Pada
tulisan kali ini saya akan mencoba menyampaikan etika-etika dasar dalam
mencari ilmu yang saya kutip dari buku “Tips Belajar Para Ulama”,
terjemahan dari dua buah buku “Adabu Tholib al-’Ilm” karya Dr. Anas Ahmad Karzun dan “Kaifa Tathlub al-’Ilm”
karya Dr. ‘Aidh al-Qorni, MA. Ada 13 etika dasar mencari ilmu yang
disampaikan oleh Dr. Anas Ahmad Karzun dalam buku tersebut, yang dalam
tulisan ini akan saya sampaikan ringkasannya (dengan sedikit perubahan
redaksi, tapi sama sekali tak mengubah isi) sebagai berikut:
1. Ikhlas
Hal pertama yang harus digunakan sebagai
senjata dan tolak ukur bagi penuntut ilmu adalah ikhlas karena Allah
ta’ala, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Sebab, Allah tidak akan
menerima amal kecuali didasari ikhlas karena-Nya. Allah ta’ala berfirman
yang artinya:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali
supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (TQS. Al-Bayyinah [98] : 5)
Bila penuntut ilmu mengikhlaskan amalnya
karena Allah, niscaya ia akan mendapatkan pahala yang besar, usahanya
akan diberkahi dan ia akan mendapatkan kemuliaan yang diberikan oleh
Allah kepada ilmu, ulama dan siapa saja yang menempuh jalan mereka.
2. Beramal dengan ilmu dan menjauhi maksiat
Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang
disertai amal. Sedangkan, orang yang berilmu tapi tidak mengamalkan
ilmunya, kelak pada hari kiamat ia akan ditanya tentang ilmunya. Allah
ta’ala berfirman yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapa
kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian kerjakan? Amat besar
kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan apa-apa yang tidak
kalian kerjakan.” (TQS. Ash-Shaff [61] : 2-3)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya:
“Tidak akan bergeser kaki seorang hamba
pada hari kiamat sampai ia ditanya tentang umurnya untuk apa ia
habiskan, tentang ilmunya untuk apa ia gunakan, tentang hartanya dari
mana ia dapatkan dan untuk apa ia belanjakan serta tentang badannya
untuk apa ia gunakan.” (Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, ia berkata, “Hadits hasan shahih” Sunan at-Tirmidzi no. 2418, Kitab Shifat al-Qiyamah)
Begitu juga, seorang penuntut ilmu harus
menundukkan nafsunya dengna meninggalkan kemaksiatan. Sebab, hal itu
akan membantunya untuk mendapatkan barakah ilmu dan cahayanya serta
keikhlasan di dalam mencarinya.
3. Tawadhuk
Tawadhuk merupakan sifat orang beriman yang
paling menonjol secara umum dan para penuntut ilmu secara khusus. Allah
subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan kepada Rasul-Nya untuk bersikap
tawadhuk, rendah hati dan berperangai lembut (lihat QS. Asy-Syu’ara
[26] : 215). Allah juga menjelaskan bahwa sikap sombong dan merasa lebih
dari orang lain merupakan dua sifat yang dimurkai dan dilarang oleh
Allah (lihat QS. Luqman [31] : 18).
Para penuntut ilmu hendaknya tetap
berpegang teguh dengan sifat tawadhul serta mewaspadai sifat ujub dan
merasa bangga dengan ilmu yang diberikan Allah kepadanya. Begitu pula,
hendaklah ia mengetahui kemampuan dirinya dan tahu bahwa ia masih dalam
taraf menuntut ilmu, meskipun ia telah mencarinya secara mendalam.
Jangan sampai ia menyangka bahwa dirinya telah menjadi alim lalu merasa
cukup dan berhenti menuntut ilmu.
4. Menghormati ulama dan majlis ilmu
Diantara
adab atau etika seorang penuntut ilmu adalah menghormati ulama,
bersikap tawadhuk kepada mereka, memelihara kehormatan mereka dan
berhati-hati jangan sampai berbuat buruk kepada mereka atau merendahkan
kemampuan mereka. Sebab, orang yang berilmu memiliki kemuliaan yang
agung dan kedudukan yang besar. Allah telah mengangkat kemampuan mereka
dan meninggikan kedudukan mereka.
Salah satu hadits yang menganjurkan untuk
menghormati dan tidak menyakiti ulama adalah sebagai berikut. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Allah ‘azza wa jalla berfirman, ‘Barangsiapa yang menyakiti wali-Ku, maka Aku telah umumkan perang kepadanya.’” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Kitab ar-Riqoq, Bab at-Tawadhdhu’ (VII/190))
Khatib al-Baghdadi telah meriwayatkan dari
imam asy-Syafi’i dan Abu Hanifah rahimahumallah, keduanya berkata,
“Kalaulah ulama itu bukan wali Allah, niscaya Allah tidak akan memiliki
wali”.
5. Sabar dalam menuntut ilmu
Seorang hamba membutuhkan kesabaran dalam
ketaatan kepada Allah, baik sebelum melaksanakan ketaatan tersebut
dengan memperbaiki niat dan memutus segala sesuatu yang menyibukkannya
dari ketaatan tersebut, ataupun saat melaksanakan ketaatan agar Allah
ta’ala menyertai amalnya sehingga amal tersebut bisa dikerjakan dengan
optimal.
Tidak diragukan lagi bahwa diantara
ketaatan yang urgen yang membutuhkan kesabaran adalah menuntut ilmu
dalam rangka mencari keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala. Terutama
dikarenakan nafsu manusia cenderung untuk bersantai dan
bermalas-malasan. Sedangkan, menuntut ilmu membutuhkan usaha yang besar,
berat, begadang (mengurangi jatah tidur), meninggalkan sikap berlebihan
terhadap dunia, bersafar untuk mencarinya, bertemu dengan para ulama,
senantiasa melakukan tanya jawab, menghafal, mengikuti, dan lain
sebagainya.
6. Berlomba dalam menuntut ilmu
Setiap kali seorang penuntut ilmu mendalami
ilmu dan pintu-pintunya terbuka untuknya, niscaya ia akan menambahnya,
berkompetisi dalam mencarinya, dan berusaha untuk memilikinya.
Allah subhanahu wa ta’ala telah
memerintahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
berdoa untuk mendapatkan tambahan ilmu. Allah ta’ala berfirman yang
artinya, “Dan katakanlah, ‘Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan’.” (TQS. Thaha [20] : 114)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pun menganjurkan untuk memperkaya diri dengan ilmu dan tetap bersemangat
berbekal diri dengan ilmu selama usia masih ada hingga ia bisa
menggapai surga. Imam at-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Sa’id
radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
bersabda yang artinya, “Seorang mukmin tidak akan pernah kenyang dengan kebaikan yang ia dengar, sehingga puncaknya adalah (ia memasuki) surga.” (Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi no. 2686, ia berkata, “Hadits ini hasan gharib”)
7. Jujur dan amanah
Seorang penuntut ilmu hendaknya memiliki
sifat jujur dan amanah ketika menuntut ilmu dan mengajarkannya kepada
manusia. Ia juga harus menjauhi pembelaan terhadap permasalahan apa saja
yang bertentangan dengan kebenaran. Bila ia lupa dalam suatu perkara
kemudian tampak kebenaran dihadapannya, maka ia harus segera kembali
kepada kebenaran tanpa mencelanya agar ia tidak menjadi orang yang
berkhianat terhadap ilmunya.
Diantara hal yang perlu dikritisi dari
sebagian penuntut ilmu adalah peremehan mereka dalam mengeluarkan fatwa
hanya karena telah mentelaah sebagian dari hukum-hukum syar’i. Bahkan,
diantara mereka ada yang mengira bahwa ia telah menjadi orang yang ahli
dalam berfatwa dan mengoreksi perkataan para fuqaha ataupun
membantahnya.
Para salafush shalih rahimahumullah sangat
teliti dan hati-hati dalam berfatwa kepada manusia karena takut kalau
ada diantara mereka yang salah, mengeluarkan ucapan tentang Allah tanpa
ilmu, atau menisbahkan sesuatu yang tidak ada dalam syari’at. Mereka
menolak untuk berfatwa, padahal kemampuan mereka sangat tinggi dan
keilmuan mereka sangat dalam.
8. Menyebarkan ilmu dan mengajarkannya
Diantara adab yang wajib dilakukan oleh
seorang penuntut ilmu syar’i adalah menyebarkan ilmu di antara manusia,
tidak menyembunyikannya dan tidak pula kikir dengan ilmu. Allah
subhanahu wa ta’ala telah memperingatkan orang yang menutupi ilmu dan
mengancamnya dengan siksaan. Allah ta’ala berfirman yang artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang
menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan
(yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia
dalam al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh
semua (makhluk) yang dapat melaknati.” (TQS. Al-Baqarah [2] : 159)
Seorang penuntut ilmu syar’i hendaknya
bersemangat dalam menyebarkan ilmu kepada manusia, mengingatkan mereka
dengan urusan agama, memperingatkan dari kelalaian dan kemaksiatan serta
mengajarkan hukum halal dan haram. Seorang penuntut ilmu juga harus
menyeru di jalan Allah dengan benar, terutama kepada keluarga, kerabat,
tetangga dan umumnya kaum muslimin yang berada di sekitarnya dengan
penuh hikmah dan nasihat yang baik, tidak takut dalam dakwahnya terhadap
celaan para pencela.
9. Zuhud
Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan
dunia sebagai ladang beramal untuk kampung akhirat dan memerintahkan
kita untuk memakmurkannya dengan amal shalih.
Hendaknya seorang penuntut ilmu menyiapkan
dirinya di dunia ini seperti orang asing di negeri perantauan. Ia akan
melihat apa yang bermanfaat baginya di negeri akhirat dan
bersungguh-sungguh untuk meraihnya. Ia juga akan melihat hal-hal yang
akan menyibukkannya dan menghalang-halanginya dari akhirat sehingga ia
bisa menjauhinya.
Seorang penuntut ilmu juga hendaknya
berhias dengan zuhud terhadap dunia, tidak berlebihan dalam menikmati
kemewahan yang bisa melalaikannya dari menuntut ilmu, meninggalkan
kehidupan glamor dan kemewahan yang bisa membuat jiwa terlena dan hati
sibuk.
10. Mengoptimalkan waktu
Waktu itu lebih mahal daripada emas, karena
waktu adalah kehidupan. Seorang penuntut ilmu tidak boleh
menyia-nyiakan waktunya hanya untuk bercanda dan bermain. Sebab, ia
tidak akan bisa mengganti kesempatan yang telah berlalu dan kesempatan
itu juga tidak akan menantinya. Begitu juga, barangsiapa yang tidak
memanfaatkan waktunya, niscaya penderitaannya akan berkepanjangan,
sebagaimana orang yang sakit akan terus menderita menanti datangnya
waktu sehat dan semangat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya:
“Ada dua nikmat yang kebanyakan manusia tertipu dengan keduanya, yaitu nikmat sehat dan waktu luang.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam bab ar-Riqoq (VIII/180)
11. Mendiskusikan ilmu agar tidak lupa
Hikmah
Allah subhanahu wa ta’ala menghendaki bahwa lupa adalah tabiat manusia
serta menjadikan kemampuan intelektual dan daya ingat mereka
berbeda-beda. Hal ini memiliki beberapa hikmah, diantaranya: sifat lupa
akan memacu seorang penuntut ilmu untuk mendiskusikan ilmu dan
mengulangi pelajarannya dari waktu ke waktu. Dengan begitu, ia akan
mendapatkan pahala dan derajat di sisi Allah subhanahu wa ta’ala,
menambah pemahamannya, dan membandingkan antara yang ia pahami dengan
apa yang ia hafal. Sehingga hal tersebut akan melekat kuat di dalam
benaknya.
Dari ‘Ali ibn Abi Thalib radhiyallahu
‘anhu, ia berkata: “Saling mengunjungilah dan diskusikanlah hadits.
Janganlah kalian membiarkan ilmu itu hilang.”
12. Menjaga wibawa dan rasa malu
Wibawa dan rasa malu merupakan sifat yang
harus dimiliki oleh seorang penuntut ilmu untuk membedakan antara
dirinya dengan selainnya. Jangan sampai ia terlena dengan orang lain dan
tidak menyibukkan diri dengan perkara-perkara sepele yang dapat
menjatuhkan kedudukan dan kewibawaannya. Hendaklah ia berhias dengan
adab dan keindahan ilmu serta menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak
bermanfaat.
Khatib al-Baghdadi rahimahullah berkata,
“Hendaklah orang yang mencari hadits menjauhi sikap main-main, bergabung
dengan majlis omong kosong, gelak tertawa, dan canda secara berlebihan.
Sebab, yang diperbolehkan adalah canda ringan dan jarang-jarang
dilakukan serta tidak keluar dari batasan etika dan ilmu. Adapun
seseorang yang terus-menerus bercanda, berkata kotor, bertindak bodoh
yang membuat sesak dada dan menimbulkan kejahatan, maka hal itu adalah
tercela. Banyak canda dan tertawa akan menjauhkan wibawa seseorang dan
menghilangkan harga dirinya.
13. Persahabatan yang baik
Teman yang baik adalah teman yang bisa
mendatangkan manfaat di dunia dan akhirat. Sedangkan, persaudaraan yang
tegak diatas kecintaan karena Allah dan saling menasihati dalam kebaikan
dan ketakwaan, maka ia adalah persaudaraan yang kekal abadi. Oleh
karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menekankan
untuk memilih teman yang baik dan mengambil manfaat dari pergaulan yang
baik itu. Beliau bersabda yang artinya, “Seseorang itu akan mengikuti agama temannya, maka hendaklah seorang diantara kalian melihat kepada siapa ia berteman.” (Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi no. 2379, ia berkata, “Hadits ini hasan”. Abu Dawud no. 4833, dan selain keduanya).
Seorang penuntut ilmu sangat perlu untuk
memilih teman yang baik yang akan mengajaknya untuk bersabar dalam
menuntut ilmu, mengingatkannya tatkala lupa, menasihatinya ketika salah,
dan mengarahkannya ketika tersesat.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar