Bukan
Tami namanya kalau tidak bisa menyelesaikan liputannya dalam waktu
singkat. Sesaat setelah menyimpan tulisannya di hard disk notebooknya,
ia mematikan komputer seraya menghirup teh manis hangatnya. Sekarang
tinggal menyerahkannya ke Mas Iqbal, redaktur liputan politik, bereslah
tugasnya. Di luruskannya punggungnya yang kaku. Kemudian mengambil
jaketnya yang tersampir di kursi. Diliriknya jam yang melingkari
pergelangan tangannya, ah baru jam 10 malam, kemarin dia pulang hampir
tengah malam. Kemarinnya lagi juga begitu.
Tami menyapa
beberapa temannya yang masih asyik di depan komputer. Pasti mereka
dikejar deadline tulisan juga pikirnya. Beberapa orang terlihat lelap
dikursi, sementara layar monitornya masih menyala. Kalau sudah malam
begini memang hanya tinggal beberapa orang saja yang masih ada di
kantor. Biasanya para reporter yang dikejar deadline atau mereka yang
memang tugasnya menyelesaikan proses naik cetak surat kabar agar sampai
di tangan pembaca besok pagi. Bekerja sebagai wartawan memang tidak
mudah, jam kerja yang tidak menentu, narasumber yang sulit dihubungi,
semua membuat mereka kadang harus rela begadang. Tami juga sering
begitu. Setelah pamit untuk pulang, ditekannya magnetic-card seraya
menguap. Ah, penat juga rasanya. Didalam lift menuju lantai dasar sesaat
Tami memejamkan matanya, lelah.
Pak Madi, satpam kantor
menyapanya ramah di pintu keluar. Pulang Mbak? Hati-hati di jalan…”.
Tami tersenyum sambil melambai. Pak Madi memang satpam tertua di
kantornya dan sudah lama juga ia mengabdi di kantor tempat Tami bekerja.
Bahkan sejak Tami belum bekerja di situ. Menurut teman-teman sejak
perusahaan surat kabar ini didirikan hingga sekarang sudah menjadi
perusahaan besar dengan oplag ratusan ribu eksemplar perhari dan
tersebar diseluruh pelosok negeri. Itu sebabnya Pak Madi mengenal baik
seluruh karyawan dikantor Tami.Sesaat kemudian Tami sudah berada dalam
Katana merahnya. Disusurinya jalan-jalan ibukota yang mulai lengang,
sementara gerimis masih rinai sejak sore tadi. Ibu seperti biasa pasti
belum tidur karena cemas menungguku pulang, pikir Tami. Ibu juga sering
mengeluh, katanya pekerjaan wartawan sama saja dengan seniman, tidak
punya ritme kerja yang jelas. Sering tidur malam dan bangun siang. Angin
malam bertiup perlahan, sepotong bulan mengintip di langit gelap. Tami
ingin segera sampai di kamar tidurnya.
*****
Rapat
redaksi hari ini sungguh membosankan sekali. Tidak seperti biasanya
Tami terduduk lesu di kursinya. Dia tidak berselera mengikuti debat
redaksi kali ini. Mungkin Tami lelah, akhir-akhir ini kondisi politik
tidak menentu, berbagai macam issue bermunculan, begitu banyak berita
dan nara sumber yang harus dikejar tapi semua sering membingungkan,
tidak jelas mana yang benar. Hari-hari ini Tami sering merasa terkecoh.
Sebagai reporter bidang liputan politik jelas kondisi sekarang
melelahkan sekali. Apalagi Tami tergolong reporter andalan di kantornya.
Ia sudah mulai bekerja sejak masih kuliah. Itu sebabnya dia cukup
terlatih dan berpengalaman. Belum lagi memang Tami punya banyak
kelebihan, cerdas dan cekatan. Hasil liputannya selalu mengagumkan.
Tulisan- tulisannya pun tak pernah membosankan dengan analisa yang
dalam. Karena itu Tami cukup diperhitungkan oleh perusahaan. Masa depan
cerah, begitu goda teman-temannya. Tapi Tami tidak peduli, yang penting
ia menyukai bidang pekerjaannya. Apalagi perusahaan memberinya imbalan
lebih dari cukup atau setidaknya sebandinglah dengan kerja kerasnya.
Selesai
rapat Tami kembali ke mejanya. Dia bersyukur karena Mas Iqbal tidak
memberinya tugas liputan hari ini, itu berarti ada waktu luang sejenak
karena beberapa tugas sudah diselesaikannya semalam. Sesaat dibukanya
komputer di meja kerjanya. Ada beberapa email yang masuk, termasuk dari
Nisa sahabatnya sejak di bangku kuliah. Tami membaca pesan singkat,
“Tami yang sholihat…, pekerjaan seorang wanita harus dapat menunjang
bertambahnya keimanan dan ketakwaan kepada Allah dan hendaknya kita
tetap memiliki ahlak yang baik dan mampu menjaga diri”. Tami tertegun,
lagi-lagi Nisa mengingatkannya.
Sambil menikmati es
jeruknya, Tami melepas kebosanan di kantin kantor. Di saat bukan jam
makan seperti ini, kafe memang tidak begitu ramai. Ia bisa lebih tenang
sambil memandang taman gedung yang asri. Sesaat email Nisa mengganggu
pikirannya. Unik memang persahabatan mereka, sejak masih di universitas
mereka sering jalan dan diskusi bersama, tapi Nisa berbeda, kerudung dan
sikapnya membedakan ia dengan yang lainnya. Sampai sekarang pun mereka
masih bersahabat meski tidak sering lagi bertemu. Nisa sekarang menjadi
dosen di universitas mereka dulu. Dibandingkan Tami, dari segi
penghasilan jelas Nisa tertinggal jauh. Tami sering heran kenapa Nisa
tidak mencoba menawarkan ijazahnya ke perusahaan-perusahaan besar.
Mereka sama-sama punya IPK yang tinggi, kemampuan bahasa asing yang
baik, dan pengalaman organisasi yang segudang. Tentu tidak akan sulit
juga buat Nisa mencapai lebih dari yang ia dapat sekarang. Nisa juga
memang mahasiswi berprestasi dengan segala macam kelebihannya. Tapi
setiap kali Tami menanyakan masalah ini pada Nisa, ia cuma tersenyum.
“Aku ingin punya waktu lebih banyak buat Bang Hanif dan anak-anak…”
begitu jawabnya. Nisa memang sudah menikah, bahkan sejak beberapa saat
sebelum ia lulus kuliah. Sekarang sudah ada Ikhsan dan Urfi, buah hati
mereka.
Tami mengakui persahabatannya dengan Nisa banyak
memberinya hikmah. Sering disaat Tami lalai Nisa mengingatkannya. Tidak
jarang saat Tami berada ditengah kesibukannya mengejar berita ada
sepotong pesan Nisa lewat radio panggilnya “Waktunya Shalat Dzhur,
Tam…”, atau lewat email dan pesan-pesan singkat lain yang masuk di
perekam telepon genggamnya. Nisa memang tidak pernah bosan mengingatkan
meski Tami sangat sibuk dan sulit sekali dihubungi. Nisa bilang sesama
saudara memang harus saling mengingatkan dalam kebaikan, itulah esensi
persaudaraan dalam Islam. Pantas saja Nisa selalu gencar
mengingatkannya. Sejak dulu Nisa memang sangat menginginkan kebaikan
buat orang lain, meski dia sendiri sering repot dibuatnya. Ah, Nisa
terbuat dari apa sih hatimu..bisik Tami.
