebih positif.
Sesi Seminar Khusus Orangtua Siswa,
membantu orangtua mengenali anaknya dan memperlakukan anak dengan lebih
baik, agar anak lebih sukses dalam kehidupannya. Dalam seminar ini
orangtua akan mempelajari pengetahuan dasar yang sangat bagus untuk
mempelajari berbagai teori psikologi anak dan keluarga. Memahami konsep
menangani anak di rumah dan di sekolah, serta lebih mudah mengerti dan memahami jalan pikiran anak, pasangan dan orang lain.
Kita sebagai orang tua seringkali mengikutkan anak kita berbagai macam les tambahan di luar sekolah seperti les matematika, les bahasa inggris, les fisika dan lain-lain. Saya yakin hal ini kita dilakukan untuk mendukung anak agar tidak tertinggal atau menjadi yang unggul di sekolah. Bahkan, terkadang ide awal mengikuti les tersebut tidak datang dari si anak, namun datang dari kita sebagai orang tua. Benar tidak?
Memang, saat ini kita menganggap tidak cukup jika anak kita hanya belajar di sekolah
saja, sehingga kita mengikutkan anak kita bermacam-macam les. Kita
ingin anak kita pintar berhitung, kita ingin anak kita mahir berbahasa
inggris, kita juga ingin anak kita jago fisika dan lain sebagainya.
Dengan begitu, anak memiliki kemampuan kognitif yang baik.
Ini tiada lain karena, pendidikan yang diterapkan di sekolah-sekolah
juga menuntut untuk memaksimalkan kecakapan dan kemampuan kognisi.
Dengan pemahaman seperti itu, sebenarnya ada hal lain dari anak yang tak
kalah penting yang tanpa kita sadari telah terabaikan. Apa itu? Yaitu
memberikan pendidikan karakter pada anak didik. Saya mengatakan hal ini bukan berarti pendidikan kognitif tidak penting, bukan seperti itu!
Maksud saya, pendidikan karakter
penting artinya sebagai penyeimbang kecakapan kognitif. Beberapa
kenyataan yang sering kita jumpai bersama, seorang pengusaha kaya raya
justru tidak dermawan, seorang politikus malah tidak peduli pada
tetangganya yang kelaparan, atau seorang guru justru tidak prihatin melihat anak-anak jalanan yang tidak mendapatkan kesempatan belajar di sekolah. Itu adalah bukti tidak adanya keseimbangan antara pendidikan kognitif dan pendidikan karakter.
Ada sebuah kata bijak mengatakan, ilmu tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh. Sama juga artinya bahwa pendidikan kognitif tanpa pendidikan karakter
adalah buta. Hasilnya, karena buta tidak bisa berjalan, berjalan pun
dengan asal nabrak. Kalaupun berjalan dengan menggunakan tongkat tetap
akan berjalan dengan lambat. Sebaliknya, pengetahuan karakter
tanpa pengetahuan kognitif, maka akan lumpuh sehingga mudah disetir,
dimanfaatkan dan dikendalikan orang lain. Untuk itu, penting artinya
untuk tidak mengabaikan pendidikan karakter anak didik. Lalu apa sih pendidikan karaker itu?
Jadi, Pendidikan karakter adalah pendidikan yang menekankan pada pembentukan nilai-nilai karakter pada anak didik. Saya mengutip empat ciri dasar pendidikan karakter yang dirumuskan oleh seorang pencetus pendidikan karakter dari Jerman yang bernama FW Foerster. Pertama, pendidikan karakter
menekankan setiap tindakan berpedoman terhadap nilai normatif. Anak
didik menghormati norma-norma yang ada dan berpedoman pada norma
tersebut. Kedua, adanya koherensi atau membangun rasa percaya diri dan
keberanian, dengan begitu anak didik akan menjadi pribadi yang teguh
pendirian dan tidak mudah terombang-ambing dan tidak takut resiko setiap
kali menghadapi situasi baru. Ketiga, adanya otonomi, yaitu anak didik
menghayati dan mengamalkan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai
bagi pribadinya. Dengan begitu, anak didik mampu mengambil keputusan mandiri
tanpa dipengaruhi oleh desakan dari pihak luar. Keempat, keteguhan dan
kesetiaan. Keteguhan adalah daya tahan anak didik dalam mewujudkan apa
yang dipandang baik. Dan kesetiaan marupakan dasar penghormatan atas
komitmen yang dipilih.
Pendidikan karakter penting bagi pendidikan di Indonesia. Pendidikan karakter akan menjadi basic atau dasar dalam pembentukan karakter
berkualitas bangsa, yang tidak mengabaikan nilai-nilai sosial seperti
toleransi, kebersamaan, kegotongroyongan, saling membantu dan mengormati
dan sebagainya. Pendidikan karakter akan melahirkan pribadi unggul yang tidak hanya memiliki kemampuan kognitif saja namun memiliki karakter yang mampu mewujudkan kesuksesan.
Berdasarkan penelitian di Harvard
University Amerika Serikat, ternyata kesuksesan seseorang tidak
semata-mata ditentukan oleh pengetahuan dan kemampuan teknis dan
kognisinyan (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola
diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan,
kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen hard skill dan sisanya 80
persen oleh soft skill. Dan, kecakapan soft skill ini terbentuk melalui
pelaksanaan pendidikan karater pada anak didik.
Berpijak pada empat ciri dasar pendidikan karakter di atas, kita bisa menerapkannya dalam pola pendidikan yang diberikan pada anak
didik. Misalanya, memberikan pemahaman sampai mendiskusikan tentang hal
yang baik dan buruk, memberikan kesempatan dan peluang untuk
mengembangkan dan mengeksplorasi potensi dirinya serta memberikan
apresiasi atas potensi yang dimilikinya, menghormati keputusan dan
mensupport anak dalam mengambil keputusan terhadap dirinya, menanamkan pada anak
didik akan arti keajekan dan bertanggungjawab dan berkomitmen atas
pilihannya. Kalau menurut saya, sebenarnya yang terpenting bukan
pilihannnya, namun kemampuan memilih kita dan pertanggungjawaban kita
terhadap pilihan kita tersebut, yakni dengan cara berkomitmen pada
pilihan tersebut.
Pendidikan karakter hendaknya dirumuskan dalam kurikulum, diterapkan metode pendidikan, dan dipraktekkan dalam pembelajaran. Selain itu, di lingkungan keluarga dan masyarakat sekitar juga sebaiknya diterapkan pola pendidikan karakter. Dengan begitu, generasi-generasi Indonesia nan unggul akan dilahirkan dari sistem pendidikan karakter.
Salam
Timothy Wibowo
19. Pendidikan Karakter Dari Seorang Ayah
“Satu Ayah lebih berharga dari 100 guru disekolah” – George Herbert
Ada sebuah kisah, tentang seorang ayah
yang sudah terpisah lama dengan anaknya. Karena suatu hal, sang anak
lari dari rumah dan sang ayah mencarinya selama berbulan-bulan tanpa
hasil. Akhirnya munculah ide dari sang ayah, untuk memasang iklan di
Koran, surat kabar yang paling besar dan terkenal se Ibukota. Bunyi
iklan tersebut: “Pato sayang, temui aku di depan kantor surat kabar ini,
jam 12 siang hari sabtu ini. Semua sudah aku ampuni, aku mengasihimu
nak”. Lalu hari yang di tunggu tiba, ternyata ada 800 orang bernama Pato
berkumpul mencari pengampunan dari seorang ayah yang sangat mengasihi.
Data dari statistic mengatakan bahwa
orang yang bertumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah akan tumbuh dengan
kelainan perilaku, kecenderungan bunuh diri dan menjadi criminal yang
kejam. Sekitar 70% para penghuni penjara dengan hukuman seumur hidup
adalah orang yang bertumbuh tanpa ayah (tanpa kedekatan emosional dari
ayahnya).
Ada 2 hal penting rahasia sukses dari seorang ayah yang bisa diturunkan kepada anaknya. Apa itu?
1. Pelajaran Untuk Survival. Dari ayah kita akan belajar
mengenai pelajaran yang sangat kompleks tentang bertahan hidup. Kenapa
kompleks, sebab banyak hal yang perlu di “jaga” kestabilannya dalam
hidup. Dalam keluarga, bagaimana ayah berperan dalam keluarga,
memperlakukan ibu kita – yang kelak akan kita contoh dan duplikasi
kepada pasangan kita. Membantu membesarkan hati anak jika ada masalah –
kelak akan kita lakukan juga pada anak kita (ingat menjadi orangtua tidak ada sekolahnya, kita hanya mencontoh apa yang orang tua
kita lakukan kepada kita). Kehidupan ekonomi keluarga, bagaimana ayah
berperan dalam hal memenuhi kebutuhan keluarga. Dalam hal bertahan hidup
kita akan belajar dari seorang ayah.
2. Masalah Karir. Yang satu ini adalah penting jika
kita ingin sukses secara financial dan karir, maka perbaiki hubungan
kita dengan ayah (bagi yang sudah besar) bagi kaum ayah muda,
berelasilah dengan baik dengan anak anda. Kenapa? Dari seorang ayah,
akan “diturunkan” kemampuan berkarir dan mendapatkan kemudahan dalam
karir. Ingat yang point pertama, secara mendasar kita belajar
survival dan dalam urusan bekerja seorang ayah adalah “mesin pencetak
uang”. Relasi yang baik antara ayah dan anak akan sangat membantu sang
anak untuk menuai sukses dikemudian hari saat dia memasuki dunia kerja.
Banyak klien saya yang hubungan dan
relasinya hancur dengan sang ayah sejak lama, kemudian dengan segala
kerendahan hatinya memulai hubungan yang baru dan saling memaafkan maka
rejekinya juga berubah. Disamping itu juga Doa seorang ayah untuk
anaknya bagaikan “turbo” untuk kesuksesan seorang anak. Bahkan doa yang
benar-benar dilakukan seorang ayah, mampu mengubah karir seorang anak
jauh melampaui karirnya sang ayah. Banyak kasus terjadi di dalam ruang
terapi saya, pekerjaan yang buntu hanya perlu berbaikan pada sang ayah.
Mudah bukan?
Figur seorang Ayah adalah figur yang
sangat penting dijaman sekarang ini. Karena banyak sekali anak yang
kehilangan figur seorang ayah dan mencari perhatian ayahnya dengan
melakukan apa yang kita sebut “kenakalan”.
“Kulakukan ini semua untuk keluarga”
adalah jawaban klasik yang muncul di mulut kebanyakan ayah, “saya
bekerja untuk siapa kalau bukan untuk keluarga”, tetapi yang sering
terjadi adalah keluarga menjadi korban. Maunya yang terbaik buat
keluarga tetapi keluarga jadi korbannya kelak dan dimasa tuanya terjadi
kebingungan, kenapa keluarga kok amburadul semua, “salah dimana?” Ya
tentunya anda sekalian tahu dimana letak salahnya, bukan.
Seorang manusia, akan mempunyai
kehidupan yang maksimal jika “dia diampuni dan mau mengampuni”. Ini
adalah dasarnya. Bagi anda seorang ayah, maukah anda mengampuni anak dan
minta maaf kepada anak untuk kebaikannya kelak dikehidupan masa depan?
Dan anda sendiri sebagai ayah akan menjadi ayah yang sangat maksimal
bagi keluarga dan lingkungan sekitar anda.
Para Ayah, anda sangat dirindukan dan
dibutuhkan anak-anak anda untuk bekal kehidupan di masa depannya. Jangan
habiskan seluruh energy dan waktu di tempat kerja, sehingga waktu
dirumah hanyalah sisa energy dan duduk menonton tv atau membaca koran.
Seorang anak perlu pelukan dan telinga dari ayahnya untuk mendengar,
mengerti apa yang diceritakan sang anak.
Ajarkan kebenaran tentang moral dan
sopan santun dan tentunya para ayah tidak akan menyesal kelak dalam
kehidupan dewasa sang anak akan mengamalkan didikan dari sang ayah.
“Seorang ayah mampu membantu menggerakan
perekonomian dunia dan mensejaterahkan kehidupan yang lebih layak untuk
kehidupan di BUMI ini” – Timothy Wibowo.
Salam
Timothy Wibowo
18. Bagaimana Membentuk Karakter Mandiri Pada Anak
Permasalahan kali ini yang saya ingin bahas adalah permasalahan seorang anak yang manja dan kurang mandiri. Orang tua
sering mengeluhkan kepada saya. Aduh anak saya ini kurang mandiri,
gimana caranya ya membuat dia mandiri. Kayaknya dia ini terlalu manja
dech. Saya dulu dibesarkan orang tua
dengan ekonomi yang pas-pasan. Akhirnya saya jadi berjuang sendiri
untuk melakukan segala sesuatu. Anak saya ini sepertinya terlalu enak.
Biasanya ketika orang tua
mulai mengeluhkan seperti itu, saya hanya berbalik menanyakan kepada
mereka. “Pak, Bu.. sebenarnya Anda sudah tahu kan jawabannya harus
bagaimana?”, “Lho maksud Anda bagaimana?” Mereka balik bertanya, “tadi
Bapak Ibu sudah mengatakan bahwa ketika Anda dulu di besarkan pas-pasan
dan Anda harus melakukannya semua sendiri. Dan anak Anda sekarang
terlalu nyaman karena semua sudah Anda sediakan. Justru itulah
permasalahannya, Anda menyediakan segala sesuatunya bagi anak Anda tanpa
membuat dia berjuang. Anda sudah tahu permasalahannya tapi Anda masih
lakukan”. Mereka mulai menyadari permasalahannya sekarang. “Tapi
bagaimana lagi kan kasihan? Daripada dia repot-repot”. Justru itulah
permasalahannya, kita tidak mau membuat anak kita repot. Sebenarnya itu
tidak membuat anak kita repot. Sebenarnya itu untuk latihan yang perlu
di jalaninya agar dia bisa mengembangkan dirinya.
Anak-anak yang kurang mandiri dan manja,
adalah anak-anak yang tidak mengembangkan otonominya. Anda perlu tahu
bahwa pada satu tahap perkembangan anak, mereka mempunyai sebuah tahap
dimana mereka ingin otonomi lebih besar. Ini dimulai ketika mereka
berusia 2 atau 3 tahun. Dia ingin melakukan sesuatu saat itu. Tetapi
biasanya kita orang tua
terkadang terlalu melindungi anak. Ketika dia ingin memanjat kursi,
kita larang dia, “jangan nanti jatuh”. Ketika dia memegang sesuatu tidak
kita perbolehkan karena takut pecah dan lain sebagainya. Nah, akhirnya
anak ini menjadi pasif dan hanya menunggu apa yang kita berikan atau apa
yang diberikan oleh pengasuhnya. Ketika hal ini terjadi bertahun-tahun
maka kita sudah mulai membentuk sebuah pola dalam diri anak kita. Untuk
menjadi pasif dan tidak mandiri. Cobalah Anda memberikan sebuah latihan
agar anak-anak mengerjakan sendiri.
Jika Anda mempunyai anak yang sudah
menginjak kelas 1 SD, sebaiknya jangan bawakan tasnya ketika dia turun
dari mobil. Anda mungkin berpendapat, “aduh.. saya kan harus berangkat
kerja, kalau tunggu dia lama banget”. Itu tidak boleh di lakukan. Anda
bisa berangkat lebih awal jika Anda tahu itu akan membuat Anda terlambat
dan biarkan dia bawa tasnya sendiri masuk ke kelasnya. Jangan hanya
karena kita tidak mau repot akhirnya “udah sini tak bawain sudah masuk
di kelas”. Itulah hal-hal kecil yang membuat anak Anda jadi kurang
mandiri. Jika dia sudah bisa mengembalikan piring yang dia gunakan untuk
makan ke tempat cucian, biar dia melakukannya. “Lho.. kalau begitu apa
gunanya pembantu yang saya bayar”. Justru itulah masalahnya Anda tidak
memberikan kesempatan anak Anda untuk mengembangkan dirinya. Semua itu
perlu latihan. Anda tidak bisa membuat seorang anak mandiri tanpa sebuah
proses. Sama seperti ketika dulu kita di besarkan oleh kondisi susah payah oleh orang tua kita. Saat itu orang tua
kita mungkin tidak sengaja melakukan hal tersebut pada kita. Bahkan
mungkin mereka merasa bersalah karena tidak bisa melayani kita sebaik
mungkin. Tetapi justru itulah yang baik ternyata bagi kita, bagi
perkembangan kita. Kita akhirnya menjadi seorang yang mandiri. Dan
kemudian ketika kita sekarang sudah menjadi orang yang berhasil kita
tidak melakukan itu pada anak, dengan alasan kasian.
Para pembaca yang budiman, inilah permasalahannya kita harus melatih anak kita untuk memiliki karakter
mandiri. Kita harus memberikan kesempatan pada mereka seluas-luasnya
untuk mengembangkan diri dengan mengerjakan banyak hal kecil-kecil yang
sangat-sangat berguna bagi perkembangan karakternya. Ketika seorang
anak mengembalikan piring makannya di tempatnya, mengangkat tasnya
sendiri, mengembalikan sepatunya pada saat dia telah selesai pakai, atau
melakukan kegiatan kecil-kecil maka si anak akan merasakan sebuah harga
diri yang positif. Dia akan merasa bahwa dirinya sejajar dengan orang
dewasa yang melakukan hal-hal tersebut. Ini akan membuat percaya dirinya
melambung tinggi. Oleh karena itu berikanlah kesempatan ini pada
anak-anak anda. Anda tidak akan pernah kecewa melihat mereka bertumbuh
dan berkembang dengan semangat kemandirian ketika mereka mulai menginjak masa-masa remaja.
Jadi pastikanlah Anda memberikan suatu
kesempatan pada anak Anda untuk melakukan apa-apa yang dia telah mampu
lakukan. Itulah kunci untuk membantu seorang anak memiliki karakter mandiri, percaya diri dan mampu mengerjakan segala sesuatu dengan tanggung jawab penuh.
Salam
Timothy Wibowo
16. Cara Ampuh Mengatasi Persaingan Antar Saudara
Jika Anda punya anak tunggal tentu tidak
akan mengalami masalah ini. Tetapi jika Anda punya 2 orang anak atau
bahkan lebih, maka ini adalah sesuatu yang bisa membuat kepala Anda
pusing, bahkan bisa membuat Anda histeris mungkin. Banyak orang tua
sering mengeluhkan, saya nggak abis pikir dia itu bisa mengirikan
kakaknya atau bagaimana dia bisa mengirikan adiknya. “Kan saya sudah
berlaku adil terhadap mereka” ungkap orang tua
pada umumnya. Anda tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan masalah
ini? Persaingan antar saudara mau tidak mau pasti terjadi. Ini adalah
sebuah masalah untuk menunjukkan jati diri dari masing-masing anak.
Setiap manusia bahkan anak-anak ingin dirinya dianggap sebagai sosok
individu yang special. Nah,inilah yang terjadi pada anak-anak kita.
Seorang kakak dipuji karena ia pandai
menggambar misalkan, pandai berhitung misalkan. Nah, si adik tentunya
juga ingin dipuji, tetapi bukan terhadap hal yang sama mungkin. Mungkin
ia akan merasa bahwa, “ah.. saya tidak mungkin bersaing disitu karena
kakak saya lebih bagus” atau “adik saya lebih bagus”. Maka ia akan
mencari bidang yang lain. Jika Anda tidak tanggap terhadap hal ini,
inilah yang akan memicu persaingan itu jadi semakin sengit. Seringkali orang tua
mengatakan “aduh..hebatnya kamu”. Nah, ketika ia mengatakan ini di
depan adik atau kakak maka adik atau kakak tersebut bisa jadi akan
merasa tersinggung, “Koq dia yang dipuji, saya koq tidak”.Bagaimana
mengatasi hal ini? Inilah caranya:
1. Sederhana sekali, misalkan Anda
berhadapan dengan anak nomor 1 dan Anda ingin memuji dia. Anda bisa
mengatakan seperti ini, “Wah.. hebat nih, bagus sekali gambar kamu, sama
ya seperti juga gambar adik”. Anda memuji anak Anda yang nomor 1,
tetapi Anda juga memuji adiknya. Atau sebaliknya Anda berhadapan dengan
anak Anda yang nomor 2 dan di dekatnya ada anak nomor 1. Anda
mengatakan, “nah.. ini nih baru anak mama hebat sama seperti kakaknya”.
Kebanyakan yang di lakukan para orang tua
adalah memuji secara personal anak yang bersangkutan. Misalkan seorang
adik bisa menyelesaikan sebuah tugas dengan baik, kebanyakan orang tua
langsung memujinya “nah.. gitu hebat”. Nah, jika anak yang pertama Anda
diam, bukan berarti dia tidak punya perasaan apapun disana. Jika ini
sering terjadi dibawah sadarnya dia akan merasa bahwa, “ah.. papa atau
mama sayangnya hanya sama adik, sama saya tidak”. Ini bisa terjadi, jadi
berhati-hatilah terhadap hal tersebut. Jika Anda memuji anak Anda,
pastikan jika ada anak lain disana puji anak tersebut secara tidak
langsung. Jika tidak ada anak lainnya Anda boleh sampaikan pujian Anda
secara personel pada anak tersebut.
2. Masalah yang lain adalah kurangnya
waktu pribadi dengan masing-masing anak. Suatu hari saat selesai sebuah
seminar, seorang bapak menghampiri saya dan mengatakan bahwa dia punya
permasalahan untuk mengatasi persaingan antara anak-anaknya. Dia punya 2
orang anak dan dia mengatakan bahwa dia sudah bersikap adil pada mereka
semua. Bahkan mereka selalu keluar bersama-sama sebagai sebuah
keluarga, tetapi mengapa hal ini masih bisa terjadi. Kemudian saya
bertanya pada sang bapak ini. “Pak, apakah bapak pernah mengajak salah
seorang anak saja untuk pergi keluar bersama bapak sendiri. Atau mungkin
bersama bapak dan ibu”. “Itu tak pernah terjadi selama 13 tahun saya
menikah dan saya berkeluarga. Kita selalu pergi bersama-sama”. Nah,
inilah masalahnya. “Loh.. koq bisa?” kata bapak itu terkejut, mungkin
Anda bisa juga mengatakan oh.. bukankah itu juga hal yang bagus? Keluar
bersama-sama sebagai sebuah keluarga. Bukankah itu menjalin sebuah
kebersamaan. Ya, itu memang menjalin sebuah kebersamaan, tetapi anak
Anda juga memerlukan sesuatu yang lain lagi. Dia ingin dianggap sebagai
individu yang special. Ketika Anda keluar hanya dengan salah satu anak
saja, katakanlah dengan anak nomor 1 saja kali ini, maka dia akan merasa
bahwa dirinya special. Ia akan merasa bahwa dirinya adalah yang
diperhatikan untuk saat itu. Lain kali Anda keluar dengan anak nomor 2
saja dan dia akan merasa bahwa dia juga diperhatikan. Karena sebagai
anak nomor 2, hal yang yang sering terjadi adalah dia akan selau merasa
sebagai nomor 2, karena memang itulah kenyataannya. Dia tidak akan
pernah merasakan kapan jadi nomer 1. Nah, sampai dia tua pun si kakak
pasti jadi nomor 1 dan ia jadi nomor 2, bukankah seperti itu. Karena itu
Anda perlu mengantisipasi perasaan ini, dengan cara menjadikannya nomor
1 pada satu waktu tertentu. Ajak dia keluar, istimewakan dia, buat dia
merasa bahwa “yes.. sekarang saya nomor 1″. Imbangi dengan sebuah
nasehat bahwa kakaknya juga penting. Katakan kepada anak Anda yang nomor
2 misalkan pada saat Anda mungkin mengajaknya makan di restaurant,
“hey.. kalau kita belikan kakak makanan kesukaanya bagaimana? nanti kamu
yang kasih oke”. Disini Anda membuatnya merasa penting, tetapi Anda
juga membuatnya untuk mempunyai rasa perduli pada saudaranya sendiri.
Nah, itu adalah hal-hal yang kecil yang
anda perlu lakukan agar persaingan-persaingan seperti ini tidak mencuat
jadi sebuah isu yang panas di keluarga Anda. Lakukan hal ini sejak
mereka masih kecil. Wah kalau anak saya sudah besar sekarang bagaimana?
Anda masih punya waktu untuk melakukannya sekarang. Perbaiki semuanya
dan Anda akan melihat hubungan mereka akan jauh lebih baik lagi dan
sebagai sebuah keluarga akan sangat kokoh dan sangat kuat.
Salam
Timothy Wibowo
15. Peran Pola Asuh Dalam Membentuk Karakter Anak
“Jangan mengkuatirkan bahwa anak-anak tidak mendengarkan Anda, kuatirkanlah bahwa mereka selalu mengamati Anda” – Robert Fulghum
Berhasil mendidik anak-anak dengan baik adalah impian semua guru dan orang tua. Setiap guru
dan orang tua pasti ingin agar anaknya bisa sukses dan bahagia, namun
apakah pada kenyataannya semudah itu? Mayoritas orangtua pernah
mengalami kesulitan dalam mendidik buah hati tercinta
Para guru dan orang tua, ijinkan saya bertanya kepada Anda… Pernahkan
kita berpikir bahwa program negatif yang (mungkin) secara tidak sengaja
kita tanamkan ke pikiran bawah sadar anak kita, akan terus mendominasi
dan mengendalikan hidupnya – membuatnya jadi berantakan di masa depan?
Jika mau jujur melakukan evaluasi pada diri sendiri, bisa jadi kita
semua termasuk saya sebagai orang tua telah dan sedang melakukan hal ini
terhadap anak-anak kita.
Mengutip apa yang diungkapkan Dorothy Law Nollte:
Jika anak dibesarkan dengan celaan, maka ia belajar memaki
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, maka ia belajar berkelahi
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, maka ia belajar rendah diri
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, maka ia belajar menyesali diri
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, maka ia belajar mengendalikan diri
Jika anak dibesarkan dengan motivasi, maka ia belajar percaya diri
Jika anak dibesarkan dengan kelembutan, maka ia belajar menghargai
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, maka ia belajar percaya
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, maka ia belajar menghargai diri sendiri
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, maka ia belajar menemukan kasih dalam kehidupannya
Jujur sejak saya menikah, saya beruntung
sekali memiliki istri yang peduli dengan perkembangan anak kami. Kami
saling mengingatkan ucapan yang keluar dari mulut kami dan sikap serta
perilaku kami yang “berbahaya” bagi anak kita. Kita sadar betul anak
tidak perlu diajarkan sesuatu melalui komunikasi, hanya melihat saja
maka itu sudah belajar dan direkam di otaknya. Kami sangat menjaga itu.
Seperti judul diatas pola asuh adalah pendidikan karakter. Bagi kita orang tua, karakter apa yang ingin kita tanamkan pada anak
kita? Berikan contoh itu dalam sikap dan perbuatan serta kata-kata.
Maka dengan mudah anak akan mencontohnya dan menyimpannya dalam memory
bawah sadarnya dan akan dikeluarkan kembali pada saat “ada pemicunya”.
Maksudnya? Saat kita memberikan contoh hormat dan sayang pada pasangan
kita, saat anak kita menikah kelak maka dia akan mencontoh perilaku kita
orang tua-nya terhadap pasangannya.
Sekarang ini sangat berlaku sekali
kata-kata mutiara “buah tidak jatuh jauh dari pohonnya” dan itu saya
rasakan betul saat banyak klien saya yang merasakan bahwa kehidupannya
adalah hasil dari “fotocopy” orang tua-nya. Kalo orang tua-nya
memberikan pengaruh yang baik tidak masalah, tetapi jika rumah tangga
berantakan seperti orang tua-nya maka ini adalah suatu musibah. Kenapa
ini terjadi? Yah, saya rasa Anda sudah tahu jawabannya bukan?
Jadilah teladan bagi buah hati tercinta kita, pada mula dan awalnya anak akan selalu belajar dari lingkungan
terdekatnya, yaitu orang tua. Mereka menyerap informasi dengan baiknya
dari kelima indra mereka. Bukan hanya perkataan orang tua tapi sikap
serta perilaku orang tua akan mereka serap juga, bahkan secara Anda
tidak sadari.
Jika kita orang tua, ingin tahu berapa
nilai Anda sebagai orang tua dalam mendidik anak, ada cara mudah
mengetahuinya. Raport pertama anak kita pada waktu sekolah (play group
atau TK), itu adalah raport milik kita orang tua, bukan anak. Anda dapat
berkaca dari hasil tersebut, bagaimana kualitas “produk” (baca: anak)
Anda. Nah itu adalah raport awal saat 3-5 tahun Anda membentuk
keluarga dan mendidik anak. Tapi jika mau tahu hasil akhirnya lihatlah
kehidupan anak Anda ketika dia sudah berada didalam kehidupan
sebenarnya. Lihatlah pergaulannya, cara berbicara dan bersikap dan jika
kita orang tua lebih jeli dan bijak lihat keuangannya. Semakin baik
kondisi keuangan anak Anda berbanding lurus dengan karakter yang dimiliki anak Anda (yang halal tentunya).
Salam
Timothy Wibowo
14. Siapakah Guru Pendidikan Karakter?
“Anda tidak bisa mengajarkan apa yang
Anda mau, Anda tidak bisa mengajarkan apa yang Anda tahu. Anda hanya
bisa mengajarkan siapa Anda” – Soekarno
Sebelum saya lebih jauh mengkaji tentang topic yang akan dibahas kali ini, maka saya akan berbagi tentang belajar. Ya, proses belajar
bagaimana otak menyerap informasi. Inilah yang seringkali diabaikan,
kita sebagai orangtua atau guru maunya seringkali “memaksa” anak
mengerti tentang sesuatu hal dan “jalankan” seperti computer, kasi
perintah dan tekan “ENTER”. Nah, kalo di manusia bukan ENTER tapi
“ENTAR” upsss…
Dari penelitian diberbagai belahan dunia
yang terus berkembang, hasil riset tentang tehnik penyerapan informasi
ke otak dibagi menjadi 5 tahap :
Dari informasi diatas mudah bagi kita untuk mengetahui cara yang paling efektif untuk mendidik karakter anak
bukan? Kalo mau hasil maksimal, dengan penyerapan diatas 50 % maka
metode mendidiknya harus disesuaikan dengan cara otak menyerap
informasi.
Tentunya cara itu adalah kombinasi
antara Melihat, Mendengar, Mengatakan dan Melakukan. Saya akan membagi 2
tahap penjelasan, yaitu:
1. Melihat dan Mendengar
Adalah proses belajar
yang ada contoh dan ada pengajarnya. Jika disekolah tentunya guru yang
akan bersuara, jika dirumah maka orangtua. Sebagai guru tentunya harus
memberikan contoh dan model karakter
yang dikehendaki anak didiknya bagaimana serta mengajarkan “how to
achieve”. Jadi pada dasarnya semua guru disekolah bisa menjadi guru pendidikan karakter, jika berkomitmen untuk menjadi contoh dan mau menjelaskan bagaimana agar siswa dapat memiliki karakter seperti gurunya. Sama halnya orangtua yang ada dirumah, siswa hanya 30% berada disekolah, 10-15 % lingkungan sosialnya dan sisanya dirumah. Maka porsi terbesar adalah orangtua yang menjadi guru pendidikan karakter bagi anaknya.
Seorang anak dari bayi, dia tidak mengenal bahasa. Saat dia kecil dia belajar dengan melihat contoh, dia belajar jalan, membuka pintu, menyalakan tv, semuanya melihat. Dan proses belajar
seperti ini masih berlanjut pada kehidupan kita orang dewasa. Jadi
jangan anggap sepele dalam sikap dan perilaku kita untuk memberikan
contoh yang baik untum pendidikan karakter anak.
2. Mengatakan dan Melakukan
Ini terkait dengan peraturan dan system yang berlaku lingkungan belajar pendidikan karakter (sekolah dan rumah). Bagaimana peraturan disekolah dan dirumah selaras dengan tujuan pendidikan karakter.
Baiklah saya akan memberi contoh, di Indonesia, di Surabaya khususnya
saya masih bisa memberhentikan angkutan umum (metromini) sembarangan.
Dimana saya ada di jalan raya, saya lihat ada angkutan umum saya tinggal
angkat tangan saja maka amgkutan umum itu akan berhenti. Hal ini bisa
berlaku di Surabaya, tapi tidak di Singapura. Jika saya pindah ke
Singapura maka saya tidak bisa seenaknya saja memberhentikan angkutan
umum, ada tempat khusus dimana angkutan umum tersebut mau berhenti. Maka
perilaku saya akan berubah mengikuti aturan yang berlaku, saya akan ke
halte jika mau naik kendaraan umum.
Jadi dalam pendidikan karakter juga diperlukan seting macam ini juga, seting lingkungan untuk mendukung perilaku Melakukan
yang akhirnya akan terbiasa. Seperti ada pepatah bisa karena biasa,
sama seperti halnya aturan baru dalam berlalu lintas. Belakangan ini
banyak aturan baru sehingga jalan yang biasanya bisa 2 arah hanya satu
arah untuk keefektifan pengguna jalan dan menghindari kemacetan, jika
kita langgar maka tilang. Pertama terasa berat, setelah 1 bulan sudah
biasa, tidak ada beban lagi. Manusia adalah mahluk yang mudah
beradaptasi, terasa berat jika itu dijalankan terus menerus, maka
lama-lama terbiasa. Dalam melakukan pola ini jangan lupa memberikan
konsekuensi jika melanggar, tentunya konsekuensi yang mendidik dan tidak
merusak harga diri anak. Contoh: jika melanggar maka mainan kesukaan
anak akan disita 2 hari.
Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi
ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa
depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala
macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara
akademis.
Namun bagi sebagian keluarga, barangkali proses pendidikan karakter yang sistematis di atas sangat sulit, terutama bagi sebagian orang tua yang terjebak pada rutinitas yang padat. Karena itu, seyogyanya pendidikan karakter juga perlu diberikan saat anak-anak masuk dalam lingkungan
sekolah, terutama sejak play group dan taman kanak-kanak. Di sinilah
peran guru, yang dalam filosofi Jawa disebut digugu lan ditiru,
dipertaruhkan. Karena guru adalah ujung tombak di kelas, yang berhadapan
langsung dengan peserta didik.
Salam
Timothy Wibowo
Langganan:
Postingan (Atom)