*****
Selasa
siang di kantin kampus. Tami dan Nisa menikmati gado-gado favorit
mereka berdua. Pedas- manis dengan harum perasan jeruk limau yang
banyak. Dan tentu saja buatan Mbak Sum yang masih setia berjualan di
kampus. Tidak putus obrolan mereka diselingi canda dan cerita nostalgia
di bangku kuliah. Hari ini Tami memang mendapat tugas mewawancarai
seorang tokoh pengamat politik yang juga pengajar di universitas mereka.
Tentu saja kesempatan ini disambutnya dengan baik. Sekalian nostalgia
di kampus dan bertemu teman-teman lama, Nisa terutama, pikir Tami.
Kebetulan hari ini Nisa juga ada jadwal mengajar. Jadilah mereka janjian
bertemu. Satu kesempatan langka ditengah kesibukan mereka
masing-masing.
“Kelihatannya kamu tambah sibuk sekarang
Tam. Hati-hati lho jangan terlalu asyik berkarier. Kapan menyusul aku
dan Bang Hanif?” Nisa tersenyum memandangnya. “Ah, aku kan baru 29,
masih banyak yang ingin aku kejar”, Tami berkelit sambil pura-pura asyik
mengaduk es kelapa mudanya. Pertanyaan yang sering ditanyakan ibu juga,
pikirnya. “Tami, manusia perlu berikhtiar dan berencana, meski pada
akhirnya Allah juga yang menentukan semuanya. Kalau kita sudah
berikhtiar tapi belum juga mendapatkan, itu lain lagi ceritanya. Aku
tidak ingin kamu menyesal Tam..”. Nisa masih bijak seperti dulu, bahkan
rasanya tambah dewasa sekarang. “Iya deh, aku memang terlalu asyik
dengan pekerjaan. Jangan bosen ingetin aku ya…”. Tami menyerah. Nisa
memang benar. Ibu juga sering khawatir. Apalagi sekarang Tami sering
mendapat tugas liputan beberapa hari keluar kota atau bahkan ke luar
negeri. Seperti minggu lalu. Kesibukan Tami semakin padat.
Obrolan
mereka siang itu semarak dengan berbagai topik. Termasuk tentang karier
seperti yang sebenarnya sudah sering Nisa ceritakan. Tentang
syarat-syarat wanita bekerja. Tentang keseimbangan antara pemenuhan hak
keluarga dan pekerjaan. Tentang harus menghindari campur baur yang
berlebihan. Tentang pakaian. Dan tentang pekerjaan yang harus sesuai
dengan fitrah kewanitaan.“Aku tidak bermaksud mengatakan bahwa pekerjaan
seorang jurnalis tidak baik dalam Islam. Tapi, please Tam…, semua ada
aturan mainnya. Dien kita begitu sempurna mengatur semuanya. Jangan
abaikan sinyal-sinyal itu. Untuk kebaikan kita juga”, Nisa berbicara
perlahan dan hati-hati sekali.
Entah mengapa siang itu semua
terasa lain di telinga Tami. Sepertinya suara Nisa lain dari biasanya.
Atau apa karena sebelumnya Tami tidak pernah terlalu menggubrisnya. Wah,
apa jadinya kalau aku tidak bersahabat dengan Nisa. Mungkin aku sudah
semakin terseret dengan segala macam kesibukan kerja, pikir Tami. Makan
siang bersama di kafe itu jadi semakin nikmat rasanya.
Sementara
suasana kampus masih seperti dulu. Selalu ramai, hidup dan meriah.
Selalu ada wajah- wajah baru menggantikan yang lama. Datang dan pergi
silih berganti. Ah, seperti juga kehidupan ini. Tidak ada yang abadi.
Hanya Allah dan kehidupan kelak yang tidak akan pernah berubah. Kekal
selamanya. Angin semilir menyentuh mereka. Matahari cerah di atas sana.
Langit yang biru jernih berhias gumpalan-gumpalan awan putih yang
menakjubkan. Indah. Seindah persahabatan mereka. “Allah lindungi kami
dari cinta dunia, yang semakin menjauhkan kami dariMu, yang mengeraskan
hati dan melupakan kami akan hari pertemuan dengan-Mu…”.Doa Nisa di
ujung shalat jamaah Dzhuhurnya bersama Tami.
*****
Adzan
Isya sudah agak lama berlalu. Langit gelap. Hujan gerimis perlahan
menjadi lebat. Tami bergegas meninggalkan sebuah gedung. Sejak siang
tadi dia menunggu seorang tokoh masyarakat di sana, ada berita yang
harus dia buat sehubungan dengan peran tokoh tersebut di masyarakat.
Dengan kelihaiannya, akhirnya Tami bisa juga bertemu tokoh tersebut,
meski harus berbelit-belit dan menunggu cukup lama. Itulah konsekuensi
pekerjaan, tapi aku puas bisik Tami, ada beberapa pernyataan yang bisa
menjadi berita besar. Sekarang harus segera kembali ke kantor. Berita
ini harus segera dirampungkan.
Tami berlari tergesa-gesa
menuju tempat parkir. Halaman gedung sudah sepi dan agak gelap. Mungkin
karena hujan dan suasana kota yang sedang tidak menentu. Orang-orang
cenderung cepat pulang dan tidak keluar rumah jika tidak perlu benar.
Ada cemas yang tiba-tiba menyelinap. Ah, kenapa tadi aku tidak pulang
saja bareng teman-teman wartawan yang lain, sesal Tami. Mereka pulang
lebih awal, tapi Tami bertahan, dia berharap masih bisa mendapatkan
informasi tambahan. Tami bergidik, sesaat dia ingat berita-berita
tentang kriminalitas ibukota yang meningkat, tentang preman-preman yang
semakin nekat. Tapi aku harus pulang, keluhnya. Dia berlari menembus
hujan. Tadi siang pelataran parkir gedung ini penuh mobil, karena tidak
mau repot akhirnya Tami memutuskan parkir di sebelah gedung tersebut,
sebuah bangunan besar yang sedang dikerjakan tapi agaknya terbengkalai
tidak diteruskan, ditinggalkan separuh jalan. Puing-puing berserakan
dimana- mana. Lagi-lagi Tami menyesal.
Di bawah pohon
besar, di sisi sebuah bedeng tempat berteduh pekerja bangunan yang
sepertinya sudah lama ditinggalkan begitu saja, Tami memarkir mobilnya.
Tadi siang masih ada beberapa mobil lain yang parkir di situ juga, tapi
malam ini tinggal satu saja, Katana merah Tami. Sesampainya di sisi
mobil di bawah pohon, Tami sedikit bernafas lega. Dikibas-kibaskannya
air hujan yang membasahi rambutnya. Jeans nya pun agak basah juga.
Sesaat dia mendengar suara tawa-tawa dari dalam bedeng, Tami bergidik
lagi segera ia memasukan anak kunci ke pintu mobilnya. Tiba- tiba ada
beberapa lelaki keluar dari bedeng itu. Penampilannya seperti preman
saja. Tami kaget, anak kunci jatuh dari tangannya, Tami meraba-raba di
tanah. Gugup dan gelap semakin menyulitkan ia menemukannya.
“Cari
apa Mbak ?”,laki-laki itu mendekat. “Nggak…ggak…”, Tami semakin gugup
dan cemas. Perasaannya semakin tidak enak. “Jangan takut, kami mau
bantuin koq”, kata salah seorang diantara mereka diikuti tawa yang lain.
Sekilas ada empat orang yang Tami lihat. Dua diantaranya berjalan
limbung, mungkin karena pengaruh minuman keras. “Boleh juga…” Tami
mendengar bisikan itu dari salah seorang diantara mereka. Ah, apa yang
mereka inginkan, kamera Nikon besar yang aku pegang ini, atau … Tami
tersentak ketika salah seorang berusaha menyentuhnya. Seluruh tubuhnya
lemas dan gemetaran, anak kunci belum juga ditemukan. “Apa-apain ini
!”,Tami berusaha menghardik dengan tegas. Tapi mereka semakin berani
saja bahkan ada yang menarik tangannya, keras sekali. Tami berontak.
Dengan segala kekuatan yang tersisa Tami menjerit minta tolong
sekerasnya. Tapi Tami terlalu lemah, suaranya seperti ditelan
puing-puing yang berserakan dan gemuruh hujan yang semakin deras. Tami
terus meronta dan menjerit sekuatnya. Allah tolong saya…, jerita hatinya
tak henti.
Sesaat tarik menarik terjadi diantara mereka.
Di saat tenaga Tami sudah semakin habis dan lemah, tiba-tiba ada suara
yang menyentak “Hei..ada apa ini? Siapa kalian!”, ada dua orang berlari
menghampiri mereka. Antara sadar dan tidak Tami mengenali dari
seragamnya, satpam gedung sebelah. Di belakang mereka terlihat berlari
beberapa orang lagi. Keempat lelaki setengah mabuk itu langsung berhenti
menarik Tami. Tami terjatuh lemas. Tidak ada sedikitpun sisa tenaga
lagi yang ia miliki. Bajunya koyak dan basah kuyup, tapi ia masih sempat
bersyukur “Allah…terima kasih, alhamdulillah”. Setelah itu, Tami tidak
ingat apa-apa lagi.
Ketika sadar Tami sudah berada di
suatu ruangan yang terang benderang. Ada beberapa orang di situ,
termasuk seorang ibu yang sedang membersihkan lecet-lecet di lengannya.
Tami tersentak ketika sadar dan ingat kejadian yang baru menimpanya.
“Tenang Dik, sudah aman di sini..”. Ibu itu mengusap rambutnya perlahan.
Tami ingat ibunya di rumah, tangisnya tak terbendung lagi. Ibu itu
memeluknya sambil menenangkan. Rupanya ia karyawati gedung yang
kebetulan belum pulang kantor dan membantu merawatnya. “Sudahlah, tidak
ada yang perlu dikhawatirkan lagi, bersyukurlah kepada Allah karena Ia
masih melindungi adik”.Tami semakin terisak, pantaskah saya menerima
pertolongan-Mu ya Allah…, shalat pun masih banyak yang saya tinggalkan.
“Kalau ada yang sakit, mari saya antar ke dokter”, ibu itu berkata
lembut sambil menyodorkan segelas air putih. Tami menggeleng, meski kaki
dan tangannya terasa memar-memar. Air putih itu memulihkan sedikit
tenaganya. “Terima kasih, saya ingin pulang, Bu…”
Setelah lukanya
diolesi betadine dan istirahat secukupnya, Tami pulang sendirian.
Sebenarnya ibu yang baik hati dan suaminya, yang ternyata sekantor itu,
memaksa ingin mengantarnya pulang. Tapi hari sudah terlalu malam, pasti
anak-anak mereka sudah menunggu di rumah, pikir Tami. Apalagi arah rumah
mereka berlawanan. Tami juga sudah merasa kuat dan lebih enak. Sakit
karena lecet dan memar di sekujur tubuhnya terhapus oleh rasa syukurnya
yang dalam. Tidak henti Tami mengucapkan terima kasih pada semuanya.
Tami merasa berhutang budi sekali.
Malam semakin larut.
Hujan sudah berganti terang. Namun sisa-sisa hujan masih menyisakan
dinginnya. Bulan purnama yang tadi tertutup awan tebal, sekarang mulai
berpendar-pendar. Jalan- jalan kota sudah semakin lengang meski dihiasi
lampu-lampu jalan. Diperjalanan pulang, air mata menetes lagi di
pangkuan Tami yang letih. Hatinya tak henti mengucap syukur kepada
Allah. Mungkin benar kata Nisa, semua harus ada akhirnya… (er)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar